SEPUTARGK.ID – Membaca salah satu dari 5 pemenang sayembara novel bahasa Jawa yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY tahun 2018 ini serasa membaca sebuah perjalanan panjang True Story korban gempa Jogja tahun 2006, perjuangan lolos dari malapetaka kerusuhan Jakarta Mei 1998 dan ketegangan Bencana Merapi 2010. Semua silih berganti, sambung menyambung mencipta konflik, pergolakan dan perjuangan yang berat. Happy Ending masih menjadi sesuatu yang sepertinya terlalu sakral untuk ditinggalkan dalam menutup kisah di hampir semua novel di Indonesia. Begitu pula Ngoyak Ombak Segoro Kidul karya Margareth Widhy Pratiwi ini.
Dalam buku yang dicetak pertama kali oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bulan Oktober 2018 ini. Seorang bocah bernama Astuti menjadi tokoh sentral. Dia adalah seorang bocah perempuan yang beranjak remaja saat gempa dahsyat itu terjadi. Ditinggal oleh bapaknya yang bernama Panggih. Panggih merantau ke Jakarta untuk memperbaiki ekonomi keluarga di tahun 1997, namun saat kerusuhan Mei 1998, Panggih, ayah Astuti harus mengikuti Bosnya yang terancam keselamatannya ke Singapura tanpa mampu memberi kabar ke keluarga di Bantul.
Maryati ibu kandung Astuti dalam Novel yang ditulis di atas kerta ukuran 14 X 21 cm ini, tergambar khas perempuan desa yang miskin namun taat pada hukum adat dan sosial masyarakat. Ditinggal Panggih, sang suami, merantau ke Jakarta. Maryati harus merawat 2 orang anak, Wasis dan Astuti. Wasis anak pertama meninggal karena demam berdarah. Disaat Panggih tidak diketahui keberadaannya.
Maryati harus menghadapi sebuah situasi di tengah masyarakat yang tidak mudah. Setelah Panggih dikabarkan telah menikah lagi di Jakarta, seorang lelaki bernama Tukiran, tetangga satu kampung mencoba mendekati Maryati. Namun semiskin apapun keadaan Maryati saat itu dia masih mencoba menjaga kehormatan keluarganya. Tukiran di tolak mentah-mentah, bahkan dengan kasar. Maryati sangat menyadari bagaimana orang-orang di kampungnya telah menilai hubungan Tukiran dan Maryati bukan hanya sebagai tetangga. Tetapi sudah mengarah pada hubungan serius. Semua orang memaklumi karena Tukiran juga hidup sendiri, jauh dari anak istri yang tinggal di Sumatra. Kondisi demikian membuat Maryati memutuskan untuk bekerja sebagai TKI di timur tengah. Menitipkan seorang Astuti kepada Mbah Ra. Tanpa ada komunikasi tersambung dengan Panggih.
Untung tak teraih, malang tak tertolak. 27 Mei 2006 gempa dahsyat terjadi di Bantul. Luluh lantaklah sebagian besar daerah bantul, Jogja dan sekitarnya. Mbah Ra menjadi korban dan meninggal.
Lalu Astuti? Dari sinilah kisah si kecil Astuti yang menyesakkan dimulai. Panggih sang bapak tak ada kabarnya, Maryati sang ibu yang telah terlanjur memperpanjang kontrak ke 2-nya sebagai TKI. Mbah Ra, wanita tua yang mengasuh selama ditinggal ibunya tiada.
Astuti yang akhirnya dirawat oleh Bu Gemi dan Agung anaknya, berubah nama menjadi Aning. Beranjak dewasa dan semakin mencari jati dirinya. Siapa orang tuanya? Dan hanya Mbah Ra yang selalu ada dalam ingatannya. Bahkan berkali-kali Mbah Ra menampakan diri pada Aning di antara gulungan ombak pantai selatan. Aning biasanya mengejarnya dan berkali-kali pula Aning hampir saja menjadi korban ganasnya ombak pantai selatan.
Buku novel berbahasa Jawa yang berhalaman xiii + 246 ini menghadirkan cerita tokoh-tokoh korban gempa Jogja 2006, kerusuhan Jakarta Mei 1998, korban erupsi Merapi 2010 yang traumatis dan mengerikan, namun kembali bangkit seiring berjalannya waktu. Buku ini juga bisa menjadi dokumentasi ringan akan siapa Mbah Marijan, Mbah Rono, sejarah kerusuhan Mei 98, informasi data tentang gempa Jogja 2006, dan lain sebagainya yang tentu dikupas sedemikian rupa ala novel.