Piknik yang Menyenangkan

Buku "Piknik yang Menyenangkan" karya Hasta Indriyana
Buku Piknik yang Menyenangkan karya Hasta Indriyana
Buku Piknik yang Menyenangkan karya Hasta Indriyana

Di keluasan matamu
Kita susuri masa lalu
 
Di kedalaman itu
Kita tenggelam dalam biru
Rahasiamu
 
Dan perahu-perahu mencari
Tepi-tepi menepikan
lelaju
[“Di Kali Itu”, Hasta Indriyana]

Lelaju, lelana, lelaku: terasa pas jika ditujukan ke masa-lalu. Pada kedalaman dan kerahasiannya yang ‘biru’. Bagaimana tentang lelaju ke masa-depan? Tetapi, bukan kah, bayangan-bayangan masa-depan adalah rekonstruksi hasil inderaan masa-lalu?

Bacaan Lainnya

Kali ini adalah, termasuk di Gunungkidul, sekali lagi: di Gunungkidul, jaman ketika banyak orang menjadi pelaju naked-traveler a la ‘trinity’ (ia mengabadikan kisahnya berjilid-jilid) dengan gaya dan caranya sendiri. Ini jaman ketika tempat-tempat alamiah-masa-lalu pada waktu mitis tertentu (kala tingkat kunjungan diasumsikan tertinggi) dipaes sedemikian rupa agar ‘tak begitu begitu alamiah amat’ hingga menarik untuk dilelajui dan dilelanai oleh para penjelajah, oleh para palancong, oleh para ‘pikniker’, atau oleh para pelawat (bukan ‘pelayat’: para asung bela sungkawa bagi seorang manusia yang telah laya [layu] dan layat  [lunga/pergi dari dunia material]?; atau kah para-para yang mendatangi suatu tempat yang telah menjadi tak begitu-begitu alamiah amat itu memang bertujuan untuk melayat [nglaya; dari kata {laya}: pati] ya, Mas, Mbak, sebab kenyataan begitu ngegla wela-wela telah menurunnya kualitas alam, untuk tak secara langsung mengatakan menuju ‘kematian-kematian’ spirit alam [layat: pergi], misal mengeringnya sebuah telaga di Gunungkidul justru akibat ulah manusia yang pada mengorganisasi program  ‘piknik’?). Jadi, para-penjelajah, para-pelancong, para pikniker, para pelawat, adalah para pelayat?

Ya, traveling, piknik, dan sejenisnya bagi wawasan tradisional adalah nglayat atau nglayar atau nglinggar: bepergian dari ‘rumah’ menuju ke suatu ‘ruang-waktu’ menggunakan suatu wahana tertentu. Traveling atau piknik itu ngulandara. Lelana. Murud. Pelakunya semacam murid.

Sampeyan pernah, ya, menjadi muridnya alam? Sampeyan menjelma ‘pengembara-telanjang’ di hadapan ketelanjangan alam? Menjadi tukang-piknik? Mendekati ‘kematian’ (laya)? Bahkan, di balik ‘kematian’ alam? Sering, kan? Sampeyan piknik sendirian. Melancong bersama kesepian. Sampeyan mengembara dengan sedikit bekal bahkan ada yang tanpa bekal sama sekali; lebih-lebih hingga menenteng ‘kamera’ untuk selfi. Sampeyan lelaju-lelana dengan ‘berjalan’ (menggunakan kaki Sampeyan bukan menggunakan roda lebih-lebih kaki kuda atau kaki sapi), tanpa mengendarai mesin. Hanya dengan kaki Sampeyan sendiri. Sampeyan niliki sistem teknologi yang Sampeyan-miliki di sekitar Gunungkidul yang selama ini belum sempat tersambangi bahkan belum pernah diketahui. Sampeyan menyusuri kali (sungai) dan menemukan aliran air yang begitu deras di dalamnya. Yang membanjir hingga ke laut. Sampeyan menengok bangunan omah di Gunungkidul yang cere-gancet itu dan tinggal sedikit jumlahnya. Sampeyan menemui para among-tani yang terjerat dan terpinggirkan hidupnya. Sampeyan menziarahi kali, telaga, goa, hutan, gunung, dan kayu-kayu. Sampeyan mengingat kembali ‘gunung-sewu’ dan ‘sewu-gunung’.

Atau Sampeyan belum pernah?

Ah, betapa terlalu asiknya diri Sampeyan jika demikian: jika belum pernah mencicipi menjadi naked-traveler yang (nge)pop itu. Menjadi pelancong-pikniker di Bumi Handayani. Di ‘bumi-sendiri’. Ijo-royo-royo lagi. Bagai retna (mutiara) yang sedang dumilah (bersinar); arga (gunung) dumilah (bersinar). Namun saya ragu. Saya sedikit yakin: bergilir-berganti Sampeyan dengan orang-orang dari berbagai penjuru melakukan semacam ekskursi, berkeliling, berwisata ke kali-gunung-goa atau dusun-desa-kota di sana-sini, ke gunung-gunung Pegunungan Selatan di Gunungkidul-Praci-Pacitan-Wanagiri-Imagiri, demi mencari sebersit kebahagiaan (ayem-tentrem). Demi pengembaraan di ‘kemisterian’. Demi meyakinkan diri Sampeyan sendiri: apakah di dalam goa misalnya, itu benar-benar gelap gulita dan Sampeyan menjadi sangat yakin untuk membawa colok atau obor ketika memelancongi kepekatan goa. Demi meneguhkan diri Sampeyan sendiri: Sampeyan hanya hendak membuktikan bahwa Sampeyan pernah bermimpi terlahir dari sebuah ‘ruang-waktu’ lantas pada suatu ruang-waktu (saat Sampeyan berada di dalamnya) Sampeyan merasakan mimpi kuno itu (kembali) terjadi. Sampeyan hendak meneguhkan bahwa kota-kota yang Sampeyan kembarai adalah kota-kota sebagaimana kota kelahiran Sampeyan: kota-kota berkembang dari sebuah desa yang sangat indah dan romantik. Sampeyan hendak mengulang suasana terceguk ketika makanan-makanan lokal memenuhi indera perasa.

Itu lah yang dilakukan Hasta Indriyana lewat antologi puisi berjudul “Piknik yang Menyenangkan”. Saya menyejajarkan ‘piknik’ yang dikabarkan Hasta lewat kumpulan-puisinya dengan kerja ‘lana’ atau ‘laku’: yaitu kerja meninggalkan omah untuk mencari suasana ‘laya’ (kematian) tertentu. Suasana kaku (freezed) di suatu tempat untuk mencari dan mencairkan perihal tertentu; salah satu tekniknya menggunakan baita atau prau yang didayung. Suatu waktu prau akan berlabuh di sebuah ruang. Di sebuah penanda waktu. Di kota-kota. Aceh. Pontianak. Jogja. Semarang. Makasar. Muntilan. Rembang. Wates. Bandung. Cianjur. Di nusa-nusa. Sumatera. Kalimantan. Sulawesi. Bali. Dan pada suatu waktu tertentu laku-piknik ini akan diajak untuk dilelanakan di penanda waktunya yang purwa: di ‘kedalaman’ diri-sendiri. Di konstruksi tubuh-diri omah-diri sendiri: Gunungkidul.

Memang, piknik di jaman kini, terlebih piknik dengan dan di dalam puisi, tak hanya berhubungan dengan ‘jalan-jalan yang menyenangkan’ dengan sedikit menggunakan akal, emosi, dan tenaga, namun juga berhubungan dengan eksplorasi, misi ilmiah, penelitian, pengenalan (tempat), serta penyelidikan. Rasanya tidak akan mungkin jika suatu laku piknik di dalam puisi tak menyertakan kerja-kerja seperti ini.

Hasta mengajak kita para pembaca (awam seperti saya) untuk menyiapkan tas-piknik kita masing-masing. Mungkin sampeyan perlu membawa tas cangklong kecil, saya tas-ransel besar. Mungkin saya butuh kosmetik agar saat saya berada di pucuk selfish di tepi Kali Oya yang mengering itu sembari mengotorinya dengan sesampah, agar selalu tampak cantik dan genit. Mungkin Sampeyan tak perlu tetek-bengek perlengkapan (karena Sampeyan adalah seorang penulis sajak yang handal seperti Hasta Indriyana) sementara saya membawa beraneka piranti yang harus saya sertakan demi pendar-pendar persona yang saya asumsikan bersemayam di dalamnya dan memungkinkan untuk saya inderai: kala saya melakukan pergi piknik ke dalamnya.

Mungkin terlihat lucu: bagi yang beranggapan bahwa piknik tak harus selalu ‘pergi ke luar’; mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Menghilangkan penat. Stress. Beban. Barangkali tidak bagi pikniknya Hasta: piknik meliputi ‘pergi ke luar’ dan ‘pergi ke dalam’. Piknik berupa kata kerja: ‘mengeluarkan’ dan ‘memasukkan’. Lelaku atau lelaju yang sementara waktu dinamai ‘piknik’ memang terasa paradoks. Adat kebiasaan manusia modern, dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas serba terlipat dan cepat, memungkinkan manusia melakukan ekskursi/piknik cukup di dalam kamar. Di depan ‘layar’. Jagad-gedhe yang gumelar (global-village) cukup dinikmati dengan menggelar gelaran (tikar) di kamar: membuka jagad-gumulung dalam ‘dunia-maya’. Piknik identik dengan lunga-sanja, bepergian, atau ngulandara, mengembara. Namun piknik di dalam kamar (rumah) mungkin juga amat pas disejajarkan dengan gerak bali nyang sangkan, kembali ke asal-usul.

Dua-duanya, dunia-terlipat dan dunia-tergelar, menyodorkan laku piknik di dunia semu.

Maka, Hasta mengajak para pembaca sajak-sajaknya untuk piknik, selain ke blok-blok di kehidupan yang pernah di kembarai di ‘luar’ dirinya, ke blok-blok masa-lalu dirinya sendiri: omah dan keluarganya. Ke kampungnya. Desanya. Tegangan-tegangan sosial kulawangsanya: kulawangsa Gunungkidul. Puisi-puisi Hasta Indriyana dalam buku ini adalah puisi-emik a la antropologi. Puisi I-witnessing: Hasta menggunakan segenap inderanya sebagai persaksian untuk menangkap kekhasan atau bagian tubuh dan kehidupannya sendiri; romantik nuansanya. Hasta menarasikan ‘hubungan-emosional’ dan ‘hubungan-spiritual’ dengan kulawangsanya. Dengan Gunungkidul yang tak henti menelusupkan spirit kehidupan. Bukan kah kota-kota asal, seperti halnya desa-desa asal, yang berjalin kelindan dengan sejarah dan pertumbuhan kulawangsa manusia, akan selalu meniupkan ‘spirit’ kehidupan?

Mata para pembaca, diwakili mata puisi Hasta, diajak melihat-lihat masa lalu. Masa lalu itu puitik. Kata orang bijak, kita bisa menjelma ‘pembaca-sesungguhnya’ (actual-reader) a la anak kampusan jika menyertakan pengalaman-pengalaman masa-lalu (keGunungkidulan; keNusantaraan) kita kala membacanya. Puisi Hasta berkelana ke hal-hal yang diwariskan oleh nenek-moyang (nenek-kakek), oleh leluhur: narasi arkais Wanamarta, Naga yang Melilit Kota/Gunung, juga Ki Ageng Giring.

Buku Piknik yang Menyenangkan karya Hasta Indriyana
Buku Piknik yang Menyenangkan karya Hasta Indriyana

Yang tampak lebih telanjang, ziarah/piknik puisi Hasta Indriyana adalah piknik ke ruang terrestrial-selestial bangunan omahnya (rumahnya) sendiri di Gunungkidul. Rumah (omah) yang dipenuhi cinta, kata Hasta: “ikat-ikat jagung di lelangit”, “padi di lumbung”, dan ‘tumpukan kayu-kayu”. Barangkali puisi-puisi seperti “Mahoni”, “Akasia”, juga “Jati” mengajak para pembaca untuk piknik ke kerahasiaan diri-manusia yang amat wreksa: wreksa mahoni, wreksa akasia, wreksa jati. Para wreksa menemani dan menjaga kehidupan manusia. “Kang Marto, Kang Ijan, Mbah Karsan, di sebuah Gubug Tengah Sawah” adalah gambaran hubungan emosionalnya dengan para golongan dukut (akar rumput yang petani). Sementara Kali Progo, Kali Oya, Kali Code, dan Kali Winanga merupakan gambaran omah-alamnya yang lebih luas lagi. Piknik ke ‘Pura’: sering sebuah pura (omah) pura-pura kita sadari keberadaannya, sementara pura dan gapura adalah bagian dari diri manusia ke manapun ia piknik-mengembara.

Ajakan Hasta Indriyana lewat kumpulan puisi “Piknik yang Menyenangkan” untuk menziarahi bangunan omahnya sendiri: omah (rumah), wreksa, kali, pura, dan lainnya, sebenarnya merupakan isarat yang sering dituturkan oleh para leluhur kulawangsa tradisional tentang bagaimana suasana lunga-piknik ke suatu ruang-waktu itu, yaitu ibarat “gotong-mayit”: kita masuk ke suatu ruang-waktu yang sangat misterius dan membahayakan: bisa-bisa yang kita-dapati adalah ‘kematian’.

Piknik (hidup, eros, bahagia, tenteram), yang sekilas tampak hanya menyiratkan laku: pergi, saja, oleh Hasta Indriyana justru dilengkapi dengan laku nglaya, nglalu, lelungan: ke ‘kematian’. Rerupa kematian yang dirasakan dan digambarkan Hasta berupa: tanah Gunungkidul yang tandus. Bahkan, ia juga menceritakan Sang Bapak telah pergi: “Pagi di Hari pertama Menjadi Janda” dan “Lebaran kali ini tak Ada Bapak”.  Dan mungkin ajakan laku-piknik Hasta Indriyana yang paling mendekati suasana laya (kematian) adalah  laku-piknik ke ‘yang paling masa lalu’, kepada yang lalu, kepada yang pada nglalu di Gunungkidul: yang melakukan bunuh diri! Struktur-genetika puisi “Muasal” (puisi ini ia peruntukkan Darmaningtyas; seorang tokoh Gunungkidulan yang membukukan fenomena bunuh-diri ‘ngendhat tali murda’ di Gunungkidul), seakan merupakan kadang (saudara) atau katakan saja ‘restrukturasi’ atau bahkan “destrukturasi” buku berjudul “Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” karya Darmaningtyas itu. “Muasal” mengabarkan piknik ke kematian-kematian: akar mahoni yang melilit, bukit seperti laso yang menggantung. Sedangkan puisi “Talimati”, yang amat mirip dengan judul jurnalisme-sastrawi buku “Talipati” karya Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga, menggambarkan kematian-kematian: pohon-pohon garing, tanah-tanah rekah, ketela dan padi yang tiada, anak-anak dan cucu yang merantau, juga kampung yang gaduh. Pikniknya Hasta Indriyana adalah laku piknik ke kematian-kematian.

‘Kematian-kematian’ Gunungkidul yang telanjang.

Menjadi ‘naked-traveler’ di dalam laku ekskursi (piknik) di puisi-puisi Hasta Indriyana mungkin bukan lagi sebagai ketelanjangan yang nisbi, namun ketelanjangan yang berhubungan dengan laku ‘kembali ke kemurnian’. Ke ‘keperawanan’ puisi. Justru puisi-puisinya yang telanjang, yang murni, yang perawan, lebih menggugah greget para pembacanya untuk membuktikan bahwa sebuah puisi pun merupakan wahana pelaporan ‘pandangan mata’ dan ‘pandangan dunia’. Minimal kondisi wisata ke dan di Gunungkidul yang telanjang, baik ketelanjangan yang membahagiakan ataupun yang mematikan. Wisata ke kota-kota ke desa-desa lewat puisi bagi seorang penyair barangkali memang tindakan mencari sumber air suci kehidupan, semacam losata mausadi, yang ‘bisa’ ditemukan dimana pun kala piknik-puisi mulai dipaparkan, namun bagi sebagian yang lain, terutama bagi saya (awam) yang ikut membaca-bacainya, piknik-puisi adalah sekedar menziarahi ‘sumber air kehidupan’ untuk keperluan kedahagaan sehari-hari manusia jaman kini.

Agar tak mati-gaya.

Telah sewajarnya, pribadi yang sedang laku-piknik sekedar untuk memenuhi kedahagaan sehari-hari seperti saya itu harus membawa serta aneka piranti tas-jinjing, tas-gendong, atau tas-kosmetik: berisi penuh ‘pandangan dunia’. Lebih-lebih laku-piknik ke ‘masa-lalu’ menggunakan prau ‘harus’ lah menyertakan pengawak (tubuh-perahu) dan dayung: pengawak (tubuh-manusia; diri) bahu-membahu mengemudikan pengawak-prau beserta dayungnya (sebagai suatu ‘pandangan tentang sebuah dunia’ sementara) untuk ‘memandang dunianya’ sendiri: amek geni adedamar. Karena masa-lalu, sebagai muasal dan tetali masa-kini, memang amat dalam dan biru untuk selalu diarungi/dipikniki. Ngawe-awe kita sebagai sekumpulan kadang (saudara yang sama-sama pernah kaadang [ditempa; dikawahkan] di tanah Nusantara ini) untuk selalu ‘pulang’ kembali. Menumpang Safari Dharma Raya. Melawat dan melayat ke kedalamannya.

Sementara laku piknik atau lelaju atau lelana dengan dan di dalam puisi, seringkali mengabarkan lelayat (kepergian-kepergian) ke atau di tempat-tempat yang tenang nan sunyi, juga lelayu (kematian-kematian) penuh misteri.

Mari, kita piknik ke puisi! Karena piknik, juga puisi, apalagi dalam kondisinya yang ‘telanjang’, sungguh menyenangkan; semenyenangkan mengunjungi ‘Dewadaru’. Juga kali-kali biru.

[WG]

—————–

Buku kumpulan puisi “Piknik yang Menyenangkan” karya Hasta Indriyana diterbitkan oleh Penerbit Interlude (“prasaja dan mandhiri”), Berbah, Kontak: 082281572158

Facebook Comments Box

Pos terkait