Menjalankan Keputusan Berat Demi Kemaslahatan Umat

Masjid Al Huda, Menthel, Hargosari. Foto: Woro.

Tadi malam saya ditunjuk oleh Takmir Masjid al-Huda Mentel, Hargosari, Tanjungsari untuk mengumumkan kepada masyarakat perihal peniadaan shalat Jumat maupun berjamaah 5 waktu di masjid, melalui pengeras suara. Saya menganggap, barangkali tugas menyiarkan pengumuman itu sebagai yang paling berat dan dilematis yang pernah saya lakukan.

Bagaimana tidak, setelah di waktu-waktu sebelumnya, bertahun-tahun, terus menerus saya menyeru agar orang-orang datang ke masjid, sekarang saya harus menyerukan hal yang sebaliknya. Namun saya berprinsip, beragama haruslah dengan bijak. Dan kebijaksanaan itu siapa lagi kalau tak didapat dari para ulama, para penerus Nabi yang ‘linuwih ing pikir’.

Bacaan Lainnya

Hal pertama yang mesti diingat adalah prinsip pokok, bahwa agama (Islam) hadir dengan misi utama (Maqâshid) untuk menjaga kebaikan manusia itu sendiri, baik Hifdz Ad-Dîn (menjaga agama), Hifzh An-Nafs (menjaga jiwa), Hifdz Al-‘Aql (menjaga akal), Hifzh Al-‘Ardh aw An-Nasl (menjaga kehormatan atau keturunan), dan Hifzh Al-Mâl (menjaga harta). Peniadaan ritual shalat jamaah di masjid untuk sementara waktu adalah bagian dari menjaga jiwa, menjaga akal, dan menjaga kehormatan atau keturunan.

Masjid sendiri bukanlah tempat sakral dan ‘keramat’ dalam artian tak tergantikan sebagai ‘altar’ penyembahan kepada Allah. Dalam kondisi tertentu, rumah dan bagian bumi lain memiliki kedudukan setara dengan masjid, di mana di tempat itu ritus salat boleh dilaksanakan sebagaimana Hadits Nabi: “Dijadikan bumi ini sebagai masjid (tempat ibadah) dan suci-mensucikan” (HR. Bukhâri).

Ketidak-mutlakan masjid sebagai satu-satunya tempat beribadah juga bisa kita saksikan lewat anjuran Nabi Muhammad untuk salat di rumah saja saat kondisi hujan lebat, serta menambah lafal adzan dengan kalimat ‘sholu fii buyuutikum’.

Jadi ada keringanan (rukshoh) untuk tak datang ke masjid. Akal kita akan mengatakan, jika hujan yang tak terlalu membahayakan jiwa saja boleh membuat kita tak datang ke masjid, apalah lagi virus yang mematikan dan sangat cepat penyebarannya.

Demikian saudaraku, masjid-masjid boleh ditutup, namun hati kita harus tetap terbuka untuk Sang Pencipta jagad raya.

Tak lupa, kiranya kita terus berdoa supaya badai ini segera berlalu supaya kita tak lagi mendengar suara adzan dengan tambahan lafal “Sholu fii buyuutikum’. Agar kita bisa datang ke masjid lagi untuk bersama-sama bersujud kepada Tuhan dengan kerendahan hati, serendah-rendahnya.

***

Hargosari, 27 Maret 2020

Facebook Comments Box

Pos terkait