Suket

Suket di Tegalan; Karangmojo. Dok: WG
Suket di Tegalan; Karangmojo. Dok: WG

“Dukut Mbah Dukut mikul suket, ket.
Ketan ketane enak banget, nget.
Ngentut silit pitik diendut-endut
.”

(Varian lelagon-rakyat “Dhungkul Bo Bo Nang” yang di Gunungkidul tahun 90-an masih tertemui; lelagon rakyat yang perulangan-bunyinya menggunakan teknik purwakanthi swara, sastra, juga lumaksita, seperti berbagai jenis lelagon-rakyat Jawa atau sastra Jawa lain)

Bacaan Lainnya

Ia Dukut. Begini ‘tenger’ namanya. Kerjanya ‘ngrumput’; mencari rumput. ‘Nggadhuh’ wedhus milik tetangga yang ‘piyayi’ memang berat. Mendapat jatah si anak, meski ‘paron’, dan jika pun tak ada aral, mati kala lahir misalnya, itu yang diharapkan. Tak punya tegal pekarangan ia. Menjelajahi gunung-gunung berbatu karang tepi pantai kebiasaannya. Dukut-dukut pinggir jalan raya pun diaritnya. Sekeranjang, dua keranjang, ia pulang. Rumput ia pikul, kadang ia ‘sunggi’, ke gubuknya. Ia, Dukut, seperti arti namanya, adalah rumput.

Suket.

Dukut, atau rumput, atau suket, katang-katang, teteki, adalah tumbuhan kelas ketiga, bahkan kelas ke sekian di sistem kekerabatan tanaman yang berperan mendukung keberlangsungan hidup kulawangsa manusia (kelas ‘ngisoran’). Di kebudayaan agraris, suket ‘ngrowangi’, ‘mbaturi’, keberadaan tanaman padi, termasuk juga tanaman ‘pari-pulut’ atau ‘ketan’ (bahan panganan lemper, jadah, dll. di waktu hajatan: bermakna ‘ngraketake paseduluran’ ‘mendekatkan persaudaraan’). Suket menemaninya. Suket saudaranya. Namun yang paling sering disebut oleh para among padi: suket memusuhinya. Juga dengan palawija. Ia atau mereka termasuk kulawangsa padi, palawija seperti jagung, hidup di lingkungan tanaman padi yang tumbuh, yang dijaga kembangnya, namun ia atau mereka bukan padi. Bukan palawija. Yang begitu ‘diantu-antu’ ‘mentes’nya. Terutama di musim tanam di ‘mangsa rendeng’ seperti ini. Suket tidak (atau jarang) dipupuk. Suket bukan tanaman pangan kulawangsa manusia. Mereka tumbuh mandiri (kecuali yang didomestifikasi). Suket, kala mereka tumbuh di sela-sela tanaman (tumbuhan-pangan yang ditanam), dianggap pengganggu.

Suket, dalam hubungannya dengan padi-palawija, dipinggirkan. Dinihilkan.

Mereka ‘sukerta’; gulma pengganggu.

Suket ‘didhudhuh’, ‘diwatun’ (varian katanya ‘dipantun’: dijauhkan/dimatikan karena berdekatan dengan tanaman padi), atau ‘didhangir’. Leluhur Jawa lantas membuat tesis, atau dasar epistemologi, sehubungan dengan padi yang ‘telah’ terjauhkan dari tumbuhan pengganggu seperti suket ini, dengan ‘jarwa-dhosok’ (akronim-etimologik) ‘dhangir’, ‘padhanging-pikir’. Padi dan palawija dicerahkan. Dipadangkan. Dilapangkan. Para suket pengganggu di sekitar padi palawija disingkirkan. Dimatikan. Dengan mencabut ‘oyod’nya. Akarnya (radiks-nya). Terutama suket keteki, yang susah mati, di tegalan-tegalan di Gunungkidul ‘didhongkeli’ dengan gathul (bahkan ganco) jauh hingga ke kedalaman tanah. Biar tak sisa. Sisa sedikit saja akarnya, mereka akan tumbuh subur, ‘mrajak’ (‘tunggak jarak mrajak’). Karena akar, menurut nalar kuno, adalah yang menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan. Mirip ketela (pohon, rambat). Identik dengan pohon. Di tubuh biji lah tumbuh akar, yang kelak mengembang. Jalan-kembang dilebarkan. Dimudahkanlah tanaman-pangan memeroleh nutrisi dari tetanah; unsur kimiawi-alamiah semacam N-P-K. Namun suket, ia atau mereka hanyalah akar, atau ‘oyod’. Suket, maka dari itu, tak begitu penting menyokong kehidupan manusia, yang sebenarnya berakar pada tanah pula. Suket harus tiada (namun suket tetap ada); untuk sementara (mereka pandai berdiaspora, kan?).

Sementara yang disisa di lahan garapan: biji padi dan palawija (‘retna-dumilah’: intan/inten yang berkilau; gambaran asal Dewi Sri).

Suket kemudian dipisahkan darinya. Dilokalisasi. Didomestifikasi. Ditranslokasikan. Di pinggiran. Di galengan. Atau di ‘kedhokan’ (bedeng) tersendiri. Bukan di pusat-tegalan (‘axis’), atau tegalan-pusat (menjadi kelumrahan bagi para among tani Gunungkidul yang memiliki tegalan, jika terdapat ‘kedhok’ tegalannya yang kurang produktif menghasilkan tanaman padi atau palawija, maka ditanami pohon-menahun bernilai-ekonomi tinggi dan atau ‘suket-suketan’). Di tanam kala musim hujan. Disebar-luaskan. Untuk apa? Bukankah suket adalah ‘tetuwuhan’, bukan ‘tetaneman’/’tetanduran’? Yang ditumbuhkan alam, bukan ditanam manusia? Dalam hubungannya dengan kelangsungan sato-kewan ‘ingon-ingon’, suket adakah pusat. Suket itu sumber. Sumber pangan. Maka rumput ditanam. Sehingga mereka ‘tetanduran’ (tanaman), bukan lagi melulu ‘tetuwuhan’ (tetumbuhan). Suket adalah tanaman-pangan. Tentu bagi sato-kewan; termasuk bagi wedhus ‘ingon-ingon’ Mbah Dukut di atas itu. Kalanjana, blembem, gajah, dst., dengan sengaja ditanam. Kadang dipupuk. Pupuk yang berasal dari dirinya kala telah melampaui daur pembusukan oleh sato-kewan. Suket yang demikian, akan tumbuh subur. Suket, disandingkan dengan dedaunan hijau tetumbuhan atau tetanaman lain, merupakan makanan pokok sato-kewan ingon-ingon (‘herbivor’). Jika jumlahnya banyak, bersisa, sesuketan dikeringkan. Diawetkan. Dicadangkan sebagai bahan makanan kala musim kering. Dijadikan komboran (selaras dengan daun, batang, ataupun akar tanaman-pangan pokok di budaya kulawangsa manusia tegalan di Gunungkidul yang dikeringkan; seperti damen, jengki, dst., juga untuk cadangan pangan [komboran] sato-kewan ingon-ingon). Kelak, sampai dengan musim penghujan berikutnya, mereka akan bersemi.

Atas berkah Langit yang menumpahkan ‘kama’nya, ‘mani’nya, ke Bumi: Dewi-Sri, suket tumbuh kembali.

Nalar-mitis narasi-kuno Sri-Sadana, berhubungan dengan presentasi tanaman padi-palawija dan muasal berbagai tanaman lain, manuk-manukan (hewan-hewan ekologis lahan pertanian), dan sesuketan, mengabarkan tentang awal-mula kehadiran suket di tetanah (bumi). Suket adalah rerambutan tanah-bumi. Suket adalah tetamanan, tetemanan. Yang ‘ngrowangi’ atau ‘mbaturi’ padi, selain sesuketan ini, ya Saddana. Di mitologi pramodern Jawa, Saddana dilambangkan Manuk Sriti (di wilayah Nglipar digunakan sebagai nama diri suatu dusun, yaitu Dusun Sriten; para manuk Sriti, yang ‘among’ tanah pertanian sekitar Embung Sriten di Batur Agung, tinggal di sebuah goa: Goa Sriti) yang menemani (jelmaan) tanaman padi: saudaranya. Pasangannya. Selain Saddana, Sri juga memiliki saudara (pasangan) lain di antaranya Loh (Kali/Nadhi/Sungai) dan Oya (nadhi salah satu ‘loh’ yang mengaliri Bumi): nama sungai yang mengular hingga Jalanadhi Kidul (Samudera Selatan) di sisi selatan Batur Agung. Berkumpulnya para saudara ini, yaitu Sri, Saddana, Loh/Oya, mendukung ‘kesuburan’ tanah Gunungkidul.

Tentu tanpa menyingkirkan peran suket-suketan yang mendukung kehidupan kulawangsanya, terutama sebagai makanan ternak dan tetamanan.

Sri-Sadana dan suket-suketan, padi (palawija), manuk, dan rerumputan, merupakan kutub-kutub dalam pola-geometri yang tak terpisahkan dari hakikat alam. Pola berfikir pasangan-dua seperti: padi rumput atau palawija rumput, makanan-pokok makanan-tambahan, atau makanan-pokok-manusia makanan-pokok-hewan, saudara musuh, obat racun, pusat pinggir, utama tidak-penting, atau pola berfikir pasangan-tiga (‘triangle’, trimurti; ‘endhog-jagad’) seperti: manusia hewan tanaman, atau padi palawija suket, atau suket hewan manusia, serta cara berfikir berpola sejenis ini, tak bisa lepas dengan nalar-mitis orang-orang kuno dalam merelasikan keberadaan manusia bersama-sama dengan kemenjadian dan fungsi alam lingkungannya.

Keseimbangan dan siklus alam.

Selain berfungsi sebagai makanan ternak (dalam pola hubungan suket-hewan-manusia), suket juga berfungsi sebagai ‘usada’ bagi manusia. Suket adalah obat (‘banyu-tangi’). Suket direbus, dipanaskan, diminum sarinya. Suket dikeringkan. Suket diekstrakkan (nalar modern; medisin). Suket menawarkan (menetralkan) apa yang telah diperlakukan padi terhadap manusia. Suket mengabdi untuk kesehatan kulawangsa manusia. Para kulawangsa manusia mampu merayakan presentasinya, dengan ritus-ritus, dengan upacara-upacara, yang tetap menyertakan padi dan sesuketan sebagai para-kodenya.

Kulawangsa manusia berdarmawisata, berpariwisata ke nalar leluhurnya.

Suatu saat ketika perayaan Rasulan (baca: ritus mengembalikan hasil bumi [tanduran] kepada Tuhan; sering dimaksudkan oleh kulawangsa Gunungkidul sebagai wujud rasa-syukur-primordial) di dusun/desa nanggap seni pertunjukan yang lahir dari rahim kulawangsa agraris: kethoprak. Lakonnya Damar Wulan. Ia seorang ‘pekathik’; pencari rumput. Ia ‘ngenger’ (mengabdi-belajar) kepada seorang ksatria, seorang patih, Lo(h)gender di Majapajit. Putrinya nan jelita terpikat hati pada Damarwulan. Begitu pula sebaliknya. Setelah Damarwulan mengalahkan Menakjingga dari Blambangan, atas perintah Ratu Majapahit Si Kencana Wungu, menggunakan Gada Wesi Kuning milik Si Menakjingga sendiri, kedua istri Menakjingga yaitu Waeta dan Puyengan pun diperistri olehnya. Damarwulan, di akhir narasi, bersatu dengan Ratu Majapahit, Kencana Wungu. Narasi-kuno dalam cerita kethoprak ini menggambarkan perkawinan kosmik antara Langit (tokoh Damarwulan) dengan Bumi (Ratu Majapahit Kencana Wungu), yaitu paralambang kelahiran ‘biji’ dunia hasil persatuan antara Sang Raja dengan Sang Ratu selalu diikuti ‘perkawinan’ semu antara Langit dengan wanita/perempuan lain. Sang tokoh Langit yang ‘pekathik’, pencari suket, ia melakukan persatuan-semu dengan ‘para-suket’, belum dengan ‘Dewi Kesuburan/Padi’, yang tak lain Anjasmara, Waeta, dan Puyengan. Setelah ‘sang pekathik’ naik kelas, menjadi seorang ksatria, lantas mengalahkan seorang penguasa (Menakjingga), tokoh Langit (Damarwulan) dinobatkan menjadi raja, sekaligus bersatu dengan Sang Ratu; Kencana Wungu, yaitu perlambangan Dewi Bumi. Untuk menjadi raja, Damarwulan harus menjadi ‘pekathik’. Untuk mewujudkan perkawinan semesta, ia harus merumput. Mencari suket. Mengumpulkannya.

Dengan ‘gada wesi kuning’: lingga (baca: senjata) para ksatria!

Lantas ‘menyingkirkan’nya. Menihilkannya. Men-‘dhudhuh’nya. Men’dhangir’nya. Demi sebuah pencerahan. Demi masa keemasan. Demi mewijilkan biji padi, dari Ibu Padi, Sri, yaitu wos, atau beras, ‘wijiling amaratapa’.

Dengan itu, suket (akan bagaimanapun) berperan besar dalam ritus-kesuburan. Meski suket diberangus. Dipotong. Dilepaskan. Suket adalah penopengan yang dibuang. Suket merupakan simbolisadi para abdi (‘grassroot’), bawahan, Sabdapalon dan Nayagenggong, atau Bancak-Dhoyok di reyog Gunungkidulan, yang menduduki kelas ‘kawula’; bukan layaknya ‘ksatria’ seperti Damarwulan.

Namun para suket adalah jalan. Topeng sebagai suket, akhirnya, ditiadakan.

Di musim kemarau kala cadangan suket meniada, para keluarga di Gunungkidul mencari ke dan mendatangkan suket-suketan dari wilayah lain. Para keluarga golek ‘damen’, ‘tebon’ (tebuan; pohon jagung), ke daerah ‘subur’ seperti Piyungan (Bantul), Sleman, maupun Klaten. Begitu bergantungnya para kulawangsa, para kawula (rakyat) Gunungkidul pada suket, untuk mencukupi kebutuhan pangan hewan-hewan, menemani kehidupannya di desa menanam padi, menjaga Ibu Bumi melahirkan biji suci. Menghidupkan sesuketan di tepi diri.

Karena para kulawangsa sadar bahwa mereka, para suket itu, di awal waktu disabdakan Gusti sebagai bagian kulawangsa padi, setelah tetanah memerah. Mereka tak lain adalah ‘kalanjana’; laso pengikat manusia (tanah), yang menjerat, juga yang selalu mengulurkan-tubuhnya menyelamatkan kembang-kempes kehidupan kulawangsa manusia. Setia menemani tanaman padi kapan ‘dipulungi’ Tuhan, kapan ‘digantungi’ harapan. Oleh para kawula suket; para kulawangsa tani tegalan.

Ia yang mereka, kulawangsa suket itu, kala.

(WG)

Facebook Comments Box

Pos terkait