Kisah Tuminem: Rahasia yang Dibawa Mati

Meskipun saat itu pertengahan Desember, dan menurut perhitungan pranata mangsa adalah menjelang akhir dari musim keenam, tetapi cuaca di Gunungkidul cerah sekali. Musim seakan berubah. Langit bersih tak berawan. Hampir seminggu tidak turun hujan. Orang Jawa menyebutnya bethatan, terjemahan bebasnya, kondisi hujan tiba-tiba berhenti beberapa waktu lamanya pada bulan-bulan yang seharusnya memiliki curah hujan yang tinggi (Desember – Januari).

Bacaan Lainnya

Kendati hujan bagi masyarakat Gunungkidul sangat dinanti-nanti, namun bethatan juga disambut dengan sukacita, terutama oleh ibu-ibu. Sebab pekerjaan mereka menjadi lebih mudah diselesaikan: jemuran cepat kering, ke pasar tidak ada hambatan, anak-anak ke sekolah lancar, mencari rumput atau kayu kapan pun bisa. Jauh berbeda jika turun hujan sepanjang hari. Laki-laki masih pantas nongkrong seharian di rumah, tetapi pekerjaan kaum perempuan justru bertambah banyak. Mulai dari mengurus anak, pekerjaan dapur, mencuci, melayani suami. Apalagi kalau punya anak kecil atau bayi. Dua puluh empat jam tangan dan kakiknya seolah-olah tak bisa berhenti.

Bethatan di Dusun Salarah, Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, kali ini juga membuat suasana kampung tampak lebih hidup dan bernuansa. Setiap menjelang senja, puluhan anak muda berpakaian bersih memenuhi jalanan. Saling menunggu, menjemput teman-temannya, kemudian bersama-sama pergi ke mesjid untuk salat dan belajar mengaji.

Di Salaran, pemandangan seperti itu adalah biasa. Hampir seluruh penduduk di sana adalah pemeluk Islam yang taat. Islam adalah agama turun-temurun yang dianut masyarakat sana sejak nenek moyang dahulu. Sehingga jika dibandingkan dengan dusun di sekitarnya, tingkat ke-Islam-an orang Salaran jauh lebih tinggi. Agama bukan lagi melayang di awang-awang, tetapi sudah menyentuh bumi. Sudah diamalkan dan sudah diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Maka tidak mengherankan jika Salaran pada dekade 90-an berkembang menjadi Dusun terdepan bagi Desa Ngoro-oro. Kehidupan warga yang agamis, tenteram, damai, dan kesadaran sosialnya yang tinggi, membuat Salaran terpilih menjadi semacam “pusat” kegiatan desa, sehingga balai desa yang baru pun didirikan di sana. Dengan demikian, Salaran boleh disebut sebagai “wajah” dari Desa Ngoro-oro. Raut muka yang mencerminkan perikehidupan desa secara keseluruhan.

Rumah tokoh kita kali ini, Tuminem, terletak tidak jauh di belakang balai desa tersebut. Perempuan berusia sekitar 35 tahun ini adalah istri Sudiyono, ibu dari dua orang anak laki-laki, Sunaryo dan Suyanto. Sebagai wong cilik (rakyat biasa) yang hidup di perdesaan, sosok Tuminem bukanlah orang yang menonjol. Sifat perilakunya nyaris sepadan dengan nama yang diwariskan orang tua kepadanya, yaitu perempuan Jawa yang lugu, sederhana, memiliki ikatan batin kuat dengan sanak kerabat maupun lingkungan tanah kelahiran. Singkat kata, Tuminem adalah profil perempuan Gunungkidul sejati.

Nama Tuminem baru menjadi berita, melekat di bibir orang Salaran dan sekitarnya sejak 18 Desember 1994. Sewaktu dusun mulai bangun, setelah istirahat sejenak dalam perjalanan panjang menuju akhir tahun. Kokok ayam pagi itu tiba-tiba tak seriuh biasanya. Hanya sesekali terdengar, seolah-olah mereka ingin menyatakan: “Hari ini tidak perlu dirayakan”.

Selepas subuh, benar-benar merupakan suasana duka bagi Dusun Salaran. Laki-perempuan berkerumun di halaman. Sambil kedinginan, anak-anak pun memegangi tangan atau baju orang tuanya seperti ketakutan. Dapur dibiarkan sunyi. Berbagai kegiatan dihentikan sejenak untuk mendengarkan kisah demi kisah yang mengalir ke berbagai penjuru. Berita bahwa Tuminem telah berhenti menjadi ibu.

Ketika semburat matahari semakin nyata di pucuk-pucuk jati, berita mengenai Tuminem telah menyebar ke mana-nama. Sopir-sopir angkutan yang lewat, para pedagang yang hendak ke pasar, ikut mengabarkan tragedi rajapati itu. Duka dan tanda tanya pun muncul, seiring dengan merangkaknya waktu, menggerakkan puluhan kaki berbondong-bondong mencari kejelasan ke rumah si mati.

Di antara kerumunan warga di depan rumah Sudiyono, Ibu Suratminah, Kepala Dusun Salaran sejenak tak tega berucap. Ia harus berkutat lebih dulu menepis rasa kewanitaannya, termasuk menahan air mata yang tiba-tiba ingin menyeruak keluar. Sebab, Tuminem nyaris bukan orang lain bagi keluarganya. Bukan saja karena rumah mereka berdekatan, tetapi lebih karena Bu Kadus memiliki hubungan emosional yang sangat dekat dengan istri Sudiyono tersebut. Sebab, setiap ada kerepotan, Tuminem sering dimintai bantuannya. Baik kerepotan pribadi maupun yang berhubungan dengan tugas jabatannya.

Maka, seberat apapun perasaan yang menggelegak di hatinya, Bu Suratimah segera turun tangan. Diikuti Sudiyono dan beberapa orang, Bu Kadus memeriksa tubuh Tuminem yang mulai dingin dan kaku. Mulutnya berbuih, matanya terpejam dengan baik. Di dekatnya terdapat botol kecil racun tikus yang telah kosong. Seluruh keluarga tak ada yang tahu, dari mana Tuminem mendapatkan dan di mana racun itu disimpan sebelumnya.

Kira-kira pukul 08.00 WIB, polisi serta dokter Puskesmas baru tiba. Bu Kadus ikut melayani serta mendampingi pemeriksaan itu, sambil sesekali mengusap matanya yang basah, seakan membuktikan pameo Jawa mengenai kepemimpinan yang baik: Manakala ada warga yang mengalami musibah seperti itu, nuraninya ikut bicara. “Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan“.

Selesai diperiksa, jenazah diserahkan peada keluarga untuk dirukti (diurus) sebagaimana layaknya. Sebab tidak ada tanda-tanda Tuminem dianiaya. Jadi kematian itu murni karena dirinya sendiri. Sudah diniati, dipilih, dan dilaksanakan seorang diri.

Meskipun pengurusan sampai pemakaman jenazah Tuminem dilaksanakan secara Islam, sesuai dengan adat setempat, namun suasananya terasa jauh berbeda dengan kematian biasa. Sda ketegangan, tanda tanya, dan rasa ngeri di mana-mana. Jam satu siang jenazah diberangkatkan ke makam. Zikir dan iring-iringan panjang pelayat mengantarnya ke tempat pemberhentian terakhir. Begitu upacara penguburan selesai, nisan dipasang, bunga ditaburkan, doa dipanjatkan, tiba-tiba siang jadi teduh. Awan berarak di langit. Gerimis kiranya akan turun.

Pulang dari makam, seorang lelaki tua, Rejo Utomo, ayah Tuminem yang tinggal di Dusun Soka, seakan belum percaya si anak telah mendahului dirinya. Hatinya cukup tabah. Sebagai laki-laki, ia tak akan menangis. Tetapi setelah melihat kedua cucunya, Sunaryo dan Suyanto yang menjelang remaja, jantungnya menjadi berdebar kencang. Kuatkah menantunya, Sudiyono, membesarkan mereka seorang diri? Kuatkah laki-laki menjelang usia empat puluhan itu hidup sendiri tanpa perempuan mengisi denyut jantung di dada kiri?

Sejak peristiwa hari itu, bukan hanya Rejo Utomo yang dibelit pertanyaan. Seluruh warga Salaran ikut memikirkannya. Lebih-leih setelah latar belakang kematian Tuminem benar-benar tak terungkap. Benar-benar gelap, sekan tak terdapat celah sekecil apapun untuk membayangkan, mengapa kematian menjadi pilihannya, menjadi cara membebaskan dirinya dari permasalahan yang mengungkungnya.

Dari pengakuan maupun kesaksian banyak pihak, selama ini keluarga Sudiyono tampak adhem ayem (tenang damai) saja. Baik suami istri, serta anak-anak mereka taat beribadah. Kehidupan ekonomi mereka juga lumayan. Sebagai kepala rumah tangga, Sudiyono sangat bertanggung jawab. Orangnya enthengan (suka bekerja). Jika garapan tegal menipis, ia mencari pekerjaan di kota, sering menjadi buruh di proyek bangunan. Sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di pedesaan, Tuminem bisa menyesuaikan diri dengan situasi apapun. Ia bukan tipe perempuan yang suka menunggu “jatah” dari suami. Sedapat mungkin dirinya harus cawe-cawe, ikut bekerja apa saja untuk meringankan beban keluarga, seperti misalnya “sambatan” ke rumah Bu Kadus.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Tuminem pun mampu menyesuaikan diri dengan baik. Dalam setiap kegiatan selalu ikut serta, tidak mau ketinggalan dengan tetangga. Arisan, dasawisma, pengajian, bahkan, kalau perlu siap gotong-royong mewakili suaminya jika yang bersangkutan sedang bekerja di kota. Apalagi perkara rewang di rumah tetangga yang sedang punya hajat. Tuminem telah menyebar “jasa” di mana-mana. Semua warga di Salaran pernah kepotangan budi (hutang budi) kepadanya.

Mbok Rejo Utomo, ibunya, berhari-hari sempat kehilangan nafsu makan setelah kematian sang anak. Bagaimana tidak? Di antara anak-anaknya, Tuminem lah yang paling mempeng (rajin) sekolahnya. Kendati hanya tamat SD, tapi rapornya selalu baik. Belum pernah punya angka merah. Mbok Rejo tahu, betapa Tuminem ngotot memacu Sunaryo dan Suyanto supaya menjadi anak pandai. Sayangnya, dengan kematian ibunya itu akhirnya sekolah Sunaryo kandas, berhenti sampai lulus SMP. Setelah itu ia memilih bekerja, merantau ke kota. Seolah ingin melupakan tragedi hitam yang terjadi di rumahnya.

Sudiyono sendiri, sebagai suami, setiap kali membongkar “album” kehidupan pribadinya dengan Tumimen, yang ditemukan justru hanya kesan kenangan yang membuat perasaannya tak menentu. Sungguh mati! Sudiyono tak dapat meraba sedikit pun, mengapa istrinya berbuat senekad itu. Rasanya, sebagai laki-laki dan suami, ia telah memberikan segalanya, terutama cinta kasih serta kehidupan yang layak buat istri dan anak-anaknya.

Meski hanya bertani, tanah garapan Sudiyon cukup luas. Lebih dari cukup untuk menopang kehidupan mereka secara sederhana. Apalagi tanah di sana berbeda dengan kebanyakan tanah di Gunungkidul lainnya. Di Dusun Salaran terdapat sawah. Di lahan tegalan banyak ditanami coklat (kakao) yang hasilnya ditampung PT Pagilaran. Dengan demikian, tingkat ekonomi masyarakat di sana lumayan bagus, termasuk keluarga Sudiyono dan Tuminem.

Letak Desa Ngoro-Oro berbatasan dengan Kabupaten Bantul wilayah timur. Di mana batasnya adalah jalan yang menghubungkan Patuk dengan Sambi. Jalan tersebut berada di tepi Dusun Salaran. Sebelah utara jalan tersebut merupakn tebing-tebing curam yang rawan longsor. Bila memandang ke utara, tampak rumah-rumah dan persawahan yang masuk Kecamatan Piyungan (Bantul) dan Kecamatan Prambanan (Sleman).

Kematian Tuminem membuat suarana Salaran sedikit berubah. Anak-anak muda yang biasa nongkrong di jalan waktu malam sambil menikmati pemandangan yang membentang ke bawah tiba-tiba tak ditemukan lagi. Tetangga yang biasaya “cerewet”, penuh canda dan tawa, sejenak menahan diri, Ada rasa segan, karena keluarga Sudiyono masih mengalami ketidakmenentuan hidup. Duka belum tersembuhkan. Seakan hari esuk tertutup kabut tebal dan sulit ditepiskan.

Salah satu pemandangan yang mengharukan, adalah ketika diadakan tahlilan pada setiap malamnya sampai selamatan tujuh hari kematian. Di antara peserta tahlil, kedua anak Tuminem pasti berada di sana, lengkap dengan sarung dan peci, duduk bersila, khusuk melafalkan doa serta Ayat Kursi yang dibacakan bersama-sama.

Menurut pandangan kakek-neneknya, tiba-tiba Sunaryo dan Suyanto jadi tampak tua. Lebih dewasa, melebihi anak seumurnya. Padahal usianya belum genap lima belas tahun. Masih sangat memerlukan tangan perempuan untuk mematangkan kepribadiannya. Terutama Suyanto, si bungsu, kepergian ibunya benar-benar membuat tersadar. Kemarin salatnya terhitung masih rubuh-rubuh gedhang (ikut-ikutan), sering lowong, karena terlalu asyik bermain. Malam sebelum Tuminem “pergi”, si ibu menyuruh Suyanto salat, bahkan menungguinya. Padahal waktu untuk salat Isya masih cukup panjang. Kini, Yanto ingat: baru sekali itulah ibunya menghukum dirinya untuk salat, karena dia sengaja tidak ikut salat ke mesjid.

Agaknya, itulah satu-satunya pertanda bahwa Tuminem akan “pergi”. Semacam nasihat bagi si bungsu. Namun maknanya sangat luas dan berguna bagi siapa saja. Hanya saja mengapa begitu bertentangan dengan perbuatannya di pagi hari berikutnya? Mengapa pagi subuh itu Tuminem tak mampu menemukan untaian nasihat yang tepat bagi dirinya? Sampai-sampai tega meminum racun tikus, membuat banyak orang berpikir, aakah denga bunuh diri masalah yang dhadapinya selesai?

Kisah kematian Tuminem memang tak akan pernah selesai. Di antaranya mengenai kelanjutan hidup Sudiyono dan anak-anaknya. Lepas selamatan serib hari, nyaris tak ada lagi kesedihan. Beberapa waktu kemudian, sang bapak minta izin pada kedua anaknya untuk menikah lagi. Sunaryo dan Suyanto pun menyetujui. Sudiyono akhirnya menikahi perempuan dari dusun lain yang masih bertetangga. Mereka hidup rukun, namun sampai bertahun-tahun tidak mempunyai keturunan.

….

Kasus bunuh diri di Gunungkidul, sebagaimana yang dilakukan Tuminem, sekian tahun kemudian umumnya memang akan dilupakan orang. Seolah tidak ada manfaatnya, karena hanya membuahkan kenangan-kenangan duka bagi keluarga yang ditinggalkan. Apalagi mereka juga sudah “merelakan” kepergiannya. Segala kesalahan telah dimaafkan, segala dosa telah dimohonkan ampunan.

Dengan sikap dan pemahaman seperti itu, ternyata tragedi bunuh diri (di wilayah Gunungkidul) bukannya menurun, melainkan terus merebak, pasti ada kejadian bunuh diri setiap tahunnya. Pemberian maaf yang sedemikian mudah dan lunak dari masyarakat terhadap perbuatan tersebut, pada akhirnya justru berubah menjadi semacam “pupuk kualitas super”, sehingga wabah bunuh diri tumbuh subur di sembarang tempat.

Tanpa berpikir panjang, semua pihak paham, bahwa ada sekian banyak rahasia tersembuni di balik kasus bunuh diri. Dan tentu saja rahasia tersebut akan dibawa mati ke alam baka. Pelaku bunuh diri tak ubahnya seorang pesulap, semacam David Coperfield. Dengan tekun ia mempelajari teknik bunuh diri yang tepat dan menguasainya dengan sempurna. Sehingga, waktu drama tersebut dimainkan, siapa pun akan takjub. Ternganga keheranan. Namun, jika rahasia sulap tersebut dibeberkan, kesan kedahsyatan momen itu tentu akan sirna.

Salah satu kemungkinan yang menarik dipertimbangkan dalam mengurai rahasia di balik kasus bunuh diri, antara lain dengan mencoba berpikir sebagaimana pemikiran si mati, bukan mengikuti pemikiran umum yang penuh ilusi. Contohnya kasus Tuminem. Semua yang terekam dalam kisah ini, hampir seluruhnya terkumpul dari “kata orang”, bukan kata si mati. Dengan demikian, wajar kalau orang Salaran tidak dapat meraba latar belakang Tuminem bunuh diri.

Pemikiran kecil ini, mungkin berguna, atau sekadar untuk mengingatkan, bahwa bunuh diri di Gunungkidu bukan hanya perkara sosial, kriminal, adat, dan supranatural. Melainkan lebih menjurus ke dimensi psikologis. Urusan kejiwaan. Artinya, bahwa dorongan menuju ke sana bukan semata-mata karena tekanan ekonomi, hubungan keluarga, sakit menahun, rasa malu, dan lain-lain. Akan tetrapi sangat ditentukan oleh kepribadian yang bersangkutan.

Mungkin penilaian masyarakatlah yang kadang membuat “rahasia” bunuh diri itu semakin gelap dan jauh. Misalnya penilaian yang menyangkut sifa perilaku si mati sebelumnya. Masyarakat cenderung menilai secara etis, yang mengatakan bahwa seluruh perbuatan si mati dikatakan “baik”, namun perlu dibuktikan kembali. Apakah nilai “baik” tersebut memang terbukti, atau sekadar penilaian pukul rata yang bertumpu pada komitmen solidaritas lingkungan dan etika?

Mencari rahasia si mati, pada hakikatnya adalah menguak dan menemukan faktor-faktor yang tidak tampak, yang tersembunyi, yang tergradasi. Apa yang terekam dalam kisah Tuminem ini merupakan contoh soal yang cukup. Artinya, apa yang didapat dari pengakuan orang Salarah, sesungguhnya hanyalah “kamuflase” yang memang sengaja digunakan si mati untuk menyembunyikan “rahasia” pribadinya.

Seorang warga Gunungkidul yang terhitung “cerdas” mengatakan, mereka yang unuh diri itu bukannya kalah, tetapi menang. Artinya, dia berhasil mengelabuhi dan menipu orang-orang yang dibencinya, yaitu keluarga dekat, tetangga, teman, atau siapa pun yang mempunyai hubungan emosional dengan dirinya. Dan tentu karena dia hidup di Gunungkidul, sosok yang dimusuhi tersebut ada hakikatnya adalah wong Gunungkidul itu sendiri

Mengapa rahasia di balik bunuh diri tak boleh dibiarkan? Jawabnya sederhana. Sebab, bunuh diri merupakan contoh buruk bagi KEMANUSIAAN.

———————————————

Kisah ini merupakan Epilog dari Buku TALIPATI: Kisah-Kisah Bunuh Diri di Gunungkidul. Ditulis oleh Imam Budhi Santosa dan Wage Dhaksinarga pada tahun 2003. Diterbitkan oleh Jalasutra Yogyakarta. Atas seijin Wage Dhaksinarga, ditulis ulang di SwaraGunungkidul sebagai penggugah semangat membangun kesepahaman, bahwa peristiwa bunuh diri adalah bukan peristiwa kriminalitas, bukan peristiwa ketidakrelijiusan, bukan peristiwa supranatural, dan juga bukan peristiwa kebodohan. Setiap peristiwa bunuh diri sesungguhnya adalah peristiwa kemanusiaan yang bisa menimpa siapa saja. Bunuh diri adalah sebuah tangis memohon pertolongan. Karena itu, pencegahan bunuh diri pada dasarnya adalah pekerjaan setiap orang.

——————————————-

Facebook Comments Box

Pos terkait