Sarju, Kepala Desa Petir menguraikan, jumlah ODGJ di Desa Petir tercatat sebanyak 22 warga. Sementara itu untuk seluruh wilayah Kecamatan Rongkop sebanyak 127 jiwa. Dari 22 warga tersebut, jumlah ODGJ terbanyak berada di Dusun Ploso. Kondisi ODGJ di Desa Petir beragam, mulai dari gangguan depresi ringan sampai dengan gangguan jiwa berat yang disebut psikotik atau skizofrenia.
Sejak 2015, Pemdes Petir telah berupaya menanggulangi permasalahan kesehatan jiwa yang menimpa warganya. Kades bersama perangkat desa dengan didukung para tokoh masyarakat, termasuk petugas kesehatan Puskesmas Rongkop, tenaga sosial desa, dan aparat Polsek bergotong royong mengupayakan kesembuhan sejumlah warga yang mengalami gangguan jiwa tersebut.
Pertama, mereka kompak membangun kesadaran bersama, bahwa ODGJ perlu ditolong karena sebagai sesama warga. Mereka menyebutnya perlu “nguwongke uwong” terhadap sesama warga yang mengalami penderitaan.
Kedua, mereka sepaham bahwa gangguan jiwa dapat disembuhkan secara medis dan psikologis.
Ketiga, mereka membangun sinergi di antara para pihak terkait, dan atas dasar gotong royong membawa warga yang mengalami gangguan jiwa ke RSUD Wonosari, RS Ghrasia (RSD Provinsi DIY), dan RS Puri Nirmala. Kedua rumah sakit terakhir berada di Yogyakarta dan Sleman.
Kemudian, warga desa dibantu tenaga kesehatan Puskesmas Rongkop dan TKSK berinisiatif mempersiapkan warga desa dan semua pihak yang terlibat untuk dapat menjadi “caregiver” dan “perawat jiwa” yang mampu menjaga proses kesembuhan warga dengan gangguan jiwa.
Kesulitan demi kesulitan juga ditemui dalam awal penanganan inisiatif kemanusiaan yang mulia ini. Pratama Windarta, Kasie Pelayanan Desa Petir mengisahkan, pada awalnya tidak mudah mengajak masyarakat memahami bahwa ODGJ tidak perlu diperlakukan secara diskriminatif dan utamanya dapat disembuhkan secara medis dan dengan perawatan psikososial yang mendukung.
Windarta bercerita, awalnya warga desa kebingungan memahami, mengapa warga desa yang mengalami gangguan jiwa diam seribu bahasa tak mau berbicara, mengapa mereka berkata-kata tidak karuan bahkan berkata-kata kotor, mengapa mereka mengamuk sampai merusak rumah atau apa saja yang ditemuinya.
Windarta menjabat Ketua Forum Lentera Jiwa, forum masyarakat Kecamatan Rongkop yang menangani problematika kesehatan jiwa warganya. Ia juga mengungkapkan, ada satu LSM di Yogyakarta yang pernah membantu warga desa ini. Mereka mampu melakukan pendekatan, merangkul warga yang mengalami gangguan jiwa, membawanya berobat ke rumah sakit di Yogyakarta, dan kemudian mengantarkan kembali ke desa setelah selesai pengobatan.
Dari sini, warga menjadi paham, bahwa ODGJ sesungguhnya sama sebagaimana warga yang sakit, mereka bisa diajak ngobrol, dan diajak berupaya untuk sembuh. Momentum inilah yang merubah pola pikir warga, bahwa sesungguhnya sentuhan hati yang diperlukan untuk membantu kesembuhan ODGJ, bukan perlakuan diskriminatif dan perlakuan yang menyakiti hati mereka.
Kades Sarju sempat mengajak kami serombongan berkunjung ke rumah Harmono (28). Salah satu warga yang terus berjuang mengupayakan kesembuhan dari gangguan jiwa yang dideritanya. Saat ke rumahnya, kami bertemu dengan ibunya, karena mas Harmono ternyata sedang “sambatan” merenovasi rumah familinya.
Di rumah tersebut, sang ibu menunjukkan aktivitas keseharian Harmono sembari terus berjuang menuju kesembuhan. Kerja serabutan apa saja dilakukan Harmono, dari “golek pakan sapi”, sampai kegiatan bertukang apa saja. Harmono juga beternak lele dengan kolam yang dibuat dengan kain terpal. Sarju berkisah, ternak lele ini merupakan stimulus dari desa agar Harmono memiliki kegiatan di waktu luangnya, sehingga tidak “nglangut”.
Kemudian kami serombongan diajak ketemu Harmono yang sedang ikut “sambatan” memperbaiki rumah. Kami merasa bergetar saat Harmono dan ayahandanya mengisahkan kondisi sakitnya. Bagaimana ia berusaha untuk sembuh, bagaimana ia melakoni kehidupannya.
Harmono setiap bulan rutin berobat ke RSUD Wonosari. Saat berobat beberapa kali didampingi oleh ayahandanya. Di kemudian waktu, ia sudah bisa sendirian berobat dan melakukan terapi ke rumah sakit di Wonosari. Dari raut wajahnya yang sumringah dan terlebih wajah ceria ayahandanya, kami melihat bahwa upaya kesembuhan yang berproses pada diri Harmono bukan langkah sia-sia.
Kami juga kagum, warga di desa ini tidak melihat gangguan jiwa sebagai sesuatu yang memalukan, sesuatu yang nista, tidak lagi menjadi sesuatu yang terkadang dijadikan bahan guyon di atas derita orang lain. Mereka sudah jauh melangkah menjadi warga yang ramah sehat jiwa.