Siang itu, kira-kira pukul 14.00, dua petani-penggarap perempuan 50-an tahun berjalan beriringan menuju jantung “mbaon”, atau “baon”. Menapaki jalan bebatuan gamping putih menurun yang dijejali rerumputan liar dan sembari menyerahkan keramahannya tanpa syarat kepada seseorang, mereka menjawabi pertanyaan-pertanyaan: “Oyanipun tebih boten nggih, Bu?”; “Kiwa-tengen riki onten tuk utawi belik boten, nggih?”; “Ajeng ngarit napa dos pundi menika?”; serta beberapa pertanyaan lain. Ngatiyem dan Sriyanti nama dua petani penggarap perempuan itu. Ngatiyem dan Sriyanti adalah petani penggarap sekaligus peternak “sapi-wedhus” di rumahnya. Yang tersebut pertama berkebaya motif bunga-bunga untuk menutupi kaos lengan panjangnya, “nyangklong” tas di pundak kirinya, bercelana “training”, bercaping-gunung, dan bersandal jepit. Yang tersebut berikutnya hampir sama: berkaos lengan panjang, “nggendhong” tas di pundaknya, bercelana “training”, bercaping-gunung, dan bersandal jepit pula. (Barangkali benar demikian: salah satu ciri ‘amongtani’ adalah bercaping-gunung).
Dua-tiga kali mereka mengulang petunjuk yang mereka berikan tentang yang mana arah ke Kali Oya, yang mana tempat “tuk” atau “belik” berada. Mereka, sang pemberi petunjuk, sangat paham, begitu halnya si penerima petunjuk bisa mengerti, bahwa petunjuk atau penunjukan arah suatu tempat tertentu di tengah-tengah atau di sela-sela “baon” yang luas di sepanjang tepian DAS Kali Oya Sisi Selatan merupakan hal yang sulit, mengingat penunjukan arah di antara pepohonan kayu putih yang hampir sama bentuk dan posisinya, apalagi si penerima petunjuk belum pernah merambah sekitar tempat itu sama sekali, merupakan hal yang susah. Berpura-pura paham atas petunjuk yang diberikan keduanya (Ngatiyem dan Sriyanti), si penerima petunjuk (dengan ragu-ragu) mendahuluinya. Bergegas mempercepat langkahnya, “mengejarnya” (karena tampak mengimani bahwa yang diberi petunjuk agak ‘plonga-plongo’), dua petani penggarap perempuan itu (Ngatiyem dan Sriyanti) mengikutinya mengaluri jalan berbatu yang bisa dikatakan “hampir” setiap hari mereka melewatinya pergi-pulang; “njuru-baoni” mencari pakan untuk ternak-ternaknya. Sepuluh menit kemudian mereka mengeraskan suara, sambil menunjukkan arah: “Teng riku niku, Mas, sisih kiwa niku, nggen iju-iju, nggen punthuk, wit kambil!” “Nah, riku niku!”
Memang, di tepi jalan terjal menurun nuju Kali Oya jauh di bawah, di sisi kiri jalan tengah Baon persis, di sebuah ‘gunung’ (‘punthuk’/’cempluk’), terdapat sebuah ‘tuk’/’belik’ air. Banyu Tumpang namanya. Banyu Tumpang berupa ceruk berisi air di atas ceruk batu kapur. Air Banyu Tumpang dipasok oleh “t(ut)uk” di tepi jalan tengah Baon itu, disokong oleh beberapa (w)re(k)san, seperti: Kayu Ijo (masih kecil) dan dua pohon aren. Di sebelah barat situs alamiah Banyu Tumpang terdapat dua buah pohon kelapa (“kambil”). Meskipun tak begitu besar, volum air di sebuah kolam kecil di Banyu Tumpang sangat cukup untuk mandi para amongtani dan among ternak kala singgah dalam perjalanan pulang dari Baon. Sambil melewati tempat beradanya Banyu Tumpang, Ngatiyem dan Sriyanti menginfornasikan bahwa Banyu Tumpang tak pernah “sat” airnya di musim kemarau. Sebenarnya, di sisi gunung agak ke bawah dari Banyu Tumpang terdapat sumber air lain, disebut Bulak Sigar. Namun di musim kemarau seperti sekarang ini air di Sumber Bulak Sigar biasanya kering. Di musim hujan, Sumber Bulak Sigar menemani Banyu Tumpang menyediakan sumber air tengah Baon bagi para “amongtani-amongkewan”. Bulak Sigar dan Banyu Tumpang adalah belik bagi kelangsungan kehidupan mereka di Baon.
Kira-kira sepuluh menit setelah Ngatiyem dan Sriyanti berlalu berjalan menurun menuju hutan-tegalan jauh di bawah, datang ke sisi utara Banyu Tumpang seorang perempuan pencari “suket”, Wagiyem namanya. Ia pun “amongtani” penggarap tanah “silihan”. Seperti Ngatiyem dan Sriyanti, ia juga bercaping. Ia membawa arit di tangan kanan; memakai baju lengan panjang; melilitkan gendong yang akan ia-gunakan untuk “nggendhong pakan” pada badannya. Awalnya, Wagiyem “ngeriti suket sembukan” yang ada di tepi jalan. Setelah beberapa waktu ia turun ke tegalan kayu putih, “ngeriti” rerumputan di kanan kiri pohon kayu putih yang tertanam rapi. Wagiyem “ngingu” sapi dan kambing. Memasuki musim kemarau ia harus lebih giat mencari pakan ternak. Ia dengan banyak senyum bercerita tentang “bot-repote” jadi amongtani: amongtani penggarap lahan “silihan”. Jelajah Wagiyem lama-lama semakin menjauh, menurun ke bawah mendekat Oya.
Jelang sore hari saban hari di Baon memang dihiasi para among-tani atau among-ternak yang “gilir gumanti” bergerak ke bawah, menyusuri Daerah Aliran Sungai Purba (Baon) yang sangat luas, membentang serupa separuh sayap-burung, menyokong Kali Oya Sang Naga Raseksi yang berkelok mengular menuju Imagiri. Pardi, tanpa caping di kepalanya, dengan “ngathing-athing” arit di tangan kanannya, tampak bergegas “mlaku rerikatan” menuju lahan-garapan-pinjaman miliknya lebih dekat lagi di “deleg” Kali Oya. Pardi pria asal Kecamatan Tanjungsari, namun ia-menikah dengan perempuan tepi Oya dan berumah-tangga di sana. Ia seorang tukang sekaligus among-tani. Di sela-sela “leren” kegiatan pertanian, ia “nukang”. Pardi memiliki lahan garapan pinjaman yang lumayan luas, “ia-beli” dari seorang petani penggarap sebelumnya, yang sekarang telah meninggal. Kala musim kemarau lahan garapan Pardi termasuk salah satu lahan yang dapat ditanami beberapa jenis tanaman seperti padi, kacang, pisang, lombok, dan sebagainya. Lahan yang ia miliki, bersama dengan beberapa lahan milik amongtani lain, berada di dekat belik. Belik ini bernama Banyu Awet. Belik Banyu Awet terdiri dari dua, satu berada agak di atas, satu berada agak di bawah, yaitu tepat di lahan garapan pinjaman miliknya.
Belik Banyu Awet sisi atas ‘direksa’ (dijaga) oleh “resan” (tanaman-penjaga) pohon “dhuwet”. Sementara Belik Banyu Awet sisi bawah dijaga oleh “resan” pohon bulu. Di samping pohon bulu, terletak pohon so yang hampir mati. Konon, pohon so ini memiliki cerita “sejarah” berhubungan dengan seorang petani penggarap mulabuka di Baon (penunggu Baon) yang menemui ajal di bawahnya, kala matahari benar-benar terik. Ia pernah menanami tanah sekitar belik Banyu Awet sisi bawah dengan Kayu Ijo (beringin) namun hilang entah kemana. Sekarang, “mudalnya” (munculnya) air dari belik ia buatkan kolam kecil sebagai wadah-tampungan agar bisa dimanfaatkan untuk mengairi beberapa lahan di sekitarnya, terutama lahan miliknya. Ia menanam beberapa tanaman perindang di sekitar kolam kecil ini. Ia berencana menanaminya dengan “resan” yang lebih bagus sifatnya karena, menurut kenyataannya, Banyu Awet telah memberikan panen kepadanya dan kepada amongtani lainnya di tiap musim kemarau.
Demikian halnya Belik Banyu Awet sisi atas, oleh Mbah Sukar pernah ditanami Kayu Ijo tetapi “dicolong uwong”. “Dinggo bonsai pa ngapa embuh, cah-cah saiki dha kurang ajar”, begini tuturnya. Maksud dia menanam Kayu Ijo agar “resan” yang menjaga Banyu Awet kelak ada yang menggantikan. Mbah Sukar, yang pemain reyog kawakan, cucu dari sesepuh reyog bernama Krama Karya, termasuk petani penggarap yang merasakan manfaat atas kehadiran dan keadaan Banyu Awet. Waktu itu Mbah Sukar bersama dengan Mbah Karya sedang “ndina” di Baon, istirahat di sebuah gubug tengah Baon yang sudah berumur lama, “nggodhog banyu” menggunakan “ceret” hitam legam dan air yang ia-ambil dari Banyu Awet. Sejak pagi ia bersama Mbah Karya berada di Baon. Sebentar nanti ia akan menyisir tepi Oya mencari rumput dan dedaunan untuk pakan ternaknya. Ia bercerita bahwa air dari Banyu Awet digunakan untuk “nyetreni” tanaman di beberapa lahan di tepi Oya. Tidak melimpah, namun lumayan untuk menjaga kehidupan tanaman. Bahkan dulu air dari Banyu Awet pernah disedot oleh Kehutanan untuk mengairi kayu putih, namun akhirnya sat; tak mampu menyokong kebutuhan.
Baginya, belik atau sumber air adalah harta yang harus dijaga mati-matian. Seperti belik di pinggir kampungnya, Kali Emplek namanya (yang sebenarnya di kampungnya tak ada nama “emplek”; Emplek adalah satu daerah di Piyaman yang konon memiliki sumber air bernama Emplek, karena ada seorang janda membohongi seorang Waliyullah yang mengembara hingga ke sana tentang keberadaan sumber air, maka tanpa diduga secara gaib Sumber Emplek yang berada di Kampung Emplek pindah ke Kali Emplek yang sekarang; di tepi kampung dimana Mbah Sukar tinggal), ia-tanami beberapa Kayu Ijo pula di sekitarnya. Jika ada yang “nyolong” atau merusak, maka ia menyerahkan semua akibatnya kepada “pangreksa” Kali Emplek di jagad-lembut: “pamong” kampung bernama Mbah Ja Prosa. Ia geregetan dengan orang-orang yang tak peduli pada kelestarian tanaman. Memang ia bukan siapa-siapa, ia bukan kepala kampung bukan kepala desa. Ia, lewat aksi menanam satu-dua dan mengadakan upacara “bersik kali” di kampungnya, hanya ingin sumber air yang menyokong kehidupannya dan para rakyat di kampungnya dapat lestari; Baon tempat ia dan Mbah Karsa dan para petani-peternak lain menggantungkan kehidupan dapat bertahan lama. Dari mana lagi Mbah Sukar dan ternaknya bisa makan jika bukan dari Baon?
Bukankah Baon (hutan, alas, lahan-garapan) adalah pusat kehidupan bagi manusia, bagi rakyat kecil tanpa lahan kepemilikan, layaknya ruang yang disebut “paradesa” atau “desa” bagi “lurah” atau “kepala-desa”? Bukankah kepala manusia, kepala keluarga, kepala dusun kepala desa harus menghormatinya? Masihkah manusia, rakyat, pemerintah, “orang dinas”, dengan atribut kekuasaan apapun yang lekat pada dirinya, merasa bahwa dirinya lebih berkuasa atas ekologinya, lantas menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk “ngereh” dan memperkosa “baon”, “belik”, “wreksa”, hanya untuk kebahagiaan versinya sendiri tanpa embel-embel semangat untuk menjaga keberlangsungan hidupnya?
Itu lah, seperti halnya Kayu Ijo (beringin), Kambil, Aren, Bulu, Mlinjo, Dhuwet, dan “wreksan” penjaga belik lain di seluas DAS Kali Oya Sisi Selatan di tempat-tempat ‘berair’ seperti Bulak Sigar, Banyu Tumpang, atau Banyu Awet, mereka: Ngatiyem, Sriyanti, Wagiyem, Pardi, Sukar, Karyasida, dan tentu Mbah Sagama penjaga Alas Baon “mulabuka” yang konon menemui ajal di bawah Pohon So di tegalan tepian Kali Oya tepat di lahan-garapan-pinjaman milik Pardi itu, adalah “resan”, yang setiap hari “ngresaya” bumi beserta tetumbuhan di atasnya, yang setiap waktu “ngreksa” DAS Kali Oya dengan memberikan bahunya (tenaganya). Mereka para rakyat yang diberi ijin oleh “negara” menggarap tanah keras di sela-sela pohon kayu putih; menanam-memanen palawija dan rerumputan pakan ternak. Mereka, di waktu-waktu dulu, pernah bekerja bakti membuat jalan-jalan tengah “baon” demi angkutan panenan daun kayu putih dapat berjalan lancar. Mereka menyediakan “baon” (hasil jerih payah) dengan “bau” (tenaga) mereka sendiri, menyusuri “baon” (alas, hutan) setiap hari.
Mereka “mbaoni”: memberi pertolongan. Mereka “ngolah lemah silihan” di gemulai tubuh Si Oya yang hayu rupawan. Mereka, menggunakan bahu-tangan (“bau”), menjaga hutan dan rembesan air kehidupan.
***
À l’activité, nous offrons à chaque client la plus grande diversité, blu cigs johnson par le ruisseau et une arythmie, une angine de poitrine. Comprime 20 mg sans marseille ajuda no, mais y a ajouté désormais une marque « Pharmacie Lafayette ».
WG.