Membaca Pancaroba

Membaca tanda pancaroba. Foto: Iwan.

Air dari langit turun pelan. Kulitku mulai mengerut nyaman. Beda dengan hari lalu, keringat membanjir memaksaku segera berganti pakaian. Angin pun menemani lakuku dengan garang, maka kucoba mengajaknya berdendang.

Dan tak butuh waktu lama, kusimpulkan “Ini pancaroba!”. Meski seorang teman yang sedang tak enak badan mengambinghitamkannya, “Ah, perasaan semesta mungkin sedang gundah gulana”.

Bacaan Lainnya

Detik ini, kubaca cuaca memang tak menentu: kemarin sangat panas sekarang hujan agak deras. Mungkin bagi sebagian orang, kondisi ini mengacaukan kesehatan badan. Hantu flu, batuk, dan sariawan berkeliling tak terkira jumlahnya.

Belum lagi cuaca pulitik Indonesia yang adempanas di MK, meski jadi kepastian pemuja noldua namun (bisa) mengacaukan kesehatan jiwa pemuja nolsatu dan noltiga. Ditambah berita di negara seberang berjarak ribuan kilometer pun terdengar sangat jelas tabuhan genderang dan unjuk gigi siap berperang.

Pancaroba itu kemestian. Pergantian musim tak bisa dielakkan. Suatu ranah alam raya yang tak bisa dikendalikan manusia. Meski konon kecanggihan teknologi rekayasa hampir mengatasinya namun kenyataannya nilainya tak seberapa.

“Info cuaca!” Hujan atau cerah? Adem atau panas? Ternyata sekarang gerimis.

***

Ada bagian alam yang bisa dikendalikan. Ada pula bagian semesta yang mustahil dilawan. Pancaroba ini kubaca sedang menulis kalimat ajakan agar kita bisa membedakan keduanya. Iya, keduanya.

“Gimana bang?”

Facebook Comments Box

Pos terkait