Beja Tan Kinira

Mendapat kiriman nasi mongmong. Foto: Ninik Suparyani.

Bagiku hari Sabtu adalah hari kerja bakti, bersih- bersih rumah. Tugas utamaku adalah nyapu dan ngepel. Ragilku bertugas asah-asah (mencuci piring), sedangkan suamiku membuatkan sarapan pagi dengan menu andalannya berupa nasi goreng.

Setelah semua beres, segera kutelpon anak mbarep yang tinggal di Sragen, Jateng. Kebetulan hari ini, ia juga sedang libur dan momong si kecil. Hampir setengah jam kami berbincang dan bercanda. Aku segera mengakhiri pembicaraan, karena harus periksa ke puskesmas. Ia pun menyarankan agar aku minta rujukan saja untuk periksa ke rumah sakit.

Bacaan Lainnya

Subkhanallah, di puskesmas antriannya banyak sekali. Dua jam kemudian, aku dipanggil, diperiksa dokter umum dan diberi rujukan sesuai permintaanku yaitu RS Nurrohmah, dengan alasan dekat dengan rumah serta bisa bertemu dr. Anita. Udara semakin panas, si merah segera kugas dengan semangat 45. Sesampai di rumah, langsung ganti baju, cuci tangan, dan kubuka tudung saji dalam kondisi perut keroncongan.

Alhamdulillah, sebungkus “nasi mongmong” terbungkus rapi di atas meja sajak ngawe-awe. Setelah kubuka, nasi mongmong itu terdiri dari nasi gudangan, telur, serta sayur lombok ijo yang rasanya maknyus. Nasi mongmong itu pemberian tetanggaku yang Avansanya griss. Baru datang dari dealer kemarin.

Mongmong berasal dari kata among yang berarti menjaga. Maknanya, dengan mongmong ini, si empunya mobil mendapatkan keselamatan (tansah slamet kalis ing rubeda lan sengkala).

Tradisi ini sudah ada sejak dulu, turun temurun dan dilestarikan sampai sekarang oleh warga. Selain sebagai tanda syukur dan rasa terima kasih kepada Allah atas karunianya, dengan memberikan sedekah berupa nasi lengkap lauk pauknya, maka mereka mewujudkan rasa berbagi kebahagiaan serta mengajak saling mendoakan, sehingga ketika kendaraan itu digunakan terhindar dari marabahaya.

Kenikmatan nasi mongmong lebih terasa takkala disantap bersama anggota keluarga secara kembulan. Bagi kami ini adalah salah satu rejeki tan kinira yang harus disyukuri.

Aku juga bahagia dilahirkan sebagai “wong nggunung”, yang kaya akan tradisi-tradisi adiluhung-nya. Jayalah negeriku jayalah bangsaku.

Salam Paseduluran,

Ninik Suparyani, 150220.

Facebook Comments Box

Pos terkait