Joyo Bukan Joker

ilustrasi perilaku kriminal pada anak-anak. Dok; Tirto.

“Hukuman ke-tujuh Diterima dengan Senyum”, deretan kata-kata ini spontan membelalakkan mataku. Agak gemetar tangan ini saat membaca tulisan pada satu lembar koran di atas lantai rumah joglo Bu Surojo.

Hari itu, kudapatkan berita yang membuat jantung berdegub lebih cepat dari sore biasanya. Iya, setiap petang tidak kulewatkan moco koran dari tetangga Bu Surojo yang selalu membawa pulang lembaran-lembarannya dari Pasturan Gereja Katolik Ganjuran. Kali ini, saya mendapatkan berita istimewa. Dari judulnya saja sudah terasa spesial. Judul berita itu tertera di Kedaulatan Rakyat tahun 1989 pada halaman tentang tindak kriminal di Bantul.

Bacaan Lainnya

Tentu saja membuat mataku berkaca-kaca setelah mendapatkan kejelasan akhir putusan hukuman yang dijatuhkan untuk seorang teman. Bolak-balik dijebloskan penjara, namun tidak membuatnya jera. Itu berita tentang teman masa kecilku yang kapok lombok, mengulang lagi perbuatan yang semula jera, eh, kali ini terulang lagi. Orang Jawa menggambarkan hal itu seperti makan sambal; kapok tapi diulang lagi besuk: bahkan ini sampai tujuh kali. Yah, ini yang kadang juga membuat senyum sendiri, geli.

Nama panggilannya “Joyo”. Aku lupa nama lengkapnya. Seorang teman masa kecilku. Rumahnya hanya dibatasi satu rumah dari orangtuaku. Orangnya berkulit coklat gelap dan bertubuh pendek, termasuk gempal dibanding dengan teman sepermainannya.

Badannya berotot, mungkin karena terlatih dengan kerja fisik: menimba air dari sumur, mencari rumput untuk kambingnya, dan mengangkat kayu bakar membentuk body-nya. Rambutnya lurus agak kumal sedangkan gigi depannya besar-besar agak tongos. Baju dan celana yang dipakai terlihat robek-robek kecil dan belel.

Dia tinggal hanya dengan bapaknya di rumah yang dindingnya terbuat dari gedheg atau anyaman kulit bambu. Berbeda dengan rumah yang lain di lingkungannya yang rata-rata terbuat dari dinding batu bata. Sedangkan lantainya tanah, hitam agak berpasir khas Bantul.

Tetanggaku ini tidak meneruskan pendidikan sekolah dasar. Zaman itu belum ada sekolah gratis. Mungkin bapaknya lebih memilih bagaimana memikirkan untuk makan sehari, walau itupun tidak pasti bisa tiga kali.

Dia pelatih ulung dalam mencari ikan. Mahir mancing, nyeser, nyuluh, tetawu, gogoh-gogoh; cukup banyak metode menangkap ikan yang dikuasainya. Dia bisa dibilang “pemakan segala”, tak segan makan jangkrik, ulat turi, laron, bahkan ubi mentah untuk mengganjal perutnya. Belum genap usia 10 tahun, dia sudah lincah naik pohon kelapa, memetik kelapa muda dan mengupas dengan giginya. Sepulang dari ngarit, ia langsung menimba air dari sumur dan “glek, glek, glekk” tenggakan yang memuaskan dahaganya. Luar biasa daya tahannya.

***

Waktu itu, dia adalah pelatih dalam hal pencurian kecil-kecilan. Bayangkan, dia naik pohon mangga di saat pemiliknya masih ada di sekitar halaman, di siang bolong. Kami yang yunior jelas senam jantung, keringat dingin takut ketahuan simbah pemilik kebun. Ndak cuma sekali, kami diajari masuk kebon tebu, dan harus main petak umpet dengan mandor yang galaknya melebihi ibuku. Bahkan, di saat kami hanya berani ‘nglolos’ tebu dari belakang lori kereta pengangkut tebu yang berjalan agak pelan, dia nekad naik lori dan menurunkan satu ikat. Untuk menghindari penjaga yang duduk di lori ia kemudian terjun ke kali. Kami jelas gemetaran…

Sayangnya, ‘hobinya’ keterusan. Mungkin karena kepepet keadaan, dia melanjutkan ketrampilan dengan tangan panjangnya. Beras, uang, jam tangan, jeans, dan banyak jenis barang milik tetangga pun diambilnya, ya pencurian masih level pemula. Lama-kelamaan, merambah ke luar daerah dan barang yang lebih berharga: sepeda, becak, motor, semua tercuri dengan ‘baik’.

Dia pasti bisa lolos saat mengambil, namun sering ketangkap saat membuang barang curiannya. Ya bayangkan lucunya, dia sukses menggasak motor Astrea 800 meski dia belum fasih menaikinya eh, diambil pula, ya jelas ketangkaplah… “Isa nyolong, ora isa mbuang”, bikin geleng-geleng kepala para tetangga.

Suatu sore jam 17.00 WIB, saat mandi, aku kaget bukan kepalang mendengar suara “bukk, bakkk, buukkk” diiringi teriakan dan raungan tangisan dari depan halaman rumah. Aku melilitkan handuk dan segera lari keluar dari kamar mandi menuju datangnya suara itu. Ternyata orang-orang sedang mengeroyok Joyo, dengan kepalan tangan yang datang dari kiri-kanan bergantian. Kepalanya bonyok, matanya lebam merah hitam biru. Ia menjerit layaknya anak yang meratap… sebagai seorang teman aku hanya bisa meneteskan air mata, iba.

Kini, entah gimana kabarnya… si anak alam yang dibentuk dari tekanan kehidupan…. Kubelajar sisi keberanian dan perjuangan darinya: seorang teman masa kecil yang bernama Joyo.

“Akoe masih botjahmoe!”

***

Facebook Comments Box

Pos terkait