Bukan Sekadar Barisan Angka Tanpa Makna

Aneka fakta di belakang data. Foto: youtube.

SEPUTARGK.ID – Berdasarkan catatan LSM Imaji, di Gunungkidul telah terjadi 12 peristiwa bunuh diri dari awal Januari sampai hari ini 15 Maret 2021. Jumlah kejadian bunuh diri selama 5 tahun terakhir tercatat dalam kisaran 29 – 34 kejadian per tahun. Kemudian, kejadian selama 3 bulan pertama (Januari – Maret) selama 5 tahun terakhir menunjukkan rentang 12-13 kejadian, kecuali pada tahun 2015 hanya ada 1 kejadian.

Hari ini masih pertengahan bulan Maret, tentu tidak ada pihak yang bisa memastikan apakah bakal terjadi kejadian serupa di kemudian hari. Yang bisa dipastikan adalah, tingginya harapan dari pihak manapun agar tidak terulang kejadian yang sama di kemudian hari. Ramainya perbincangan atau aneka komentar para netizen yang ditulis pada pemberitaan peristiwa bunuh diri pada dasarnya menunjukkan tingginya harapan besar tersebut.

Bacaan Lainnya
Jumlah kejadian BD Gunungkidul 2001-2020 dan data kejadian bulanan 2015- 15 Maret 2021. Dok: Imaji.

Data atau barisan angka kejadian bunuh diri memang bukan sekadar angka-angka tanpa makna. Angka kejadian yang naik turun setiap bulan, angka stagnan dalam kisaran 30-an kejadian per tahun tersebut sesungguhnya mengandung banyak makna. Dalam angka-angka tersebut tertaut ratap tangis pelaku yang sekaligus korban, kehampaan dan derita sanak keluarga yang ditinggalkan, juga kesedihan dan keprihatinan para sanak tetangga terdekatnya. Angka-angka itu sesungguhnya juga menjadi petanda, kita semua sudah melakukan langkah apa untuk mengatasi persoalan tersebut.

Perbincangan dan diskusi melalui medsos tentang peristiwa bunuh diri kadang terlihat lebih riuh dan mengalir berkembang ke berbagai sisi. Diskusi yang menjadi tak berujung pangkal. Masih sering dijumpai netizen yang menghujat sadis, mengutuk menyalahkan pelaku yang sebagai sosok yang bodoh, cupet pikir, kurang agamane, tipis imannya, dolanmu kurang adoh, dan varian-varian lainnya.

Apakah hujatan dan menyalahkan tersebut menjadi jalan mengatasi masalah? Apakah bisa meringankan beban sanak keluarga korban/pelaku juga masyarakat yang terimbas? Ada baiknya unjal ambegan sesaat. Sesekali waktu menyempatkan diri untuk menyelami hidup dan kehidupan pelaku sekaligus korban. Pandangan stigmatif tadi tentu bakal berubah.

Ya, memang masih ada pandangan bahwa rentetan kejadian bunuh diri di Gunungkidul dilekatkan dengan kemiskinan pelaku secara ekonomi, kebodohan, cupetnya pemikiran, tidak taatnya dalam beragama, karena pengaruh kekuatan gaib diluar kendali seseorang, dan lain-lainnya. Namun, sekali lagi, apabila mau merunut pemeriksaan dan pengumpulan data lapangan yang dilakukan pihak medis bersama kepolisian setempat, tentunya akan diperoleh pandangan lebih menyeluruh, agar diperoleh pembelajaran untuk langkah penanggulangan di kemudian hari.

Dari 12 peristiwa pada 3 bulan awal 2021 ini terdapat 8 kejadian dengan pelaku/korban perempuan dan 4 laki-laki. Dari sisi umur, 10 kejadian usianya 57-84 tahun, ada 1 kejadian usia 40 tahun, dan 1 kejadian usianya 21 tahun tercatat masih menjadi pelajar. Wilayah kejadian berada di kecamatan: Wonosari, Karangmojo, Nglipar, Semin, Gedangsari, Paliyan, Tanjungsari, Tepus, dan Saptosari.

Data 12 kejadian selama 3 bulan terakhir ini, terdapat beberapa tanda-tanda penting yang diperoleh dari catatan pihak medis dan kepolisian yang bisa menjadi early warning sign dalam tindak pencegahan oleh semua pihak. Berikut catatan pentingnya: 4 kejadian dengan kondisi korban/pelaku sudah sepuh mengalami sakit menahun, 4 kejadian dengan kondisi pelaku/korban kondisi terakhir depresif dan ada yang memiliki riwayat kesehatan mental dan pernah menyatakan akan melakukan bunuh diri, 2 kejadian dengan keterangan pelaku/korban tidak ada permasalahan ekonomi, dan 2 kejadian dengan keterangan pelaku/korban sedang mengalami permasalahan ekonomi, salah satunya terlilit hutang.

Hal menarik dan perlu menjadi perhatian, masih dijumpai di beberapa tempat di Gunungkidul adanya masyarakat yang mbongkar atau mbubrah rumah tempat kejadian bunuh diri, menebang pohon, membakar kandang tempat kejadian, dan sebagainya. Bukankah ini adalah kesadaran dan tindakan kolektif-arketif untuk menyembuhkan luka batin agar peristiwa buruk tersebut berakhir? Jika ditelisik lebih lanjut, apa yang dilakukan dalam tindakan ini adalah bagian dari upaya pemulihan kejiwaan dari kondisi stress paska trauma atau PTSD (post traumatic stress disorder). Kalau begitu, mengapa masih ada saja yang melakukan olok-olok, mengecam pelaku/korban yang melakukan tindakan bunuh diri dan keluarganya?

Kehendak Pemerintah Kabupaten Gunungkidul beberapa tahun terakhir dan bakal dilanjutkan adalah “mewujudkan Gunungkidul sebagai daerah tujuan wisata yang terkemuka dan berbudaya menuju masyarakat yang berdaya saing, maju, mandiri, dan sejahtera”. Tidak ada yang keliru dengan kehendak ini. Yang perlu menjadi catatan penting, bahwa menjadi masyarakat yang berdaya saing, maju, mandiri, dan sejahtera tentu bukan sekadar capaian-capaian pembangunan fisik semata.

Masyarakat yang berdaya saing, maju, mandiri, dan sejahtera tentunya juga mencakup capaian-capaian ketangguhan atau ketahanan mental dalam menapaki perjalanan waktu dengan perubahannya yang terjadi. Di sinilah pentingnya peran pembangunan sektor pendidikan, kesehatan fisik dan mental, pengembangan nilai-nilai budaya dan spiritualitas, termasuk pengembangan kemampuan perekonomian keluarga. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya memang tak bisa ditinggalkan atau pun ditanggalkan begitu saja.

Menjadi penting dan mendesak adalah, bagaimana mendekatkan masyarakat dengan kehadiran layanan kesehatan fisik dan mental yang bersahabat. Layanan kesehatan fisik dan mental yang tidak membuat masyarakat takut atau enggan untuk “berkeluh kesah” akan problema fisik dan mental, meskipun mereka datang cuman pakai sandal jepit atau nyeker atau terkadang terlihat kurang trep suba-sita-nya. Bagaimana meningkatkan kapasitas layanan kesehatan fisik dan mentalnya baik berupa prasarana, sarana, maupun SDM-nya, sudahkah Satgas tingkat Kabupaten beraksi nyata, sudahkan TPKJM Kecamatan giat berkoordinasi, dan seterusnya. Tentu hal-hal ini menjadi isu utama.

Seorang kawan penulis beberapa hari lalu sempat membuat tulisan yang diberi judul Joran Pancing . Ia menuliskan pengalamannya ketika mancing di Telaga Jonge bersama anaknya. Ada sebuah burung emprit yang tercebur ke telaga, dan si anak tersebut menyorongkan joran pancing sehingga menjadi tambatan bagi emprit dapat diangkat dan tidak tenggelam di danau. Peran menyelamatkan hidup emprit yang hampir tenggelam ternyata dapat dilakukan dengan langkah sederhana menyorongkan joran pancing tadi.

Baca : Joran Pancing.

Peran menyelamatkan hidup itu dapat dilakukan oleh siapapun secara swadaya. Ada yang terbiasa melakukan anjangsana atau silaturahmi sedulur-sedulur yang kesepian. Ada yang terbiasa memberikan atau menjadi penyalur bantuan bahan pokok bagi sedulur-sedulur yang membutuhkan. Ada yang terbiasa meminjamkan motor atau mobilnya bagi sedulur yang kesulitan angkutan sewaktu berobat ke klinik atau rumah sakit.

Menyelamatkan hidup juga bisa dilakukan sekalipun hanya menjadi kawan pendengar sepenuh hati ketika ada teman yang pengen ngobrol atau curhat, bila perlu sesekali menyambungkan ke pihak lain yang mungkin bisa membantu “ngentheng-enthengi pasambat“.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait