
Setiap ada peristiwa bunuh diri selalu diikuti gemuruh pembicaraan yang beragam dengan aneka perdebatannya. Mulai dari pulung gantung yang dipahami dan diyakini sebagai penyebab pelaku mengakhiri hidup. Ada yang memandang karena himpitan ekonomi yang menimpa pelaku. Ada yang memandang karena cupeting pikir pelaku. Ada yang memandang lemah keagamaan pelaku. Ada yang memandang pelaku sebagai orang yang lemah mentalnya, dan sederet daftar panjang dugaan penyebab lainnya.
Karl Meningger, psikiater dari Jerman dalam bukunya “Selbstzerstörung: Psychoanalyse des Selbstmords” menulis, bahwa tindak bunuh diri tidak dapat begitu saja dicap jelek secara moral. Menurutnya, kita mesti mengingat bahwa tindak bunuh diri adalah sebuah tindakan yang amat kompleks. Banyak sekali unsur yang terkait satu sama lain. Karena itu, yang mau mendiskusikan dan mencari penyebab sampai mendapatkan konklusi yang memuaskan dipersilakan. Monggo teruslah berdiskusi secara konstruktif.
Setiap peristiwa bunuh diri termasuk bunuh diri yang gagal (percobaan bunuh diri) sesungguhnya selalu menghadirkan sisi kemanusiaan. Ada banyak hal yang melingkupi di dalamnya. Dan itu membawa pada benang merah bahwa setiap insan sesungguhnya membutuhkan sesama dalam menopang hidup. Butuh ngobrol (curhat), butuh ngrungokke (mendengarkan), butuh dirungokke (didengarkan), perlu sangkul sinangkul ing bot-repot sebagai sesama subjek kehidupan sejak dari hal-hal yang sederhana.
Tautan klip singkat berikut adalah sebuah dokumenter kisah nyata perjuangan Mas Joko Pramono (warga Dusun Gading VIII Playen Gunungkidul) yang membagikan pengalaman pahitnya saat ia berjuang melawan kematian karena mencoba bunuh diri 2015 lalu. Simak pula testimoni Pak Joko Waluyo (Dukuh Gading VIII) yang bersama para tetangga melakukan tindakan darurat menyelamatkan Joko Pramono dari kematian. Kepedulian, ketulusan cinta kasih, tidak memberi stigma, dan kesigapan bertindak darurat-mudah-sederhana para tetangga sesungguhnya diperlukan dalam pencegahan bunuh diri.
Memang tidak mudah menyederhanakan masalah bunuh diri, apalagi dalam model persamaan matematika yang memuaskan semua pihak guna perumusan kebijakan, strategi dan program kerja organisasi. Namun, bukan semestinya terus do nothing, tidak melakukan apa-apa, memikirkan dan merasakan pun enggan.
Bertindak mencegah risiko bunuh diri dapat dimulai dari langkah-langkah kecil diri sendiri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Ayo menemani yang berduka kembali pulih. Ayo mulai menanggalkan kebiasaan jumawa memberikan stigma “ingsun becik, sira papane ala” (aku baik, segalanya yang jelek itu dirimu). Ayo saling mencurahkan isi hati. Bersedia mendengarkan curhat dengan tulus hati, menceritakan permasalahan, menemani menemukenali permasalahan, menyambungkan ke sesama atau lembaga yang mampu membantu menyelesaikan persoalan.