Udara pagi itu rasanya dingin menusuk tulang. Benar-benar menyisakan kemalasan, membuat diriku enggan beranjak. Tetapi, aku paksa menyeret tubuh ini untuk mendekat pada pediangan api unggun sisa semalam. Kehangatan yang tersisa memberiku kesegaran semu. Di ufuk timur terlihat sang mentari mulai merangkak, mengintip mendaki bukit menggapai cakrawala, memberikan sinarnya yang merah merona, merekah memberikan kegairahan.
Aku mencoba mereka-reka kembali mimpiku yang baru saja aku tutup episodenya. Untuk orang ndesa seperti diriku, paling mimpi yang sama yang aku dapatkan di setiap malamnya. Ya, hanya sebatas sebentuk mimpi. Apalah artinya sebuah mimpi, seperti ibuku pernah bilang, mimpi itu hanyalah kembangnya orang tidur. Jadi tidak perlu untuk dipikirkan.
Namun dari sudut hati yang paling dalam, terbersit satu keyakinan, bahwa suatu hari kelak, aku akan merajut dan mewujudkan semua mimpi-mimpiku untuk menjadi sebuah benang yang panjang. Ya, merentang pajang dan panjang. Benang yang terentang panjang menjadi titianku untuk sampai ke bintang. Bintang nan terang benderang cemerlang dilangit. Pastilah indah.
Tapi, apakah semua itu mungkin terjadi? Ataukah benar kata ibuku, mimpi itu tidak perlu dipikirkan, karena mimpi itu hanyalah kembangnya orang tidur.
“Wah enak tuh To, kalau bubukan api buat bakar singkong.” Mas Pujo menegur lirih sambil membetulkan kain sarung yang dipakainya. Suaranya yang khas menerpa daun telingaku ibarat bunyi lonceng yang segede gentong.
“Enak sih enak Mas, singkongnya mana?” Jawabku singkat, sedikit dongkol karena lamunanku buyar tak karuan.
“Mbedhol kebun sebelah itu lho To. Nah selagi kamu mbedhol singkong, jangan kuwatir, Mas Pujomu ini biar ambil kopi dan gulanya. Pas khan To? kopinya nasgitel, ditambah singkong bakar, bahasa kerennya nasgitel singkobar.” Sedikit bercanda mas Pujo menyahutiku dan nada-nadanya tegas cekak aos. Mas Pujo menyuruhku untuk mbedhol singkong. Masih dalam hitungan detik, terlihat Mas Pujo sudah membalikan badan, berlalu masuk ke dalam rumahnya.
“Ngan… Ngan…. Mbok bangun, bantu aku mbedhol singkong di kebun sebelah yuk!. “ suaraku setengah berteriak memanggil Ngatiman temanku yang masih ngelingker.
“Wis…jan males tenan aku, lagi ngimpi je digangu.” Nampak Ngatiman sedikit marah-marah karena aku bangunkan dari tidurnya.
“Mau apa tidak? Kalau tidak mau ya sudah, biar aku saja yang berangkat, ngorok sampai apek sana!“ Sedikit bercanda aku mennyahuti gerutuan Ngatiman.
“We lha, gitu aja marah, ha wong guyon kok dimasukan ke hati.“ Jawab Ngatiman sambil ngucek-ucek matanya.
“Wis…, yok, berangkat To.” Ngatiman berdiri dan bersiap untuk menemani aku untuk mbedhol singkong di kebun sebelah.
“ Mas Pujo… Mas Pujo…., aku tinggal dulu ya, tolong jaga apinya biar tetap menyala “ Setengah berteriak aku menitipkan bubukan api yang masih menyala, lalu tanpa menunggu jawaban dari Mas Pujo, aku sudah berjalan beriringan dengan Ngatiman menuju kebun singkong yang berada di sebelah lereng bukit kapur.
Embun pagi masih menempel di rerumputan, terasa amat dingin, ujung kilaunya memantulkan sinar mentari membuat warna-warna yang tergambar jelas diujung daun rerumputan liar pinggir jalan, sang kabut pun tampaknya malas untuk meninggalkan batas cakrawala, bergelantung mengambang di antara bebatuan, mengaburkan padanganku yang terasa belum terjaga benar. Terasa tenteram damai nan permai membuatku lupa akan segala-galanya.
Inilah kampung halamanku, rasanya sudah terlalu jauh aku memutar memori-memori masa kecilku di kampung halamanku ini. Masa yang tak mungkin akan terulang, masa indah bagai sebuah lukisan Sang Maha Karya yang tergores jelas dalam garis nasibku.
Aku putuskan untuk kembali ke kampung, setelah segala mimpiku tentang Jakarta tercentang berentang. Boleh orang mencibirku atau juga akan mengolok-olok aku, bahwa aku dibilang lelaki yang lemah yang kalah oleh keadaan. Lelaki yang tidak berani mengambil resiko. Lelaki yang lembek atau apalah orang bilang tentang aku.
Rasanya tak mungkin aku untuk menjawab apalagi untuk marah akan cacian dan cemoohan itu. Ibuku sendiri, mungkin juga tidak akan bangga akan aku, sebab aku datang dari Jakarta dengan tampang nyremimih memelas.
Aku ingat betul ketika pagi buta, seisi rumahku bangun menyongsong aku. Tatapan mata mereka penuh tanda tanya, atau juga kecewa dengan apa yang mereka lihat. Aku tidak seperti impian mereka, aku tidak seperti harapan mereka. Walaupun mereka bungkam seribu bahasa, namun mata mereka jelas mengatakannya itu padaku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak berani untuk menatap kedua mata ibuku. Mata yang menjadi saksi akan segala gejolak dalam hatiku. Mata yang memberi restu akan kepergianku ke Jakarta untuk merentang mimpi-mimpiku. Mata yang nanar penuh dengan air mata. Mata yang penuh dengan derita, mata yang tulus dan tabah akan semua apa yang disaksikannya. Gejolak dalam dadaku yang membuatku untuk tidak berlama-lama memandang mata ibuku.
“O…. kowe To. Naik apa dari Jakarta?“ Ibuku menyapa singkat.
“ Naik bis bu “ jawabku singkat pula.
“ Yo wis, istirahat di kamar adikmu sana, kok kowe kelihatan kuyu.“ Suara ibu menyuruhku untuk segera bergegas istirahat.
“ Baik .. Bu.” Jawabku singkat menutup percakapan pagi itu.
Aku rebahkan badanku di atas bale beralaskan kasur tua yang tergelar di kamar adikku. Aku berharap segera dapat memejamkan mata melupakan segalanya.
“ Blaik tenan, sapi ra diurus, buang kotoran sembarangan.” Ngatiman mengumpat sambil membersihkan kakinya yang terkena kotoran sapi.
“ Makanya, kalau mau jalan itu melek dulu, biar slamet.“ Kataku singkat setengah kaget mendengar umpatan Ngatiman.
Tak terasa aku telah berjalan jauh melewati bukit-bukit kapur. Bukit kapur yang bagi sebagian orang adalah berkah, sedangkan bagi sebagian orang adalah sebuah harapan hampa yang tidak memberikan apa-apa.
Sepetinya aku adalah tipe orang yang tidak dapat memandang harapan di antara bukit-bukit kapur itu. Aku seperti remaja umumnya di kampungku, yang inginnya sesegera mungkin keluar kampung untuk mengadu nasib, bekerja keras membanting tulang demi sebuah kebanggaan untuk dapat membusungkan dada ketika lebaran tiba. Menjadi kembang lambe-nya orang sekampung. Menjadi titik acuan bagi orang tua yang masih mempunyai anak berusia remaja. Menjadi kebanggaan orang tua yang tersenyum sumringah menyambut keberhasilan anaknya.
Aku sepertinya jauh panggang dari api. Menyerahkah aku? Jawabnya pasti tidak, harga diri ini terlalu mahal untuk mengatakan aku kalah. Aku pasti akan, bertarung lagi dan bertarung lagi dengan kejamnya zaman, merenda mimpi di belantara kota yang bernama Jakarta.
Baru sebulan yang lalu kenangan dan juga candaan Ngatiman dan Mas Pujo tergiang-ngiang di telingaku ketika mereka menemaniku saat aku pulang kampung. Kini berderap-derap aku kembali pulang kampung, ditemani gemericik titik air yang mulai jatuh ke bumi meninggalkan mendung yang seolah enggan untuk beranjak dari peraduannya, mengelantung menyelimuti bukit-bukit kapur, menyiramnya memberikan aroma khas tanah basah.
Beriring-iringan mobil membelah gerimis sore mendaki bukit kapur menuju kampungku. Tetesan-tetesan air yang berjatuhan dari kap mobil yang bocor menyadarkanku, bahwa baru kali inilah aku pulang diiring oleh sekian puluh orang dengan mobil yang terbilang bagus untuk ukuran kampungku. Sorotan lampu kamera dari para wartawan TV seolah membuka jalan di tengah gerimis sore yang tak mau juga berhenti. Bahkan beberapa stasion TV menayangkan pulang mudikku secara langsung.
Oh… Sungguh luar biasa satu kebanggaan tersendiri. Aku pulang diantar oleh orang-orang yang tulus dan iklas mengantarku untuk pulang mudik, sebentar lagi akan aku lihat senyum ibuku yang mengambang sumringgah menyambut kedatanganku.
Ibuku pasti akan bangga melihat anaknya tidak seperti dulu lagi. Anak yang dulu kalah. Anak yang dulu pulang nyremimih memelas kini pulang kampung diantar dan diringi oleh beberapa mobil yang bagus-bagus beserta sorotan kamera TV para wartawan.
Perlahan tapi pasti iring-iringan mobil melewati bukit-bukir kapur. Dua kelokan lagi terlihat sudah rumahku yang amat sangat sederhana. Di sepanjang jalan yang aku lalui terlihat banyak orang berjejer di pinggir jalan. Ada yang menggunakan payung, ada pula yang menggunakan daun pisang untuk sekedar melindungi dari gerimis sore.
Sorot matanya mengatakan, sayang untuk lewatkan kesempatan untuk melihat mobil bagus-bagus masuk kampungku bersama sorot lampu kamera TV pula yang sepertinya mustahil dapat dilihat dan disaksikan setiap waktu.
Mobil yang mengantarku perlahan-lahan masuk ke pekarangan rumahku. Aku menyaksikan pemandangan yang jauh dari perkiraanku semula. Aku lihat ibuku menangis dengan sangat kencang sekali, baru kali ini aku melihat ibuku menangis dengan suara keras. Biasanya ibuku akan menahan suara tangisnya walau sepedih apapun hatinya. Ibuku memang perempuan yang tabah walau ribuan kali terpaan hidup menderanya. Ibuku akan menyimpan suara tangisnya agar tak terdengar sampai ke telingaku anak-anaknya.
Semakin keras suara tangis ibuku, tak kuat rasanya aku menyaksikan raungan tangisnya. Ibu yang meraung-raung menangis sangat amat berbeda dengan apa yang aku saksikan di teras rumahku. Di sana nampak berkumpul para aparat desa dan juga sanak famili yang amat sangat antusias menyambut kedatanganku. Aku lihat orang-orang yang ada di rumahku mulai berbisik-bisik, semakin lama semakin jelas bisik-bisik meraka, suaranya keras melebihi lengkingan tangis ibuku .
“Kaki dan tangannya sudah diketemukan belum, Dik?“ terdengar pak Dukuh menanyakan pada sopir mobil yang mengantarku pulang.
“ Sudah lengkap kok Pak, sumonggo saya serahkan selanjutnya pada Bapak“ Sahut orang yang ditanyai pak Dukuh.
“ Kasihan ya Si Prato, kok jadinya begini.” Terdengar nyinyir dari antara kerumunan orang.
“ Ya…. Sudah nasibnya kali. Kata orang yang mengantarnya tadi, Prato lagi naik Metro Mini, mau ngelamar kerja. E…nggak ada angin ngak ada hujan, pas Metro Mini melintasi Jalan Kuningan tiba-tiba ada ledakkan bom, Prato terlempar 10 meter dari Metro Mini,… ngeri.“ Kembali suara-suara dari kerumunan orang yang ada di rumahku.
Terasa hangat pelukan ibuku menyentuh tubuhku. Kukuh seolah ibuku tak mau melepaskannya. Jujur aku berkata, Ibu inilah anakmu Ibu, yang telah berjuang di Jakarta, mencoba bertarung dengan kejamnya zaman. Aku pulang dengan diantarkan banyak orang. Aku pulang ditemani oleh para wartawan, banggakah engkau Ibu? Menangis bahagiakah kau Ibu?
Tak terdengar jawaban dari Ibu. Hanya raungan tangisnya terdengar makin melemah. Suara doa-doa dari orang-orang yang ada di rumahku membelah gerimis sore. Gerimis terus berjatuhan menyiram kampung halamanku nan damai. Hari ini kampungku telah kutinggalkan untuk selamanya. Hari ini kampungku telah ditinggalkan orang biasa yang pergi dengan cara luar biasa.
Selamat tinggal semuanya. aAku telah menang dan aku telah berhasil. Lihat hari ini aku merentangkan benangku sampai ke bintang. Tidak ada jawaban akan teriakku. Yang ada tinggallah kesunyian yang abadi.
Tanjung Priok, 13 Juni 2007
Catatan: Cerita ini merupakan kisah imajiner. Apabila ada kesamaan nama atau tempat itu hanya kebetulan saja, tanpa ada unsur kesengajaan dari penulis. Matur nuwun.
Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.