SEPUTARGK.ID – Sweeke kuah dan kerupuk kulit kodok khas Purwodadi telah menjinakkan perut kami. Maklum, sudah dua jam menahan perut kosong. Tadi, jam 12.00 wib Carry hijau membawa kami dari Blora ke warung ini. Badan yang pegal karena berhimpitan duduk juga terpulihkan. Setelah glageken, kami meneruskan perjalanan menuju Jogja, lewat Salatiga. Rupanya sweeke membawa lompatan-lompatan cerita canda dalam perjalanan kami selanjutnya menuju Salatiga. Seisi mobil dibuai gelak tawa.
Namun suasana canda itu tak berlangsung lama. Mata kami sudah mulai melengket. Beberapa teman mulai tak sadar membuka mulut lebar-lebar, menguap layaknya orang Jawa yang ngantuk setelah perut kenyang. Aku duduk di belakang, berhadap-hadapan dengan seorang kolega.
Ada dua pilihan jalan ke arah Salatiga, mau lewat Gemolong atau jalan alternatif Semarang. Pak Sunar memutar setir ke kanan, memilih jalan alternatif. Jalannya semula mulus, tetapi dua kilometer selanjutnya benar-benar menguji kesabaran kami: setengah jalan sedang dibongkar dan dicor. Mirip dengan antrian mengisi bensin di pom, kami terpaksa mengantri dengan durasi 15 menitan setiap sekiloan jalan. Ya, apa boleh buat, perjalanannya menjadi tersendat…
Memasuki daerah Kedung Jati, kami merasakan seperti domba lolos dari macan, tetapi harus menghadapi singa. Lolos antrian karena jalan sedang dicor, kami harus menghadapi tantangan baru yaitu jalan yang mleyot-mleyot, bergelombang. Kanan-kiri jalan didominasi pohon-pohon jati, juga beberapa jurang. Sangat jarang berpapasan kendaraan. Tujuh orang dalam mobil mulai tertidur, mungkin terlalu loyo perjalanan panjang sejak berangkat dari Jogja sejak kemarin.
Guncangan-guncangan mobil tidak dirasakan. Sementara alunan lagu-lagu Panbers masih mengalun dalam mobil, tiba-tiba, “Aaaaaaaaa.aa.a..!!!!” jeritan kami memecah suasana. Seperti mimpi, mobil oleng lalu dalam hitungan detik meluncur ke tegalan! Keempat roda Carry menghadap ke atas. Mesinnya masih menderu. Kami menjerit, karena mobil Carry yang kami naiki terbalik!
Reflek kuhantam kaca samping dengan kepalan tangan kanan. Pecah. Sempat terbayang di kepala, ada rembetan api yang segera menyala. Spontan kuseret ke luar teman yang tadi duduk di sebelahku. Tangan pak Sunar menggapai kunci mematikan mesin Carry.
Untunglah semua segera bisa keluar dari mobil dan mengecek kondisi badan. Lengan tangan kanan Bu Vica tidak bisa digerakkan, kemungkinan patah. Beberapa orang yang kebetulan lewat berhenti kemudian berlari mendekat. Ada yang segera mengeluarkan tas-tas dari dalam mobil, ada yang mengatur kendaraan yang lewat, ada juga yang menawarkan mobilnya untuk mengangkut yang sakit, ada juga yang hanya nerocos menanyakan penyebab kecelakaan dan menganalisis kenapa semua ini terjadi.
Carry yang terbalik bisa kembalikan semula. Kaca depan pecah berantakan. Atapnya ringsek. Warga masyarakat mengerubung dalam sekejap…
*
Hari ini, tiba-tiba Facebook mengingatkan kenangan itu. Tepatnya sembilan tahun lalu pada 17 Mei 2012 temanku mengunggah kisah di FB-nya.
Ceritanya waktu itu kami meninggalkan Wonosari dengan mobil kecil Carry warna hijaunya Mas Bagyo. Tepat pukul setengah sebelas malam, rombongan berkendara menuju Japah, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kami mendatangi acara pelantikan kolega sebagai pelayan umat. Berangkat malam supaya sampai subuh dan langsung bisa ikut acara.
Singkat cerita, jam lima pagi kami tiba di lima kilometer sebelum lokasi. Kami merasa ragu memilih jalan berhenti tepat di tengah jalan sawah atau bulak. Terlihat di depan ada seorang nenek yang membawa tas anyaman berada di pinggir jalan.
“Wis takon wae!” Suara beberapa teman yang menyarankanku untuk segera bertanya. Aku turun dari mobil kemudian mendekati nenek itu. Belum sempat mengeluarkan suara, nenek itu tiba-tiba beranjak mau naik ke mobil, mungkin dikira kami akan memberi tumpangan.
“Nuwun sewu Mbah, badhe nyuwun pirso, menapa menika leres arah dateng Japah, jalan Todanan?” tanyaku, bingung bercampur ngantuk. Simbah itu tidak membuka mulut namun melangkah mau menumpang. Kuulangi pertanyaan tadi dengan lebih keras, barangkali bisa mempermudah nenek itu menangkap maksudku. Ternyata itu membuatnya mengurungkan langkah, diam di tempat.
“Pasar Japah…”, ungkapnya lirih sambil menatapku dengan tatapan aneh.
“Yee, gimana tho simbah ini…”, batinku agak sewot karena menahan ngantuk berat. “Ditanya apa, jawabnya apa.” Tak terpikir kalau orang tua itu sudah berkurang pendengarannya dan mengira mendapat tumpangan menuju pasar.
Karena tidak nyambung, kuberi kode kepada Pak Sunar untuk meneruskan perjalanan, meninggalkan simbah itu. Lha sudah buru-buru, bercampur ngantuk, belum ada kejelasan, eh kok ada yang mau menumpang. Kami sempat bercanda dengan membandingkan itu seperti kisah suci tentang Imam Lewi yang meninggalkan seorang Samaria yang tergeletak tak berdaya. Dan, sayangnya kamilah imam-nya.
Akhirnya, tepat pukul 06.30 WIB rombongan sampai di tempat tujuan, sebuah gereja kecil di Japah. Dari jalan tampak kursi-kursi sudah tertata rapi, menampakkan kesiapan untuk acara pelantikan. Kami disalami oleh seorang bapak panitia lalu dibawa ke tempat transit rohaniawan.
Setelah acara, siang itu, kami langsung balik ke Jogja. Nah, cerita Carry terbalik berawal dari sana…
*
Kami mendengar dugaan penyebabnya: jalan bergelombang meleyot-meleyot, kelebihan beban penumpang, sopirnya ngantuk, atau faktor Malem Jemuwah Kliwon?
Kami merasakan begitu cepat banyak tangan yang mengangkat, begitu mengesankan. Pertolongan itu nyata, diberikan oleh saudara-saudara yang tidak kami kenal sebelumnya. Sebaliknya, rasa itu mengingatkan kembali pertemuan dengan nenek yang membutuhkan tumpangan di tengah bulak saat kubertanya arah. Kami tidak memberi tumpangan dengan alasan tidak kenal plus kabur apa yang dikatakan.
Bukankan itu hanya menutupi rasa enggan?
*
Malam ini kuceritakan pada Kidung sambil berbisik, “Nak, sediakanlah ruang bagi setiap orang yang benar-benar membutuhkan tumpangan.”