Rencana Mudik Ambyarrrr, Tapi Aku Nggak Kecewa

Mudik ke kampung halaman naik bis. Foto: RIswanto.

KANDAS [Corona oh Corona] Rencana sekeluarga ambyarrr, tapi aku nggak kecewa. Demi keselamatan semuanya, aku sekeluarga tetap di rumah saja. Menikmati Idul Fitri di tanah rantau

Tidak terasa sebentar lagi masuk bulan puasa, dan barang tentu pada akhir bulan puasa akan ada hari Raya Idul Fitri. Lagi dan lagi hal ini mengingatkanku akan hari Raya Idul Fitri di “kampoeng halaman”. Tumpah darahku, mana lagi kalau bukan Gunungkidul Handayani.

Bacaan Lainnya

Ketika aku masih umur-umur kira-kira lima tahun atau enam tahun, paling aku suka dengan datangnya dina riyaya bakda ki saat silahturahmi ke tempat Pakdhe untuk bermaaf-maafan. Setiap kali Bakda, almarhum bapak ngajak aku, kakak serta adik bersilahturahmi ke tempat Pakdhe atau kakak Bapak.

Rumahnya Pakdhe di Nitikan Semanu. Nah setiap kali kami kesana pasti gumbira hatiku, karena jarang-jarang aku dan kakak serta adik naik bis. Wong sudah pasti kami berangkat ke rumah Pakdhe dengan naik Bis. Pada waktu itu Bis yang tersedia adalah bis Baker dengan trayek Wonosari-Semanu PP. sampai sekarang masih hafal aku naik dari Stanplat Anyar atau Stanplat Besole kira-kira jam wolu mangkatte, dan turunnya  atau muduk’e di Kloso Kucing Nitikan, dari sana kami masih berjalan kaki untuk tiba di rumah Pakdhe aku..

Biasanya bawa oleh-oleh berupa gula batu dan teh serta rokok. Tidak lupa bawa mercon cap Kuda Terbang atau cap Leo. Dua mercon itu yang amat sangat terkenal pada waktu itu. Aku biasanya paling susah yen dikonkon madyiang. Ada aja alasan yang aku buat untuk menolak untuk makan bersama.

Nah tradisi masakan pada saat riyaya Bakda ki biasanya setiap rumah tangga akan masak seperti jangan lombok, peyek dele, bihun, sok-sok ya nggoreng ayam kampung, krupuk lan gereh petek. Jadi sajian setiap rumah tangga akan sama. Nah kebayang kan kalau bermaaf-maafan di setiap rumah disuruh makan dengan menu yang hamper-hampir sama itu. Ider weteng pokokke, bungah lan wareg nak dina riyaya ki.

Ada lagi tradisi jaman cilikanku biyen. Bocah-bocah sing sak umuran ro aku, biasane dho ngider untuk bermaaf-maafan. Karena bocah cilik, makanya wajib ngadhep atau sowan ke orang-orang tua untuk minta maaf. Biasane rombongan ngelompok, kira-kira papat atau lima sak kelompok, njuk berkunjung kerumah-rumah sambil bawa tas plastik gede. Pertama-tama aku juga heran, tas plastik gede kuwi dipakai buat apa.

Oh….ternyata tas plastik itu dipakai buat ngadhahi makanan seperti jadah goreng, gedang goreng, lemet, peye, renginang lan liya-liyane. Jaman biyen, setelah maaf-maafan fitrahnya ya berupa makanan tadi yang aku sebutkan. Jarang sing fitrah ngganggo duwit ki. Namun demikian bocah-bocah ki ketok bahagiya banget oleh panganan seka wong tuwa pas dina riyaya.

Masa-masa indah saat merayakan hari raya Lebaran di kampong halaman, kini sekedar untuk mengulang untuk merayakan hari raya Lebaran AAMMMBBBYYYAAARRR sudah. Karena pandemi virus corona yang begitu menakutkan. Data-data yang disampaikan oleh yang berwenang membuat aku harus ngerem untuk pulang kampung merayakan hari raya Lebaran.

Bukan mau sok-sokan dan juga bukan mau ben dialem. Tapi melihat cara serta masifnya penyebaran virus ini, aku rasa langkah untuk DI RUMAH SAJA “#dirumahsaja” adalah hal TERBAIK. Karena aku tidak tahu siapa yang positif, siapa yang diawasin, dan siapa yang berpotensi untuk menularkan. Semua tidak tahu, karena virus yang begitu kecil tak kelihatan dengan mata telanjang membuat aku tetap harus berhati-hati menanggapinya.

Sekian dulu…. kisahnya nanti aku lanjutkan

Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.

Facebook Comments Box

Pos terkait