Profil Kemiskinan di Gunungkidul Tahun 2019

Profil kemiskinan di Gunungkidul tahun 2019. Dok: BPS Kab Gunungkidul, 2020.

Berbicara tentang kemiskinan biasanya mengundang pro-kontra. Apalagi bila membicarakan “kemiskinan” di Gunungkidul. Ini perkara sensitif yang mengundang silang-pendapat. Siapa yang ngarani Gunungkidul itu miskin? Apa ukuran kemiskinan itu? Lha wong saben hari jalanan kebak bis wisata hilir-mudik ke Gunungkidul kok masih ngoceh ada kemiskinan di Gunungkidul. Hayo, siapa yang ngomong Gunungkidul miskin, mreneo tak kamplengi! Mungkin bakal ada yang berucap seperti ini.

Sayangnya, semangat gagah pideksa tersebut luntur manakala ada program-program bantuan sosial. Kami mestinya berhak mendapatkan bansos pengentasan kemiskinan. Keluarga Dadap Sutanaya kae kudune oleh bantuan, lha kok malah keluarga Jati Galihireng sing oleh. Kae keluarga omahe gedong lantai keramik kok isih oleh bantuan PKH? Demikian potret keluhan dan protes yang biasanya muncul.

Bacaan Lainnya

Iya, definisi kemiskinan menurut masyarakat memang lentur dan terkadang bersifat personal. Keluarga yang rumahnya tembok lantainya keramik cemlorot bisa saja disebut miskin. Sebaliknya bisa saja keluarga yang omahe gedhek bolong-bolong tak terdefinisi sebagai keluarga miskin.

Untuk menghindari silang pendapat tersebut, BPS memakai definisi operasional kemiskinan yang bisa diterapkan secara umum dan bisa diterima di semua wilayah yang diukur, dari Sabang sampai Merauke. Tujuannya apa? Agar angka evaluasi tersebut bisa digunakan sebagai sarana untuk mengambil kebijakan dan menyusun program penanggulangannya. Jadi angka-angka itu bukan merupakan “cap” yang melanggengkan kondisi. Angka tersebut adalah sebuah kondisi yang dinamis, terus akan berubah karena angka itu melekat pada subyek pembangunan yang terus berubah.

Metode “garis kemiskinan” dipakai oleh BPS sebagai dasar untuk memetakan berapa jumlah atau persentase penduduk yang masih “terkategori miskin”. Garis kemiskinan adalah jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Garis kemiskinan tahun 2019 menurut hitungan BPS adalah sebesar Rp 301.125 per kapita per bulan. Pengertian mudahnya, apabila penghasilan bulanan seorang bujangan kurang dari Rp 301.125, maka disebut di bawah garis kemiskinan. Apabila keluarga terdiri dari 4 anggota (suami, istri, plus 2 anak) memiliki penghasilan bulanan kurang dari Rp 1.204.500 disebut keluarga di bawah garis kemiskinan, Apabila penghasilan keluarga tersebut Rp 1.205.000, maka sudah tidak termasuk keluarga di bawah garis kemiskinan.

Teori garis kemiskinan yang dipakai BPS untuk melakukan pemetaan ini mengacu kepada pandangan sosiolog perdesaan IPB Profesor Sayogyo. Menurut Sayogyo, kelompok miskin adalah rumah tangga yang mengkonsumsi pangan kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun per kepala di pedesaan atau 369 kg di perkotaan. Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan yakni 2.172 kilokalori per orang per hari. Angka yang berada di bawah itu termasuk kategori miskin.

Di Gunungkidul, garis kemiskinan pada tahun 2019 tercatat Rp 301.125 per kapita per bulan. Dari batas garis kemiskinan tersebut, diperoleh persentase penduduk miskin pada 2019 sebesar 16,61% atau sebanyak 123.368 penduduk. Kabar baiknya, persentase jumlah penduduk miskin di Gunungkidul ini terus menurun, 23,03% pada 2011, 21,73% pada 2015, dan terus berkurang di bawah 20% sejak 2016. Jumlah penduduk yang di bawah garis kemiskinan terus berkurang, artinya kerja besar yang dilakukan masyarakat dan pemerintah (pusat dan daerah) untuk meningkatkan kapasitas diri dan menambah pendapatan rumah tangga semakin progresif meningkat.

Dalam rilisnya, BPS Gunungkidul juga menampilkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Indeks kedalaman kemiskinan adalah angka yang menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Semakin besar angka P1 maka kemampuan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan pokoknya semakin jauh dari harapan. Indeks kedalaman kemiskinan di Gunungkidul dari tahun ke tahun menunjukkan angka fluktuatif, namun dilihat dari perkembangannya menunjukkan angka yang semakin kecil, artinya capaian peningkatan pendapatan penduduk yang masih terkategori miskin semakin membaik.

BPS juga mengeluarkan angka yang disebut “koefisien gini” atau “rasio gini”. Koefisien gini adalah angka yang mengukur seberapa besar kontribusi pengeluaran sekelompok penduduk dalam perekonomian. Angka ini digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Semakin besar koefisien gini, semakin besar ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh. Kisaran koefisien gini di Gunungkidul antara 0,30 sampai 0,340. Dari tahun ke tahun nilainya fluktuatif cenderung meningkat. Ini perlu menjadi perhatian bersama, karena menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh yang semakin melebar.

Koefisien gini di Gunungkidul tahun 2019. Dok: BPS Kab Gunungkidul, 2020.

Sekali lagi sebagai catatan penting dan perlu diingat, garis kemiskinan, pengkategorian penduduk miskin bukan bertujuan memberi cap buruk pada keluarga atau anggota masyarakat lho ya? Ini adalah alat atau perangkat untuk pemetaan kondisi riil yang bermanfaat bagi para pemimpin formal maupun pemimpin informal untuk membuat kebijakan dan melakukan program pembangunan masyarakat.

Lantas, apa makna angka-angka tersebut bagi kita semua sebagai anggota masyarakat? Semua tentu telah mengambil peranan dengan apa kebisaan masing-masing untuk bekerja dan berkarya. Siapa yang ingin makan, semestinya ia harus bekerja. Apapun jenis pekerjaan halal itu pasti baik dan menjadi berkah adanya. Pemerintah tentu telah melaksanakan tugas kewajibannya untuk memelihara warga, apapun dan bagaimanapun hasilnya. Jika masih ada yang kurang-kurang, tentu menjadi catatan perbaikan kini dan yang akan datang.

Saya kok tiba-tiba teringat kutipan kalimat indah dari AlQuran yang diucapkan Mbak Nurhidayati, pengasuh Pondok Pesantren di Pengkol Patuk dalam suatu pertemuan Oktober 2019 lalu, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” Artinya, kita memang mesti kerja, kerja, dan kerja di saat pemerintah dan orang lain juga bekerja untuk kesejahteraan kita.

****

Sumber: Booklet Indikator Sosial Strategis Gunungkidul, BPS Kab Gunungkidul, 2020.

Facebook Comments Box

Pos terkait