Beri Aku Waktu

Lembayung langit barat penanda malam sebentar lagi akan datang, selimut gelapnya akan menutup jagat raya. Betapa indahnya langit di sebelah barat, disinari sang surya yang sebentar lagi akan masuk dalam peraduannya. Merah merona penuh pesona dan makna.

Aku masih menelusuri jalan-jalan ibu kota Jakarta. Berpacu dengan waktu, bahkan aku tidak menghiraukan indahnya langit sebelah barat, maha karya Sang Pencipta. Hanya satu yang ada dalam pikirku, berharap cepat sampai di rumah dan kembali di tengah-tengah keluarga.

Kira-kira pukul enam kurang sepuluh menit sampai sudah aku di rumah. Berbarengan dengan itu terdengarlah kumandang azan mahgrib dari masjid yang tak jauh dari rumahku. Segelas teh manis hangat menyambutku, mencairkan seluruh pikiranku dan juga membatalkan puasa sunahku.

Dalam otakku tercekat, kembali aku harus mengakui teh manis bikinan istriku luar biasa nikmatnya. Ini sangat luar biasa, tersaji disetiap hari Senin dan Kamis, sepertinya selalu ada yang tersisa untuk sebuah kerinduan menikmati teh manis hangat bikinannya. Teh manis buatan istriku, kalau dibilang tehnya lain ya ndak juga ha wong tehnya bermerek sama seperti yang ada di pasaran, gulanya juga sama. Ataukah mungkin karena ada rasa keikhlasan dan ketulusan yang menyertainya sehingga membuat nikmatnya amat sangat luar biasa.

Ah…apa-apaan ini? Pikiranku jadinya malah lari kemana-mana. Tanpa buang waktu lama, aku segera bergegas ambil sajadah dan segera melangkahkan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat magrib berjama’ah.

Sepulang dari masjid, aku lihat di meja makan telah tersedia makanan untuk buka puasa. Aku lirik menu yang tersaji malam itu cukup mengoda selera. Dalam hati aku berkata, “eehhmmm… tunggu sebentar ya, bakal aku bantai semua nih menu makanan favoritku.”

“Yah….setelah naik-naikan sekolah, kita pindah kan yah?” Sapa lirih istriku, yang duduk di sampingku.

“Ehhmmm….Insya Allah,” sahutku sekenanya.

“Nanti kalau kelamaan kasihan anak-anak. Juga rumah akan rusak kalau ndak segera ditempati,” kembali istriku berbicara seolah mau menerangkan sekaligus bereaksi akan jawabanku yang seolah-olah tidak serius.

“Pindah itu perlu biaya mama. Untuk saat ini ayah belum dapat memenuhi semua itu. Lagi pula kalau pindah tidak diperhitungkan dengan matang, nanti akan menyesal lho,” sahutku pelan.

“Terus kapan?” istriku mulai merajuk. Raut mukanya mulai berubah.

“Insya Allah dalam waktu dekat. Mama nggak usah ikut mikir, biar ayah usahakan dulu,” jawabku sambil aku pandang kedua mata istriku.

Sampai disini kami berdua terdiam. Aku kembali fokus pada menu makanan untuk berbuka. Aku lirik istriku, ia pun kembali menikmati makanannya.

Sudah menjadi rencanaku dan istriku, bahwa tahun ini aku mau menempati gubuk kecil yang berhasil kami beli. Aku sebagai seorang PERANTAU * yang bermodalkan semangat pantang menyerah, bisa beli gubuk kecil di pinggiran kota Jakarta. Semua hasil dari menabung, sen per sen aku kumpulkan. Hanya satu tujuan kami yaitu mewujudkan impian kami untuk memiliki gubuk sendiri.

Alhamdullilah semua terwujud, namun untuk segera pindah rasanya amat sangat berat. Aku sudah lama tinggal bersama dengan mertua dan anak-anakku pun lahir di daerah ini. Secara sosiologis mereka telah menyatu dengan kehidupan anak-anak di lingkungan ini.

Beri aku waktu……

***

Apa itu Merantau? Merantau, menurutku biasa dilakukan oleh warga luar pulau, dari luar daerah, atau dari negara lain. Alasan klasik merantau yang biasa disebutkan adalah daerah tempat kelahirannya kurang menjanjikan, maka mereka berusaha untuk beralih ke daerah yang lebih menjanjikan akan banyak hal.

Semangat untuk merantau seperti jadi sebuah keharusan bagi mereka yang daerahnya minus apalagi banyak bersliweran kisah orang-orang sukses dalam merantau. Kadang jargon ini ampuh untuk merangsang orang untuk merantau, “Jika tidak merantau, maka tidak akan tahu luasnya dunia.”

Aku membayangkan situasi dan kondisi daerah asal atau tanah kelahiranku. Ini bukan melegitimasi keinginanku untuk merantau ya, namun hanya gambaran yang mungkin mirip-mirip dengan sedulur semua.

Adapun keadaan dan kondisi tanah kelahiranku, adalah kondisi alam yang terdiri dari bebatuan kapur dan minim akan sumber air. Dengan kondisi seperti ini seolah-olah menjadi kawah Candradimuka, untuk menempa jiwa raga, agar selalu gigih berjuang untuk bertahan hidup. Tidaklah mengherankan apabila keadaan seperti ini akan terbawa saat merantau bekerja di kota-kota besar.

Dan tidak perlu heran, apabila banyak kita temui orang-orang Gunungkidul yang sukses menjadi pengusaha besar. Mempunyai karier yang bagus apabila menjadi pegawai negeri. Tetapi tidak sedikit yang kurang beruntung saat mengadu nasib. Contone sing ra sukses yo koyo aku ini, lagi iso tuku gubuk sing koyo gupon doro we wis nggaya.

Wis biarkan saja orang bicara. Aku hanya ingin jadi diri aku sendiri. Menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab sebaik-baiknya aku “BERSYUKUR DALAM SETIAP PERKARA” sepertinya adalah yang terbaik. Aku yakin akan indah pada waktunya. Wis ngunuh wae…

 Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.

Loading

Facebook Comments Box
Spread the love