Kisah Mbok Yem: “Lidah Api” di Tepi Hutan Wora-Wari

Hutan Sodong Paliyan, salah satu hasil Penghijauan Lahan Kritis di Gunungkidul. Dok: KH.

Ini adalah kisah yang ditulis dari kejadian nyata di wilayah Paliyan Gunungkidul. Berhubung satu dan lain hal, nama pelaku dalam kisah ini disamarkan, untuk mudahnya, sebut saja Mbok Yem. Sebuah nama panggilan yang banyak dimiliki oleh perempuan perdesaan di Jawa, termasuk di Gunungkidul. Sebab, di sana pun banyak terdapat nama perempuan yang diakhiri dengan “yem”. Seperti: Pariyem, Kamiyem, Sumiyem, Waliyem, Sariyem, Rukiyem, Lasiyem, Jumiyem, dan lain-lain.

Bacaan Lainnya

Dusun tempat tinggal Mbok Yem berada di Kecamatan Paliyan, sebuah kawasan yang penuh dengan perbukitan, arah barat daya dari Wonosari ibukota Kabupaten Gunungkidul. Salah satu wilayah yang benar-benar mencerminkan jagat Gunungkidul yang khas. Di mana setiap musim kemarau selalu kekeringan. Hidup jadi terasa begitu sempit dan keras. Sebab, bukit dan batu seakan terus menghimpit dari hari ke hari. Menjepit kehidupan warga setempat yang sebagian besar bertani.

Jika ada orang blusukan ke sana, kemungkinan besar akan bertanya-tanya: Apa yang diandalkan dari tanah gersang berbatu seperti itu? Seberapa hasil yang diperoleh mereka dari benih padi dan palawija, yang mereka tanam selama ini? Apakah dari tanah sekurus ini bisa didapat hasil panen yang memadai? Dan pertanyaan yang paling sulit dijawab adalah, mengapa di tanah yang nyaris “mati” ini mereka tetap bersikukuh bertani?

Memang, bercocok tanam di Gunungkidul tak bisa dipahami berdasarkan kalkulasi ekonomi. Sebab, sepanjang tahun hasil panen tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, apa mau dikata? Mereka merasa telah menghayati kehidupan sebagai petani. Hidup mati bersama alam lingkungan sekitar yang dimiliki. Karenanya, semboyan mereka hanya satu, yaitu bekerja. Untung rugi hampir tidak diperhitungkan sama sekali.

Maka tidaklah mengherankan jika semangat hidup dan bekerja petani Gunungkidul bukan main dahsyatnya. Tak pernah ada kata jera atau putus asa. Istilah jatuh-bangun bagi mereka adalah hal yang biasa. Hidup rekasa (sulit) sudah jadi makanan sehari-hari. Karena itulah, meski tertatih, mereka mampu bertahan menempuh kehidupan panjang di tanah kelahiran. Mereka masih mampu mengalahkan berbagai tantangan alam yang tak pernah ramah, kendati sangat dicintai dan terus-menerus dijamah.

Hanya saja, kerasnya hati, kuatnya tekad, tabahnya perasaan, uletnya pikiran yang dimiliki orang Gunungkidul kadang hilang begitu saja manakala menghadapi “duri-duri” kecil kehidupan yang menurut kebanyakan orang sangat mudah dipatahkan. Dalam banyak kasus, terbukti ketegaran mereka dalam mengolah dan melawan tantangan hidup tak bisa melindungi “keringkihan” batin yang diam-diam mereka sembunyikan. Sehingga dalam waktu singkat, duri tersebut tiba-tiba menjelma menjadi belati yang menikam ulu hati. Silang pendapat, tanpa disadari mudah menjadi tali gantungan yang menjerat. Demikian pula agaknya yang dialami Mbok Yem. Perempuan setengah baya, yang tak pernah membayangkan bakal menjadi pergunjingan orang se-desa. Tak pernah berpikir bakal merasa aneh liku-liku kehidupan di Gunungkidul yang sesungguhnya.

~~~~~~~~~~~~~~~

Saat itu bulan Juli. Seperti petani yang lain, Mbok Yem juga sibuk memanen singkong (ketela pohon). Umumnya singkong tersebut tidak segera dijual, melainkan dijadikan gaplek. Sebab, jika dijual pada saat-saat itu, harganya rendah. Maka, bagi petani-petani kecil macam Mbok Yem, singkong-singkong itu lebih menguntungkan dijadikan gaplek sebagai persediaan (cadangan) makanan jika keadaan memaksa, seperti saat tanaman diserang hama, harga jual produksi pertanian rendah, atau terjadi kemarau panjang.

Sambil berteduh di bawah pohon atau barak-barak sederhana dari batang ketela, mereka bekerja seharian. Mengupas ketela satu demi satu, kemudian menjemur di sepanjang pematang tegalan. Apabila panas matahari cukup, singkong-singkong tersebut akan kering antara lima sampai tujuh hari (seminggu).

Mendekati akhir Juli, umumnya sebagian besar panen ketela sudah selesai dibuat gaplek. Tanah tegalan kembali kosong. Namun tanah-tanah tersebut tidak segera diolah (digarap), melainkan dibiarkan bera (tidak ditanami). Sebab, tidak mungkin lagi bercocok tanah di sana pada saat itu. Tanah benar-benar kering, mengeras, dan nela (pecah atau retak-retak). Dengan kondisi seperti itu, lumut yang menempel pada batu pun menjadi kering. Demikian pula rerumputan (kecuali ilalang), semuanya baru trubus (tumbuh kembali) ketika hujan turun. Meskipun di musim kemarau Gunungkidul ibarat “mati”, namun ketika hujan tiba, semua seperti “hidup” kembali. Persis yang digambarkan penyair Daelan Muhammad dalam sajaknya Musim Hujan: Seolah-olah Tuhan kembali bercocok tanam di dunia.

Membuat gaplek di tegal yang jauh dari rumah ternyata merepotkan. Para petani harus menunggui, harus telaten membolak-baliknya supaya cepat kering, dan keringnya merata. Kalau malam, gaplek-gaplek itu dibawa ke gubug. Selain demi keamanan, juga supaya tidak lembab terkena embun. Sebab, jika lembab, gaplek-gaplek itu mudah ditumbuhi jamur. Dan gaplek akan berjamur kalau dibuat thiwul (makanan pengganti nasi), warnanya akan kekuningan (kurang bersih). Dan seandainya dijual, harganya pun rendah sekali.

Sampai sore, Mbok Yem dan suaminya masih asyik mengurus jemuran gapleknya di tegal. Meskipun matahari telah condong ke barat, keduanya tenang-tenang saja, seakan belum berniat untuk pulang. Seperti kebiasaan petani lain, suami istri itu juga sering menginap di tegal, terutama untuk menjaga gaplek mereka dari ancaman kera liar yang banyak terdapat di sana. Kera-kera itu bersembunyi di Goa Songrawuk. Raja kawanan kera itu adalah seekor kera putih yang sebelah tangannya buntung. Konon, jika ada kera yang terlanjur ditangkap, disiksa, apalagi sampai mati, kera-kera yang lain akan balas dendam. Mereka akan menyerbu dan merusak tanaman apa saja di sekitarnya. Maka, sebelum terjadi hal-hal yang fatal, begitu tampak ada kera yang menampakkan diri, para petani akan menghalau secara “baik-baik”. Begitu baiknya persahabatan mereka, sampai-sampai mereka sengaja mengumpulkan ketela yang kecil-kecil di suatu temat sebagai “upeti” atau hidangan bagi para kera, jangan sampai mereka kelaparan, marah, kemudian berbuat yang merugikan.

Seperti lazimnya suami istri, sambil bekerja Mbok Yem dan suaminya membicarakan apa saja, termasuk banyak hal seputar problema keluarga yang dihadapi. Di antaranya mengenai anak bungsunya yang sebentar lagi akan menikah. Rencananya, hasil gaplek ini akan dijual untuk keperluan tersebut. Keduanya pun menyetujui akan hal itu.

Kendati untuk hal-hal tertentu keduanya sudah menemukan kesepakatan, namun ternyata banyak perkara lain yang tetap mengganjal di hati masing-masing. Pembicaraan yang semula berlangsung secara baik-baik itu, tiba-tiba meledak dan berubah menjadi semacam “perang mulut”. Menurut Mbok Yem, perselisihan itu memuncak gara-gara watak suaminya yang keras kepala. Semua pendapatnya harus dipatuhi, sementara Mbok Yem lebih banyak mengalah dan diam. Akan tetapi, saat itu dia merasa tak kuat lagi. Dadanya tak kuasa menahan gejolak ketidakpuasan dan sakit hati yang sekian waktu dipendam. Dan sikap mau menang sendiri dari sang suami sore itu telah memicunya untuk berontak.

Seperti ingin meluapkan kekesalannya, Mbok Yem berteriak sekuat-kuatnya. Lalu ia berdiri. Tanpa berpikir panjang, ia lari sekencang-kencangnya menuju luweng (sumur alam yang banyak terdapat di Gunungkidul) yang berada di sebelah timur tanah garapannya. Sang suami pun bergegas mengejar istrinya itu sambil memanggil-manggil namanya. Tetapi Mbok Yem tetap berlari dan tak terkejar lagi olehnya, di samping ia terlambat berlari mengejar, juga karena fisik tuanya yang tak memungkinkan lagi bergerak secepat dan selincah semasa muda dulu.

Teriakan-teriakan mereka ternyata didengar oleh seorang lelaki yang tengah mencari kayu bakar di pinggir hutan dekat tegal Mbok Yem. Menyaksikan peristiwa itu, si lelaki segera mengejar Mbok Yem yang berlari kesetanan. Nyaris seperti terbang, tampak demikian ringannya meloncat dari petak ke petak, dan semakin jauh meninggalkan suaminya.

Persis di bibir luweng, lelaki pencari kayu bakar itu memegang tangan Mbok Yem. Sejenak mereka berkutat, tarik-menarik dengan sekuat tenaga. Si lelaki berusaha menarik Mbok Yem dari bibir luweng, sementara Mbok Yem berusaha melepaskan diri dan meloncat ke dalam luweng.

Dalam pergulatan itu, Si Jan (bukan nama sebenarnya)  hampir saja kalah. Kekuatan Mbok Yem terasa bukan main besarnya. Sadar bahwa saat itu Mbok Yem akan bunuh diri, Si Jan segera ngetog karosan (mengeluarkan seluruh kekuatan) sambil berdoa semampunya. Beberapa kali dia sempat merasa tidak kuat lagi, bahkan dirinya merasa ada kekuatan aneh yang mendorongnya dari belakang.

Untunglah di saat yang kritis itu, tangan kirinya dapat berpegangan pada sebuah batu yang cukup kokoh. Begitu kakinya juga memperoleh pijakan yang kuat, Mbok Yem ditariknya dengan seluruh tenaga. Si Jan terjengkang ke belakang, dan Mbok Yem seperti terlempar dari bibir luweng. Perempuan itu jatuh bergulingan di atas tanah.

Sejenak Si Jan terengah-engah. Kehabisan nafas dan tenaga. Kekuatannya seperti terkuras. Begitu Si Jan berusaha bangkit, suami Mbok Yem telah sampai juga di sana. Dengan gugup ia mendekat istrinya yang terkapar, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui Mbok Yem ternyata pingsan. Badannya kejang, matanya terpejam, peluhnya berleleran, dengan mulut rapat terkunci.

Menjelang ufuk barat bersemburat jingga, beberapa petani yang tegalnya berdekatan telah berdatangan. Merubung dan memberi tetulung (menolong). Akhirnya Mbok Yem dibawa pulang. Sebelum pulang, suami Mbok Yem tertatih-tatih menghampiri bibir luweng diiringi Si Jan. Cepat-cepat ia membuat boneka dari daun ilalang dan dilemparkan ke dalam luweng. Dalam hati keduanya ngeri juga. Mereka tidak pernah tahu seberapa dalam luweng itu. Pada siang hari saja yang tampak hanya warna hitam. Sebuah kegelapan panjang seakan-akan tanpa dasar. Kegelapan yang siap menelan apa saja dan membawanya ke dunia antah-berantah di alam sana.

Meskipun telah melempar boneka orang-orangan dari daun ilalang sebagai tumbal, suami Mbok Yem tetap saja gelisah. Apa jadinya kalau Si Jan tidak berhasil menjadi dewa penyelamat? Meskipun dirinya sadar, kadang kata-kata dan sikapnya terlampau keras, tetapi selisih pendapat yang terjadi di antara mereka berdua selalu dapat diatasi. Mbok Yem juga tidak pernah menunjukkan sifat “buruk” seperti yang terjadi saat ini.

Sakjane bojomu ki ketempelan barang sing ora ketok kok, Kang. Apa kowe ora krasa? Iki rak mangsane candhik ala?“, seseorang berusaha menginagtkan . Suami Mbok Yem mengangguk-angguk kepalanya. Dalam hatinya ia menyetujui hal itu. Sebab dirinya yang sedikit-sedikit paham ilmu kebatinan merasa banyak hal yang tidak wajar dalam kejadian tersebut. Misalnya, tubuh Mbok Yem yang tiba-tiba terasa sangat berat dan hal itu dirasakan oleh mereka yang mengusungnya tadi. Padahal Mbok Yem bertubuh kecil, mungkin beratnya tidak sampai lima puluh kilogram.

Sesampai di rumah, para tetangga sudah berkumpul. Mbok Yem tetap belum sadar sepenuhnya. Ia hanya berbicara sesekali, tetapi pembicaraannya clewa-clewo, tidak karuan ujung pangkalnya. Kontan seluruh keluarga menjadi tegang, bercampur malu. Mbok Yem hampir saja bunuh diri. Suatu perbuatan yang amat dibenci warga Gunungkidul, perbuatan yang (dianggap) dapat mencoreng martabat keluarga, maupun sanak kerabat yang tidak tahu apa-apa.

Usaha menyadarkan Mbok Yem ternyata tidak mudah. Suaminya sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak. Keluarganya baru mulai merasa lega setelah kedatangan Pak Mar (nama samaran), orang yang di kamung itu dikenal mumpuni dalam olah spiritual Kejawen. “Batihmu isih dieloni terus karo buron saka alas Wora-wari ngono kok, Kang. Coba ta, dikawekani bareng-bareng sakanca. Mesakake jasade yen kedawa-dawa.”

Meskipun Pak Mar sudah memberi kesempatan pada yang hadir untuk cawe-cawe (turun tangan membantu), tetapi tak satu pun ada yang maju. Begitu Pak Mar dan suami Mbok Yem tandang (berbuat), para tetangga hanya menonton. Tidak tahu harus berbuat apa. Hanya anak perempuan Mbok Yem yang sedari tadi memegangi tangannya sambil menangis, sesekali berusaha membisikkan sesuatu ke telinganya.

Drama penyembuhan Mbok Yem cukup lama dan menegangkan. Pak Mar dan suami Mbok Yem tampak berkutat mengusir roh halus yang merasuki perempuan itu. Bermacam doa diamalkan. Berbagai mantra dilafalkan. Beberapa kali Mbok Yem sempat menjerit. Mengaduh kesakitan. Namun Pak Mar dan suaminya belum percaya roh halus itu menyerah begitu saja.

Saat Mbok Yem tiba-tiba meronta dengan keras dan berusaha melepaskan rengkuhan anaknya, Pak Mar dan suaminya segera mendekat. Tangan kanan Mbok Yem dipegangi suaminya, tangan kiri dipegangi Pak Mar, sambil keduanya terus komat-kamit membaca doa. Berkali-kali Pak Mar mengurut tangan Mbok Yem hingga ke pergelangan. Berulang-ulang Mbok Yem menjerit, namun kedua lelaki tua itu tak menghiraukannya.

Barulah ketika Mbok Yem terbata-bata bilang kapok, minta ampun, dan minta diantar pulang, Pak Mar menghentikan urutannya. Sambil menatap tajam Pak Mar bertanya, bagaimana kalau tidak menepati janji? Dengan terengah-engah, Mbok Yem menjawab minta air putih, dan selanjutnya minta diantarkan kembali ke rumahnya.

Pak Mar memerintahkan seseorang untuk mengambil air mentah dari gentong padasan (tempat berwudhu) di rumahnya. Air tersebut diminumkan pada Mbok Yem dengan diberi doa-doa sebelumnya. “Wis, saiki tak turuti. Tak terke bali menyang omahmu. Liwat ngendi sakarepmu, angger aja ngganggu-ngganggu maneh,” kata Pak Mar.

Dengan keadaan seperti orang linglung, Mbok Yem menunjuk pintu depan rumahnya. Pak Mar dan suaminya lalu menuntunnya dengan diiringi sejumlah tetangga. Dengan tertatih, Mbok Yem melangkah ke jalan aspal sebelah barat rumahnya, yang sekaligus merupakan jalan lingkar pasar. Begitu sampai di dekat pasar, tiba-tiba Mbok Yem ambruk, lemas seperti orang kehilangan tenaga.

Mengetahui bahwa roh halus yang mengganggu Mbok Yem telah pergi, Pak Mar memerintahkan agar Mbok Yem dibawa kembali ke rumah. Kendati kesadarannya sudah pulih, namun fisiknya tampak seperti kelelahan. Semalam ia terkapar di amben besar tanpa banyak bicara, sementara tetangga dan kerabat lek-lekan (tidak tidur) menjaganya.

Meskipun beberapa hari kemudian kondisi Mbok Yem telah sehat fisik dan batinnya, akan tetapi kejadian itu tidak mudah dilupakan, baik oleh keluarga Mbok Yem maupun warga dusun setempat. Tampak sekali bagaimana keluarga Mbok Yem menjadi mempunyai beban moral. Ada rasa malu, bersalah, dan menyesal yang berlebihan, sampai-sampai mereka tidak mau kejadian itu diungkit-ungkit kembali. Yang lalu biarlah berlaku. Mungkin demikian pendapat mereka.

~~~~~~~~~~

Kecenderungan “melupakan” dan tak mau belajar pada kejadian seburuk apapun yang dialami, agaknya masih mendarah-daging bagi sebagian besar orang Jawa di perdesaan. Upaya-upaya mengkajinya justru dianggap sebagai tindakan yang tidak senonoh, dan dianggap mbeber wirang keluarga. Tanpa disadari, sikap tersebut telah menjebak mereka untuk senantiasa mencari “kambing hitam” dalam setiap kasus bunuh diri yang terjadi.

Bagi yang percaya, keinginan bunuh diri Mbok Yem sangat dipengaruhi oleh intervensi makhluk dari alam gaib. Entah yang mbaureksa (penunggu) luweng, roh halus yang gentayangan, atau jin-setan, yang menurut kepercayaan di Jawa jenisnya mendekati ratusan. Dan karena kambing hitamnya adalah roh halus atau karena intervensi alam gaib, fenomena tersebut dianggap selesai sampai di situ.

Padahal, dari peristiwa bunuh diri yang gagal ini, semua pihak memperoleh pelajaran yang sangat berharga. Artinya, seandainya Mbok Yem sekeluarga bersedia terbuka, ada banyak hal yang dapat dikaji lebih mendalam mengenai tindakan bunuh diri yang dilakukan Mbok Yem tersebut. Sebab, apabila dicermati, kasus Mbok Yen menunjukkan beberapa sisi aneh dan perlu dibongkar lebih lanjut.

Pertama, cekcok kecil yang terjadi di tegal dengan suaminya bukan perkara sederhana. Artinya, hal ini telah membuat Mbok Yem frustasi, marah, dan kehilangan pengendalian diri. Bisa jadi, cekcok sore itu menjadi semacam pemicu munculnya rasa frustasi yang berlebihan, lantaran menumpuknya berbagai kejengkelan yang selama ini terpendam.

Kedua, mengapa tiba-tiba mbok Yem nekad bunuh diri? Lepas dari adanya pengaruh yang tak kasat mata, mengapa dia tidak melampiaskan kejengkelannya pada sang suami? Misalnya, dengan melakukan serangan fisik yang “khas perempuan”, seperti: memaki, membanting sesuatu, minggat, menampar, dan sebagainya?

Ketiga, mengapa muncul rasa malu yang berlebihan dari mereka setelah kejadian tersebut? Padahal, mereka percaya perbuatan itu bukan kehendak dirinya. Akan tetapi lantaran pengaruh roh halus yang merasukinya. Dengan demikian, semua peristiwa sore itu di luar kesadaran. Jadi, mengapa harus malu dan menyembunyikan rapat-rapat kejadian tadi seolah-olah merupakan aib yang akan menurunkan martabat pribadi dan keluarga?

Yang juga menarik untuk dibahas adalah, apa yang sesungguhnya dipercekcokkan di tegal saat itu? Tak seorang pun tahu atau diberi tahu. Dan celakanya, baik anak-anak maupun kerabatnya merasa kurang etis, kurang sopan jika menanyakan atau menyelidikinya. Benarkah karena selisih pendapat mengenai rencana pernikahan si anak bungsu?

Awalnya, keluarga Mbok Yem hidupnya memang pas-pasan. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang masak di warung milik tetangganya. Pekerjaan itu sudah dilakukan Mbok Yem sejak masih muda. Sedangkan suaminya bertani sambil berjualan kayu bakar. Kayu-kayu bakar yang dijual itu sering diperoleh dari “mencuri” di hutan milik Perhutani – sebuah kebiasaan buruk yang telah mentradisi di sekitar hutan negara di tanah air kita.

Untuk mengatasi maraknya pencurian itu, Perhutani tak kehilangan akal. Mereka yang suka “nakal” tersebut, ditarik menjadi keamanan hutan dengan upah mendapatkan tanah garapan yang terletak di kawasan hutan muda, di mana tanaman belum besar, dan tanah di sela tanaman itu masih memungkinkan untuk ditanami padi, palawija, dan lain-lain. Mereka yang diangkat jadi keamanan dan mendapatkan tanah garapan ditugasi menjaga dan merawat tanaman-tanaman hutan muda dalam wilayah tertentu.

Pelan-pelan, dengan meningkatnya pembangunan di perdesaan, kehidupan Mbok Yem sekeluarga juga meningkat. Rumah yang dulu beratapkan jerami, kini telah dibangun secara gotong royong bersama anak-anaknya. Dinding bambu diganti batako. Welit (jerami) diganti genteng. Semua menjadi lebih cerah dan lebih bernuansa. Tapi mengapa justru setelah kehidupan membaik, malapetaka ingin bunuh diri datang secara tiba-tiba?

Agaknya, perbaikan hidup di era Orde Baru belum sepenuhnya berhasil mengikis sifat perilaku yang cenderung “negatif”. Dengan kata lain, pembangunan fisik yang digalakkan, tidak membuat mereka melakukan adaptasi mental secara konstruktif. Berbagai kemudahan dan fasilitas, yang terhitung melimpah, nyaris “gagal” membawa mereka ke alam pemikiran modern. Terbukti betapa mudah mereka terpeleset melakukan usaha bunuh diri, adalah jawaban yang sulit dibantah.

Yang lebih mengejutkan lagi, kurang dari selapan (35 hari) sejak kasus Mbok Yem, terjadi lagi peristiwa yang sama. Saat itu, awal Agustus 2002, menjelang senja, seorang perempuan telah telah mengikatkan selendang di dahan nangka, kemudian menyiapkan “tali pati” di lehernya. Seorang tetangga yang pulang dari tegal memergokinya. Usaha bunuh diri itu dapat digagalkan. Yang bersangkutan segera dibawa ke rumahnya. Setelah itu terdengar rerasanan di sana-sini. Namun, masyarakat seakan melindunginya (menyembunyikan adanya kejadian tersebut). Tak satu pun bersedia mengisahkan, bagaimana kejadian yang sesungguhnya.

Belajar dari kasus Mbok Yem, ada beberapa kenyataan yang harus digarisbawahi. Antara lain, munculnya cekcok agaknya bukan dikarenakan selisih pendapat yang menajam saja, namun bisa jadi juga dipicu oleh kata-kata yang keras da menyinggung perasaan. Misalnya kedua belah pihak menggunakan kata-kata yang lebih halus, berdebat tanpa menghujat, agaknya lidah mereka tak akan “berapi”.

Dari peristiwa itu juga tercermin adanya kecenderungan tak mau salah atau dipersalahkan. Seandainya, Mbok Yem jadi bunuh diri, yang pertama-tama disalahkan adalah roh halus yang mempengaruhinya. Yang kedua, suaminya. Ketertutupan juga menutup tabir, sebenarnya apa dan bagaimana situasi yang berkecamuk dalam jiwa si pelaku, sehingga dirinya tergerak melakukan pembunuhan, yaitu menghabisi nyawanya sendiri.

Agaknya, sikap paradoks masyarakat ini perlu dikritisi, dikoreksi, maupun perbaikan secepatnya. Tentu saja upaya tersebut harus dimuali dari penyadaran secara luas, bahwa penyebab bunuh diri di Gunungkidul bukan semata-mata karena pulung gantung. Bukan karena dia “dimakan” lelembut (hantu), menjadi tumbal situasi tertentu, atau terkena karma yang telah menjadi nasibnya. Dengan kata lain, alasan bunuh diri yang terkesan arasional (bukan rasional) itu mulai dijernihkan. Sebab, begitu yang dikambinghitamkan pulung gantung, segalanya menjadi berhenti. Pengkajian terhadap peristiwa itu untuk upaya pencegahan di kehidupan selanjutnya menjadi macet total. Bagaimanapun, melawan “hantu”, memang bukan suatu hal yang main-main dan gampang.

Semoga, kasus-kasus yang terjadi di tepi hutan Wora-wari ini mampu memancing perhatian banyak pihak. Sehingga, terbuka kemungkinan untuk mengkaji dan menguak misteri kompleksitas bunuh diri di Gunungkidul. Ini dapat dimulai dengan menggali dan mendalami pengakuan dari yang bersangkutan yang tak jadi “mati” tersebut.

~~~~~~~~~~~

 Kisah Mbok Yem: “Lidah Api” di Tepi Hutan Wora-Wari adalah cukilan salah satu kisah dalam Buku “Tali Pati” yang ditulis Imam Budhi Santosa dan Wage Dhaksinarga, diterbitkan oleh Jalasutra Yogyakarta pada tahun 2003. Atas seijin penulis, ditulis ulang di SwaraGunungkidul dalam upaya memahami problematika kejadian bunuh diri, berempati kepada pelaku dan keluarganya untuk mampu pulih, mengikis stigma bunuh diri, serta membangun semangat kebersamaan dalam upaya pencegahan bunuh diri.

~~~~~~~~~~~~

Facebook Comments Box

Pos terkait