Tak terbayang proses detik demi detik kejadian pada awal pagi, Rabu kelabu (8/9/2021) yang lalu. Sejumlah pria warga binaan meregang nyawa dijilati api yang menjemput ajal mereka. Ada 40 tewas di dalam sel disusul 6 lainnya. Mengenaskan!
Gara-gara petugas jaga terlambat membuka kunci sel beberapa kamar di Blok C2 Lapas Dewasa Klas I Tangerang Banten saat kebakaran melanda. Kunci penyelamat bagi puluhan manusia yang dijebloskan di ruang pengap itu tak memungkinkan diputar karena terhalang api yang terlanjur menguasai.
Tak hanya keluarga korban yang trenyuh atas apa yang terjadi di Lapas Tangerang pada Rabu lalu itu. Saya kira jutaan warga negara juga merasakan hal yang sama. Sebagian masyarakat sangat menyayangkan kejadian tragis itu. Mereka resah dengan mekanisme kedaruratan yang dimiliki oleh lembaga negara sekelas Kemenkumham. Kenapa bisa terjadi?
“Ini musibah!” Kata pak Yasonna dalam wawancara dengan awak media. Tampak sang menteri memberi kerangka atas peristiwa kelabu ini. Tak lama setelah kejadian, Pak Menkumham mengemukakan alasan kuat di balik kasus itu, yaitu karena lembaga pemasyarakatan over kapasitas. Over kapasitas? Terus bagaimana logikanya?
Begini, penyebab kebakaran itu diduga kuat karena arus pendek atau konsleting listrik. Kondisi instalasi listrik yang tua dibarengi adanya 400 % over kapasitas, karena itu beban penggunaan daya bertambah sehingga terjadilah arus pendek itu. Kapasitas seharusnya 600 menjadi 2.073. Nah, ternyata begitu logikanya.
Lalu bagaimana langkah penyelamatan yang dilakukan oleh petugas jaga saat kejadian?
Menurut informasi, ada 15 petugas per-regu untuk seluruh lapas. Jika karena over kapasitas, saya membayangkan, petugas yang tengah berlarian membuka kunci sel itu terhadang oleh berjubel orang yang berlarian ke luar. Hal ini karena banyaknya tahanan.
“Jika terisi sesuai kapasitas 60 orang bukan 122, tentu lebih mudah diselamatkan!” kata Pak Yasonna lagi-lagi mengungkapkan tentang over kapasitas dalam wawancara dengan awak media.
Saya sebagai orang awam merasa, pernyataan itu seperti pembenaran akan tindakan yang sangat terlambat yang dilakukan oleh petugas jaga, yaitu membuka kunci.
Tetapi pertanyaannya kemudian, kenapa bisa terlambat?
Nah, di sini ada banyak hal yang bisa dikemukakan secara sistem prosedur operasional yang berlaku di lembaga ini.
Saya sendiri tidak mengerti mekanisme internal lembaga ini. Bisa jadi sistem deteksi dini dengan alarm yang tidak ada, atau tidak berjalan baik. Atau barangkali ada semacam ketakutan menyalahi prosedur, sehingga ada waktu yang terbuang untuk mengambil keputusan.
Sekali lagi saya tidak paham. Namun setidaknya, alasan over kapasitas yang dikemukakan Pak Yasonna semestinya hanya dikemukakan menjadi penyebab kebakaran saja. Bukan menjadi alasan keterlambatan dalam penyelamatan nyawa para warga binaan. Bukankah kebakaran bisa terjadi di mana dan kapan saja?
Saya hanya membayangkan, di semua lapas ada semacam teknologi yang bisa menyelamatkan penghuninya jika terjadi bahaya. Misalnya dalam satu klik bisa membuka otomatis salah satu atau semua kunci pintu atau jendela darurat jika terjadi kebakaran, gempa, atau banjir bandang yang sangat mengancam jiwa penghuni kamar itu. Iya, ini urusannya nyawa! Rasanya, kalau sudah menyangkut urusan nyawa manusia, maka mestinya mekanisme penyelamatan apapun harus disiapkan.
Sesal datang di belakang. Lalu, apa yang bisa dipetik dari pelajaran dari mekanisme kedaruratan di lembaga pemasyarakatan bagi orang kebanyakan?
*
Tadi malam sebelum tidur, saya menceritakan kejadian kebakaran itu kepada anak perempuan saya yang berumur 11 tahun. Seperti biasa, sebelum kami tidur, saya bercerita apa saja kepadanya.
Khusus tadi malam, sebenarnya nilai yang akan saya sampaikan adalah hal yang sangat penting baginya memahami mekanisme menyelamatkan diri ketika ada dalam bahaya. Kisah pilu itu saya hubungkan dengan pengalamannya sehari-hari.
Saya pun teringat pemasangan teralis jendela rumah dinas yang kami tempati.
Begini.
Ceritanya bulan lalu rumah dinas yang kami tinggali dipasang teralis. Rencananya semula semua jendela akan dipasang rangka besi supaya aman jika ditinggal pergi atau ketika lupa mengunci. Ketika pihak pemborong datang, saya pun ditawari bentuk dan bahan yang tersedia termasuk di mana saja akan dipasang teralis tersebut.
Tiba-tiba saya ingat tentang jalan darurat yang harus ada di rumah kami jika terjadi apa-apa. Lalu kuminta satu jendela dapur dibiarkan tanpa teralis. “Nanti untuk jaga-jaga bila keadaan darurat supaya bisa untuk melompat keluar!”
Maklum saja, rumah kami tidak ada jalan ke luar pada bagian belakang. Semua tertutup. Maka harus ada satu jendela yang bisa dibuka kapan saja.
Saya menjelaskan lagi pada anak perempuan saya tentang jendela tanpa teralis itu sekaligus cara bagaimana melompat ke luar jika terjadi “sesuatu”.
Saya juga menceritakan pengalaman nyata dari satu keluarga tetangga rumah di Gunungkidul yang tinggal di Jakarta pada 2020 lalu. Satu keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan tiga orang anak meregang nyawa dilalap api. Mereka tinggal di perumahan sempit dengan dapur yang tertutup. Hanya ada satu pintu di depan.
Ketika kebakaran terjadi di depan mereka lari ke belakang namun tak ada jalan ke luar. Dan terjadilah kisah pilu itu. Satu keluarga itu pun dimakamkan di kampung diiring tangisan menyayat hati dari keluarga dan para tetangga.
*
Saya rasa sangat penting untuk bisa mengenalkan mekanisme kedaruratan sejak dini pada awam, khususnya bagi anak-anak. Dan hari-hari ini, saya berusaha melakukannya berangkat dari kejadian tragis ini.
Jika negara belum memberi teladan yang baik tentang mekanisme kedaruratan, bukankah rakyat kebanyakan tetap bisa memetik pelajaran sangat berharga dari peristiwa mengerikan ini?
***