Terisolir Tidak Berarti Menyerah: Perjalanan ke Pegunungan Tengah Papua

Anak-anak Kampung Abouyaga Distrik Mapia Kabupaten Dogiyai Papua, di depan rumah mereka. Foto: Tugi/SG.

Hidup di Gunungkidul pada jaman now sesungguhnya sudah enak lan kepenak, sangat kontras sebelum era 90-an. Warga Gunungkidul benar-benar dimanjakan keberadaan infrastruktur yang mantap. Jadi, kalau sekarang masih ada yang isinya terus-terusan mengeluh rasa-rasanya memang kemampleng.

Bukankah jalan aspal atau cor-coran beton rata-rata sudah mulus-lus menghubungkan sampai pelosok perdesaan. Listrik, jaringan komunikasi, sinyal telpon dan data boleh dikatakan sudah tembus di mana-mana. Pipa air bersih PDAM sudah merangsek ke sebagian besar permukiman, kecuali permukiman yang secara teknis tidak ekonomis dilayani dengan sistem perpipaan secara gravitasi.

Bacaan Lainnya

Rasanya sudah tidak ada dusun atau desa yang bisa dicap atau menganggap diri terisolasi, kecuali karena perilaku malas, manja, apa-apa serba njaluk diladeni. Masih belum percaya kemudahan hidup di Gunungkidul? Jika ingin situasi yang nyata, bandingkan dengan kondisi wilayah di kawasan timur Indonesia, lebih khusus lagi di wilayah Papua.

Tulisan berikut adalah sebagian kecil dari kisah perjalananku ke pedalaman Papua, wilayah pegunungan tengah. Ini kisah perjalanan ke Kampung Abouyaga, Distrik Mapia, Kabupaten Nabire pada 11 tahun yang lalu atau tahun 2007 lalu. Wilayah tersebut sekarang sudah menjadi Kabupaten Dogiyai, pemekaran dari Kabupaten Nabire. Oya, yang disebut Kampung adalah Desa, kemudian Distrik adalah Kecamatan.

Abouyaga merupakan kawasan permukiman yang merupakan bagian dari subkultur masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Wilayah yang berlokasi jarak lurus kira-kira 140 km di sebelah selatan ibukota Nabire sejatinya memang masih terisolir. Ya, jaraknya cuma 140 km, tetapi sepanjang perjalanan dengan helikopter warnanya hijau tutupan hutan, belum ada jaringan jalan yang menembus wilayah tersebut.

Karena belum ada jalan raya yang tembus ke wilayah ini, maka masyarakat yang ada keperluan pergi ke kota Nabire atau daerah lain harus harus berjalan kaki turun gunung. Iya berjalan kaki melintas jalan setapak di tengah hutan belantara selama 3-4 hari untuk bisa sampai ke titik pertemuan poros jalan yang menghubungkan Nabire dengan Enarotali.

Dari sinilah baru ada “tanda-tanda kehidupan”. Maksudnya bisa menumpang kendaraan sejenis Mitsubishi L-200 Strada atau Ford Ranger menuju ke kota Nabire dengan tarif yang lumayan menguras kantong. Ongkosnya Rp 200 ribu per orang untuk jarak tempuh sekitar 80 km. Menurut data statistik tahun 2007, penduduk di Distrik Mapia sekitar 11-ribuan jiwa. Kawasan permukiman pada umumnya justru berada di area datar pada puncak-puncak pegunungan.
Datang langsung disambut masyarakat Kampung Abouyaga. Foto: Tugi/SG.
Facebook Comments Box

Pos terkait