Asal-Mula Larangan Membunuh Tikus di Daerah Tepus

Gropyokan tikus di daerah Sukoharjo Jawa Tengah. Dok: sukoharjonews.

Tikus adalah salah satu hama paling menjengkelkan bagi petani. Ia memang tak mematikan tanaman namun merampok hasil pertanian.

Tikus juga hewan kotor dan menjijikkan. Bahkan merupakan hewan pembawa virus pes yang mematikan. Konon kekaisaran Romawi yang agung di masa lalu bisa porak poranda akibat seekor tikus yang menyelinap di kapal saat pasukan pulang dari Turki.

Bacaan Lainnya

Maka, tikus adalah musuh manusia, musuh petani. Segala cara akan dilakukan untuk memusnahkan hewan pengerat itu. Diburu beramai-ramai, dijebak, diracun, atau dengan ‘memelihara’ predator alami semacam burung hantu atau ular.

Akan tetapi, anomali terjadi di daerah Dloko, Tepus. Para among tani (khususnya generasi sepuh) tak akan sembarangan membunuh tikus walau jumlahnya banyak. Pamali membunuh tikus ini berdasar kepercayaan turun-menurun yang sudah mengakar cukup lama.

Kemarin malam, saya menemui Mas Agus Sholihin, salah seorang pemuda dari Desa Dloko, dan berbincang lama mengenai kepercayaan yang bekembang di daerah tersebut.

“Bagi petani sepuh, pamali membunuh tikus, ” jelasnya

Agus lantas melanjutkan dengan cerita yang menjadi alasan para petani di daerahnya tak membunuh tikus.

Menurut ceritanya, konon di masa lalu Desa Dloko diserang oleh seekor burung raksasa. Banyak warga yang terluka bahkan terbunuh. Merasa kewalahan, Pak Dukuh dan para sesepuh lantas meminta bantuan ratu tikus untuk mengalahkan si burung raksasa. Ratu tikus menyanggupi dengan satu syarat kelak manusia harus membiarkan tikus-tikus anak turunnya makan hasil pertanian warga.

“Aja diganggu umpama anak putuku mbesok mangan hasil tetanenmu. Aja semelang, ora nek arep entek. Kowe mesti kebagian,” ujar ratu tikus.

Pak Dukuh setuju, dan ratu tikus mengerahkan ribuan bala tentaranya. Tikus-tikus itu dengan giginya menggigit, mengoyak dan ‘ngrikiti swiwi‘ si burung raksasa. Kemenangan diraih dan warga meringkus si burung raksasa.

Tahun-tahun berikutnya, lintas generasi hingga sekarang perjanjian warga dengan tikus masih dipegang. Mereka tak membunuh tikus walau tanaman mereka diserbu. Mereka paling banter hanya akan mengusirnya dengan suara.

Agus melanjutkan bahwa sebanyak apapun tikus yang menyerang, namun masih ada sisa buat petani.

“Nyatanya dulu waktu ada serangan tikus besar-besaran petani masih ‘kumanan‘, masih dikasih sisa,”

Agus menilai kepercayaan itu mulai memudar saat ini, terlebih di kalangan generasi muda.

“Kalau anak muda saat ini sebagian besar sudah tak percaya dengan cerita kuno ini, ” terangnya.

Agus lantas menambahkan alasan mengapa kepercayaan itu mulai hilang. Menurutnya, ada 3 penyebab. Pertama, generasi muda sekarang lebih rasional karena ‘melek’ sekolah. Kedua, generasi muda sekarang jarang yang turun ke ladang untuk bertani. Mereka mililih kerja di bidang lain yang lebih ‘elit’ dan jelas hasilnya. Ketiga karena pengaruh ajaran agama Samawi.

Selain tikus, hewan lain yang terlarang untuk dibunuh adalah kucing dan burung kutut.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait