Napak Tilas Kopi Di Gunungkidul 2: Mengenang Seabad Bukti Kejayaan Robusta Gunungkidul

Foto kebun kopi Gunungkidul. )Digital Collection milik Leiden Universiteit).

Keberadaan kopi saat ini memang menjadi salah satu trend di Indonesia. Memasuki gelombang ke-empat perkembangan kopi, saat ini didominasi dengan variasi olahan espresso based. Salah satu trend di Indonesia adalah kopi susu kekinian. Di luar trend tersebut, kopi single origin tetap memiliki penggemarnya sendiri. Berbicara tentang kopi single origin, kembali kita mengenang kejayaan kopi Indonesia. Pada masa penjajahan VOC, kopi jawa sangat terkenal di Eropa bahkan hingga pengidentikkan kopi dengan Pulau Jawa melalui sebutan kopi sebagai ‘Cup of Java’.

Pada masa itu kopi masuk ke pulau Jawa  pada tahun 1696 yang dibawa oleh Pemerintah Belanda. Di tahun 1707, VOC mendistribusikan bibit kopi ke Batavia, Cirebon, kawasan Priangan serta wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Hingga akhirnya berhasil dibudidayakan di Jawa sejak tahun 1714an. Sekitar 9 tahun kemudian, produksi kopi Jawa mendominasi pasar dunia. Bahkan pada saat itu jumlah ekspor kopi dari Jawa ke Eropa telah melebihi jumlah ekspor kopi dari Mocha (Yaman) ke Eropa. Dalam Serat Centhini juga tertulis isyarat bahwa masuknya kopi ke Pulau Jawa melalui Jatinegara, lalu tersebar ke Priangan hingga kemudian tersebar mulai dari Sumatera, Bali, Sulawesi, Flores hingga Papua.

Bacaan Lainnya

Di Gunungkidul sendiri tidak ada catatan khusus terkait perkebunan kopi. Namun dari salah satu foto yang dipajang di Digital Collection milik Leiden Universiteit dengan judul ‘Bloeiende koffie in het Zuider-gebergte (ook Goenoeng Kidoel genaamd) bij Jogjakarta’ dapat kita lihat bahwa di Gunungkidul pada tahun 1920 memiliki perkebunan kopi yang cukup besar. Di dalam foto tersebut terdapat seorang Belanda yang berdiri di tengah amparan kebun kopi yang baru berbunga sangat banyak. Judul foto tersebut yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Bunga kopi di Pegunungan Selatan (Daerah Gunungkidul) distrik Yogyakarta’ menunjukkan bahwa pada saat itu perkebunan kopi baru mengalami blooming bunga kopi atau mekarnya bunga kopi dalam jumlah yang sangat banyak. Kondisi ini biasanya menandakan akan munculnya panen raya kopi. Selain itu, dari foto tersebut dapat kita ketahui bahwa kopi yang ditanam di Gunungkidul adalah Coffea canephora atau lebih dikenal dengan nama kopi robusta serta memiliki pohon naungan berjenis Leucaena sp. atau dalam bahasa jawa kita kenal dengan nama Lamtoro.

Spesies kopi yang ditanam tersebut dapat memberikan informasi terkait waktu penanaman. Kopi robusta yang digunakan untuk perkebunan masuk ke Indonesia pada tahun 1907 yang didatangkan oleh pemerintah Belanda karena hama karat daun yang menyerang kopi Arabica (Coffea arabica) dan liberica (Coffea liberica). Hal ini menunjukkan bawa perkebunan kopi di Gunungkidul ditanam sekitar tahun 1907 – 1915. Sayangnya tidak ada foto lain yang memberikan informasi lebih lanjut. Ada beberapa tulisan yang merujuk pada perkebunan di Gunungkidul pada masa itu. Dari tulisan tersebut, kita hanya dapat mengetahui bahwa komoditas perkebunan di Gunungkidul pada masa itu adalah Kopi dan Tembakau. Untuk tembakau berada di daerah Semanu, namun tidak dijelaskan lokasi perkebunan kopi di Gunungkidul. Tulisan yang memberikan informasi kopi di Gunungkidul hanya sebatas pada pohon naungan yang berupa lamtoro.

Namun dalam tulisan sejarah, perkebunan kopi dikembangkan oleh Mangkunegaran yang memiliki kondisi geografis tanah pegunungan, seperti daerah Wonogiri, sebagian Karanganyar, dan Karangpandan. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran dimulai pada tahun 1814.

Bibit kopi diperoleh dari Kebun Kopi Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Di salah satu referensi menulis bahwa perkembangan kopi di Mangkunegaran mengalami masa puncak pada saat L.J. Jeanty yang merupakan salah satu dari dua inspektur kopi dari Belanda yang membawahi wilayah Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari dan Ngawen. Namun kami belum dapat memastikan bahwa Ngawen yang dimaksud adalah Ngawen yang merupakan salah satu kecamatan di Gunungkidul. Hal ini karena Ngawen bukanlah bagian dari Mangkunegaran, melainkan masuk ke Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan merupakan perluasan perkebunan kopi mengingat Kecamatan Semin dan Ngawen berbatasan langsung dengan Wonogiri yang menjadi pusat perkebunan kopi milik Mangkunegara IV.

Meski lokasi perkebunan kopi yang tercantum di foto tersebut masih belum diketahui, namun satu-satunya foto tersebut dapat memberikan informasi bahwa Gunungkidul merupakan salah satu lokasi yang baik untuk penanaman kopi robusta. Meski tidak sepopuler Arabica, robusta tetap memiliki penikmatnya tersendiri. Foto yang dipublikasi tahun 1920 tersebut memberikan informasi penting kepada kita bahwa perkebunan kopi di Gunungkidul tidak dimulai pada masa orde baru seperti yang kita ketahui selama ini, namun sudah dimulai sejak pendudukan Belanda dan perdagangan hasil perkebunan oleh VOC. Sayangnya kami belum menemukan jejak dari keberadaan perkebunan kopi di Gunungkidul seperti daerah lain untuk menguak lebih jauh tentang perkebunan kopi di Gunungkidul. Namun paling tidak dari satu-satunya foto yang telah berumur satu abad ini, kita dapat mengetahui informasi yang cukup berharga bagi kita tentang komoditas yang dulu pernah berkembang dan berjaya di Gunungkidul bahkan hingga ditulis dan didokumentasikan oleh Belanda pada masa itu. Tinggal bagaimana kita akan menyikapinya. Akankah kita memanfaatkan informasi ini atau tidak. (Edi Guano)

Facebook Comments Box

Pos terkait