Exploring Kedungpoh: Memotret Objek atau Subjek?

Exploring Kedungpoh. Dok: GP.

Sabtu-Minggu ini 29/2 – 1/3, teman-teman Komunitas Gunungkidul Photography (GP) dan para mitranya akan melakukan kegiatan di Desa Kedungpoh Nglipar dengan nama Exploring Kedungpoh. Nama kegiatan berbahasa Inggris barangkali bertujuan agar menarik minat masyarakat luas, mendunia, dan mungkin gaul di kalangan generasi milenial. Namun, bagi para kasepuhan jadoel, apalagi para warga perdesaan perlu bersusah-payah agar mampu menggapai maknanya.

Saya membayangkan diri saya sebagai warga Desa Kedungpoh. Cekak aos-nya saya memahami, besok Sabtu-Minggu akan kedatangan tamu kebanyakan para anak muda dari Kota Wonosari, Jogja, bahkan tamu jauh dari kota lain. Mereka akan berkunjung sehari semalam untuk tinggal di tempat kita, kemudian memotret kita semua, juga memotret hasil olahan panganan kita, hasil kerajinan kita, olah seni dan tradisi kita, perkakas, dan tak lupa tempat-tempat indah di desa kita yang jadi tempat wisata.

Bacaan Lainnya

Ya, dengan adanya tamu yang memotret isi desa ini semoga desa kita menjadi lebih dikenal, jadi tempat wisata yang dikunjungi banyak orang karena tempatnya indah dan ada berbagai kesenian dan tradisi yang layak dinikmati. Semoga juga hasil olahan panganan, minyak klentik, dan kerajinan tangan bisa makin dikenal serta laku terjual.

Saya berusaha sekuat tenaga memahami nama kegiatan yang memakai bahasa internasional ini. Exploring ternyata berasal dari kata “explore”. Ternyata saya tertolong karena teringat film kartun yang digemari anak-anak, judulnya “Dora The Explorer”. Anak saya dulu juga senang melihat film kartun tersebut. Dora, si tokoh kartun tersebut digambarkan sebagai anak yang lincah, senang pergi berpetualang. Ke mana-mana, ia selalu bertanya ini-itu kepada setiap orang yang dijumpai. Dora berusaha merekam, memahami dan meresapi setiap perjumpaan dengan siapapun dan apapun, sehingga ia dapat betul-betul mengenali apa dan sapa yang sebenarnya yang ia temui, ia kenali, ia catat dan rekam melalui mata, telinga, dan hati nuraninya.

Ya, penggunaan kata “exploring” ternyata tidak sekadar jalan-jalan sambil motret sana motret sini objek foto, dilanjut acara makan-makan, ngobrol gojekan bareng teman-teman penghobby motret, dan memikirkan gimana nanti memposting ke web, facebook, twitter, atau instagram. Exploring ternyata lebih dari sekadar berjalan-jalan di perdesaan yang belum dikenal sebelumnya dan membekukan objek dalam foto atau merekam penggal kegiatan dalam video.

Exploring ternyata mesti mengenali dan memposisikan warga perdesaan yang dijadikan objek foto, direkam ketika memproduksi minyak klentik, menari saat pentas, nembang saat hadroh atau geguritan adalah juga subjek. Mereka adalah pelaku kehidupan yang menganyam sejarah perjalanan masyarakat perdesaan yang melingkupinya.

Tempat indah yang berpotensi menjadi spot wisata menawan di kemudian hari ternyata juga bukan objek benda mati. Bukan benda mati yang sekadar bisa dibatasi dengan patok batas administrasi wilayah desa, yang kemudian menjadi dasar klaim ini tempat milik kami, bukan milik warga desa lain gegara adanya kue manis dari tempat wisata. Tetapi tempat indah karena setiap warga perdesaan dapat bekerja dan melangsungkan sejarah hidup desa dari apa olah budi-daya warganya, dan menjadi kesatuan “desa besar” dari perdesaan-perdesaan di sekitarnya.

Teman-teman GP dengan serial kegiatan “exploring” di Kedungpoh saat ini sedang mengajak ke habitat dasar manusia pegunungan karst, yaitu “budidaya manusia-manusia dalam bantaran DAS Oya”. Daerah Aliran Sungai Oya, adalah DAS dengan aliran air permukaan tanah yang terpanjang dan terbesar di area Gunungkidul. Barangkali bisa digali dan ditemukenali, apakah perdesaan-perdesaan di sekitar bantaran Sungai Oya ini merupakan kelanjutan dari penemuan kubur batu dan artefak-artefak megalitikum di Sololiman yang tak jauh dari Desa Kedungpoh. Ini tentu akan melengkapi data dari “annual exploring” sebelumnya.

Mengeksplorasi Kedungpoh kayaknya sudah nyerempet nama tokoh awal dan lokasi wilayah yang disebutkan dalam dokumen resmi sejarah Kabupaten Gunungkidul. Barangkali menjadi bahan perdebatan yang tak akan pernah selesai, dokumen resmi tersebut menyebutkan ada tokoh semasa Majapahit yang bernama Dewa Katong dengan permukiman bernama Pongangan dan kemudian boyong ke permukiman baru bernama Katongan, dan anak turunnya kemudian berpindah ke permukiman baru bernama Karangmojo.

Bukankah Desa Katongan bersebelahan dengan Desa Kedungpoh? Di Desa Katongan yang hanya “sak-rokok-an mlaku” itu terdapat petilasan tokoh yang disebut Jayeng Katong. Apakah tokoh ini adalah sama dengan Dewa Katong yang disebut dalam dokumen resmi itu? Wah, kayaknya teman2 GP hampir berpetualang di tempat dan perdesaan yang disebutkan dalam paragraf pertama dokumen resmi tersebut.

Kadang batas administrasi wilayah saat ini menjadi pembatas alam pikir kita dalam melakukan petualangan, dalam melakukan eksplorasi. Selamat bereksplorasi secara merdeka. Semoga ada teman-teman GP yang gelem nerobos batas administrasi wilayah tersebut.

Maturnuwun.

***

Kidul Kali Oya, 29/2/2020.

Facebook Comments Box

Pos terkait