Petani Merasa Tenteram Dengan Menyimpan Gabah

Jemurah gabah di halaman rumah Jumirah. (Kandar)
Jemurah gabah di halaman rumah Jumirah. (Kandar)

Ini soal hati. Bagaimana menuruti ketenteraman batin. Dalam menjalani profesi sebagai petani memang tak hanya sebatas urusan kebutuhan jasmani saja, tepatnya tak sekedar pemenuhan makan. Tetapi sebagai sebuah aktivitas panggilan nurani.

Kira-kira demikian kesimpulan setelah mendengar cerita Jumirah, warga Wonosari ini. Tidak dipungkiri, mampu menyediakan nasi untuk makan bagi diri dan keluarga selama setahun tanpa membeli (beras) merupakan anugrah.

Bacaan Lainnya

Cerita lampau sangat berbeda dengan kondisi sekarang, menggarap tanah bersama orang tua tak mampu penuhi kebutuhan cadangan makanan pokok (nasi) bagi dia dan orang tuannya. Dekade 70/ 80-an orang tuanya harus menukar/ barter hasil tanaman sayuran ke Nggunung, ke wilayah penghasil ketela/ gaplek.

Jelas diketahui hingga sekarang, wilayah-wilayah tersebut yakni Kecamatan Paliyan, Saptosari, Panggang dan lainnya. Sebuah wilayah di kawasan atau zona peggunungan seribu yang menjadi alasan atau asal usul Gunungkidul memperoleh sebutan kota gaplek.

Selain karena tanah garapan sedikit, benih dan metode dari teknologi pertanian waktu itu belum mampu menghasilkan gabah sebanyak sekarang. Karena umumnya varietas padi lokal (pari jowo/ pari dhuwur) yang ditanam tempo dulu hasilnya sangat jauh apabila dibanding benih padi modern sekarang ini. Dimana telah banyak mengalami penambahan jenis/ varietas melalui berbagai pengembangan teknologi pertanian.

“Seusai menanam padi lalu menanam sayuran/ nyetren, sebagian sayuran ditukar bahan makanan berupa gaplek. Gaplek menjadi penyambung kebutuhan bahan makanan pokok melengkapi beras,” tuturnya -mengenang kondisi pertanian tempo tahun 1970-1980-an.

Tidak dengan sekarang, saat ini hasil bertani atau menanam padi yang Jumirah lakukan cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga. Keluarga besar. Yakni beserta keluarga dari 6 anaknya. Awalnya memang kepemilikan tanah warisan dari orang tua tak seberapa banyak, tetapi seiring waktu berjalan dengan ketekunan dan jerih payah upaya yang lain kepemilikan tanah mampu ditambah.

Dengan menyisihkan sebagian penghasilan alm. suaminya, yang berprofesi sebagai TU, PNS golongan bawah di salah satu lembaga pendidikan membuatnya mampu membeli tanah garapan baru. Saat ada warga yang hendak menjual tanah garapan, ia pun rela menjual tabungan lain berupa sapi peliharaan untuk menebus tanah.

Keinginannya menekuni pertanian cukup kuat, meski diantara anaknya banyak yang enggan melakukan untuk meneruskan. Alasan utama yang disebutkan cukup mendasar, kata Jumirah, ada perasaan tenang, ayem, dan damai apabila memiliki cadangan makanan berupa gabah hasil panen.

Menyimpan gabah menurutnya menenteramkan. Lebih dari perut kenyang setelah makan. Diusia yang menginjak 60-an tahun, ia masih semangat nonjo atau menanam benih padi, menyiangi rumput, lalu babat pari atau panen. Ada kalanya ia akan dibantu tenaga (buruh tani) karena keterbatasan tenaga. Lalu saat panenan tiba, anak-anaknya meluangkan waktu membantu disela pekerjaan lain yang lebih diminati.

“Anak-anak tidak sepenuhnya bersedia meneruskan bertani. Mereka lebih memilih kerja dibidang lain,” ujarnya. Pengakuan Jumirah, meski hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan makanan pokok saja, selama kemampuan tenaga masih ada profesi bertani akan terus dijalani. Agar tenteram, damai, dan sakinah diperoleh.

Facebook Comments Box

Pos terkait