Layangan yang bersayap dan berekor, atau bersirip dan berekor (layangan bapangan), cocok untuk tanah lapang yang kaya angin. Mengapa sayap dan ekor? Karena tawang adalah udara, udara adalah wilayah manuk. Kenapa sirip dan ekor? Karena tawang seumpama samudera yang penuh gelombang. Sayap dan ekor menyebabkan layangan anteng, dan panjer.
Layangan yang tanpa buntut, tanpa kepet, di beberapa tempat disebut layangan tokung, menuntut si pengunduh memiliki teknik ngundhuh yang canggih. Layangan lebih sulit dikendalikan. Angin sedikit dan kecil pun layangan tetap bisa muluk. Layangan seperti ini, oleh pengunduh, diharapkan bisa nyiruk kanan-kiri, memenangkan pertempuran, mengalahkan layangan lain yang didalangkan oleh seorang pengunduh/pengunda lain.
Si Layangan yang anteng (tenang) dan panjer, Si Layangan yang lincah dan nyiruk kanan-kiri, itu yang dinikmati oleh si pengunduh. Dua-duanya membuat anak-anak bersorak: hore-hore! Teman-teman di pinggir lapangan, para among tani di tegalan, semua ikut menikmati keindahan layangan.
Si Layangan adalah layang (surat kertas, jaman dahulu disebut kertas doorslaag), yang awalnya adalah wreksa (baca: manusia), kemudian dilipat, diragangi (diberi balung, penguat), direkatkan, ditali, ditujukan ke Langit; diulukke ke tawang.
Begitu lah layangan.
Ada yang tanpa kepet, tanpa swiwi, yang determinatif, yang bisa dengan lincah zig-zag kanan kiri atas bawah, nyiruk atas bawah kanan kiri, medhot yang lain. Ada layangan yang berkepet, yang anteng, yang panjer di tengah, berjajar kanan kiri atas bawah memenuhi langit. Namun tampaknya, keduanya tak bisa melakukannya tanpa kehadiran barat (angin). Hingga para manusia, para anak, yaitu para pengunduh/pengunda layangan, beraneka-warna layaknya layangan mereka sendiri yang mendua.
Mancawarnanya layangan (anak-anak; manusia) seperti yang dinasehatkan Nartosabdo: ada kupu, ada kinjeng, ada sekuter, ada satelit. Bukankah kehidupan manusia adalah dialog intensif (yaitu bagaimana menghadirkan suatu kenyataan berdasar rasa-pangrasa, pengalaman, kesadaran, dan pandangan-pandangan tentang dunianya sendiri) antara sekuter, motor, montor-mabur, dan satelit sebagai jalan representasi teknologi dan modernitas, serta kupu, kinjeng, dan jaran-sembrani sebagai wali kehadiran mitologi dan pramodernitas?
Anak-anak ngundhuh/ngundha layangan. Mereka mencoba mampu mengendarai barat. Hendak menggiringnya ke mana suka. Sebentar merapal mantra memohon kewelasan Si Penguasa angin. Anak-anak memilih benang biasa (bolah) karena layangannya panjeran. Atau gelasan (tajam) karena untuk sangkutan.
Itu lah asiknya layangan. Ingat, kan?
[Wage]