Air yang Politis

Air adalah tanda. Tetesan bening sebagai penanda, sedangkan aneka petanda pun diperebutkan, apa makna yang menang dan mengemuka.

Bagi kami, orang-orang yang tinggal di pegunungan karst yang gersang, air adalah berkah. Ia sangat dinantikan. Kami bahkan tak henti mengalunkan doa sebagai panggilan supaya ia segera datang menyiram tanah yang retak menganga.

Bacaan Lainnya

Ia adalah pelepas dahaga para petani. Kami mengandalkan curah hujan pada masa tanam. Ketika air datang di hujan pertama, berduyun raga yang turun ke ladang menebar bibit aneka tanaman: padi, kacang, jagung, juga batang ubi kayu yang dicocokkan.

Bayangkan saja, ketika semua bibit sudah mulai tumbuh segar, tiba-tiba air hujan tidak berlanjut pada hari dan minggu berikut, akhirnya harus menyaksikan ‘bayi-bayi’ tanaman layu-sekarat dan menemui ajal di depan matanya. Mereka seakan menyia-nyiakan tenaga, biaya, lalu karena kematian itu harus mengulang dua sampai tiga kali dalam menebar bibit tanaman.

Air, konon, juga bermakna spiritual. Ia menjadi petanda kehidupan, dan oleh karenanya kekekalan.

Namun hari ini dan sampai masa pilkada usai nanti, tentangnya ada makna baru diperebutkan. Air menjadi petanda politis. Ia hadir di tengah pertarungan kekuasaan. Ia menjadi bahan adu argumentasi, bahan ejekan, candaan, bahkan inspirasi merangkai kata-kata yang sayangnya nir kemanusiaan.

****

Facebook Comments Box

Pos terkait