Masihkah kita generasi muda mencintai sektor pertanian? Bukankah berkarya di sektor industri pariwisata dan sektor jasa lebih enak dan lebih mentereng? Berkarya di sektor non-pertanian, jelas penampilan bisa necis, pokoknya bisa nggaya. Setidaknya pasti numpak mobil atau montor, ke mana-mana terlihat ganteng atau cantik nenteng-nenteng kamera, dan tidak ketinggalan dengan tongsisnya.
Pertanian? No way! Gluprut, gupak lendhut, marai kulit ireng dan kaki tangan mbesisik lho. Gak percaya? Cobalah lakukan hal yang ringan, opek pakan ternak di kebun. Ngarit suket kalanjana atau motong dahan lamtoro atau kancu, pastilah kulit tangan jadi “baret-baret” apabila gak pake kaos lengan panjang.
Nah, masih adakah anak muda yang mau berusaha yang lebih keras, misalnya ikut nandur pari gogo di ladang atau nandur pari pendek di sawah? Atau ikut ulur kacang, jagung, atau kedele? Anak muda sekarang nampaknya memang lebih suka berkarya di sektor non pertanian. Pokoknya yang bisa happy-happy lah, bisa nyantai wedangan sembali menikmati hidangan tempe bacem dan aneka jenis hidangan lainnya. Di sinilah kita bisa merasakan asyiknya nulis status “sruput mak-pyar” di medsos kita.
Sejatinya, asyiknya nulis status “sruput mak-pyar” itu akan semakin indah manalaka kita langsung terlibat merasakan perjuangan keras sebagai petani. Gak percaya? Cobalah saat panen ikut “nggebug dele” dengan pelepah daun kelapa di tanah halaman rumah yang sebelumnya digelari kepang itu. Pasti keringat menetes kotos-kotos dan kalau beruntung sih tidak mengalami bersin-bersin terkena debu glugut kedele.
Pertanian di Gunungkidul memang terasa makin tersisihkan. Dikiwak-ke, jarang ada generasi muda yang mau melirik berusaha di sektor tersebut. Jangankan terlibat serius macul, ulur, ndangir, panen, dan seterusnya. Sepertinya hal sepele seperti golek pakan ternak ke kebon saja saat ini sudah jarang anak muda yang mau melakukan.
Tetapi, sektor pertanian sesungguhnya masih menjadi andalan di Gunungkidul. Produksi padi gogo dalam lahan berkisar 42.315 ha menghasilkan gabah kira-kira 197.185 ton. Sedangkan padi sawah di lahan sekitar 8.000 ha menghasilkan sekitar 47.600 ton. Produksi gabah di Gunungkidul itu capaiannya bisa sepertiga produksi gabah di DIY lho. Kemudian untuk produksi singkong, tercatat rata-rata dihasilkan 900.000 ton per tahun. Panen singkong ini pun polanya masih sekali setahun. Silakan simak http://kabarhandayani.com/dinas-tph-intensif-kawal-musim-t…/.
Lantas, apa bakal kita tinggalkan sektor pertanian penyumbang nilai perekonomian terbesar di Gunungkidul ini? Akankah kita semua berbondong-bondong bertumpu hanya di sektor kepariwisataan dan industri jasa? Masihkah ada di antara kita anak-anak muda yang mau berkarya di sektor pertanian atau setia nyambi jadi petani di sela-sela kesibukannya menjadi pegawai swasta atau PNS?