Dari dalam kamar kudengar percakapan menggelitik, pagi ini, antara dua orang pekerja bangunan di samping rumah.
“Lha, wong olehe ora sekolah wis suwe kok bisa lulus…”
“Sapa, Kang?”
“Anakku, kelas enem wingi… Lulus terus arep neruske esempe ngono!”
Benar juga, batinku. Lebih jauh kutafsir begini, anak mase yang badannya gagah berotot itu lulus sekolah. Ia merasa agak gimana gitu, mengingat buah hatinya ndak pernah masuk sekolah namun tiba-tiba lulus dengan mudah. Ia bahagia namun juga terbersit tanya, kira-kira begitu.
Ya, ndak salah juga kan mas, batinku, lha wong masa ini kan pembelajarannya lewat daring. Si anak kan tetap sekolah dan mengumpulkan tugas-tugas. Eh, tapi tanya itu, rasanya mengusik kemapanan proses pendidikan yang dianggap dilakukan di ruang-ruang kelas saja. Bukankah proses pendidikan ndak sekadar telah dilakukan di sekolah?
Menilik gagasan sang Bapak, konon Ki Hajar Dewantara menolak pengajaran versi penjajah yang menekankan perintah, hukuman dan ketertiban. Konon arahnya lebih mementingkan sikap intelektual, materialistik, dan ketergantungan ekonomis plus hanya akan menghasilkan pekerja negara.
Beliau menekankan, bahwa pendidikan itu perkara proses membangun manusia utuh dan manusiawi, karenanya prosesnya mengolah potensi-potensi peserta didik secara terintegrasi. Tentunya meliputi seluruh kehidupan di alam semesta yang dimulai dari keluarga.
Poin ruang non sekolah ini jadi berarti. Karenanya, dugaan Corona membuat peserta didik jadi lulus dengan mudah ya ndak masalah. Yang jelas, di tengah kesempitan waktu dan tempat, semestinya tak lantas menghentikan proses belajar mengajar. Mungkin juga jadi kesempatan untuk menantang para orangtua agar menuntaskan perannya, ngemong anak-anaknya.
***
“Situ juga ya, katanya dikit lagi lulus, tinggal revisi, karena kesempatan korona jadi mudah ya?”
Woo, tak plototi wajahmu!
***