“Bali neng Gunungkidul”

Angkringan "Bali neng Gunungkidul"

Tahun ini Kang Jantra memulai membuka angkringan di Kota Wonosari, tepatnya di barat-jalan sisi timur-utara “Candi Putra”. Sebulan umurnya. Awalnya ia  mencari-cari tempat untuk membuka angkringan namun tidak mendapatkan. Atas kebaikan seorang pemusik, Erik Nurcahya (Cemung), yang memiliki warung “Mriki Niki”, ia merasa begitu tertolong. Rumahnya di sebelah timur Pendhapa Sewakapraja sudah beberapa lama tidak terpakai, sementara Kang Jantra bingung mencari tempat. Kang Jantra mengenalnya karena anak-sulungnya yang hanya ‘jebolan’ kelas 3 SMP terlebih dulu ngenger di rumah pemusik ini. Setelah menceritakan keadaannya, Kang Jantra dibolehkan membuka angkringan di tempatnya sekaligus menempati rumahnya. Mungkin, pikirnya, ini jalannya nggolek pangupajiwa.

Mengapa Kang Jantra memilih membuka angkringan lagi? Menurut pertimbangannya, mungkin sambung (berhubungan) dengan lakon hidupnya yang dulu pernah merantau dari sebuah dusun di Petir Rongkop ngulandara ke Bali dan mencerap kebudayaan Bali kemudian berpindah membuka angkringan di Tangerang untuk mencari upaboga. Setelah bali (pulang) dari Tangerang tahun 2010, hingga tahun 2019 bekerja serabutan, saking pusingnya memikirkan kesejahteraan hidup, maka ia berniat mencoba peruntungan dengan membuka angkringan lagi di Wonosari dengan menu sega-kucing berupa sega-jingga. Mengapa ia memilih sega-jingga? Salah satu strategi membuka usaha adalah ‘berbeda’ dengan yang lain. Apalagi istrinya yang orang Bali memiliki kabisan (kemampuan) membuat sega-jingga (sebenarnya ia pun telah dapat membuat sega-jingga). Beberapa pengangkring ada yang bertanya: iki sega apa? Kemudian ia menerangkan bahwa itu merupakan nasi kucing a la Bali yang ada di Gunungkidul.

Bacaan Lainnya

Kang Jantra menamai angkringan sega-jingganya dengan judul “Bali neng Gunungkidul”. Ia menuturkan demikian:  pengalaman merantau ke Bali dan beristri orang Bali, pengalaman bekerja di Bali cukup lama, serta memiliki kemampuan membuat Sega Jingga Bali, merupakan pertimbangan kuat. “Kelihatannya saya berjualan ini saja, dari pada saya mumet memikirkan akan berjualan apa”, begini ia menyatakan. “Bali neng Gunungkidul”, menurutnya, bisa dimaksudkan sebagai ‘keBalian’ yang ia presentasikan di Gunungkidul, yaitu khasanah ilmu-pengetahuan Bali berupa sega-jingga dan ayam-betutu ia-hadirkan fisiknya di Gunungkidul (Kang Jantra melayani Ingkung Ayam Betutu jika ada yang ingin memesan). KeBalian ia-campurkan dengan keGunungkidulan. Namun terserah khalayak akan mengartikan bagaimana. Jika pun ada yang mengartikan “Bali neng Gunungkidul” dengan makna “kembali ke Gunungkidul” juga tak mengapa (kata neng dalam morfologi bahasa Jawa bermakna ‘ada di’; sementara nyang bermakna “ke”; dalam percakapan sehari-hari, telah kaprah kata nyang disulih-gantikan dengan neng dalam maksud ”ke”). Sekali lagi, ia menyerahkan maknanya kepada khalayak. Yang jelas, angkringan “Bali neng Gunungkidul” ia harapkan dapat menghasilkan. Penghasilan sehari ini semoga bisa jadi modal untuk esok hari bisa berjualan lagi. Meskipun terkadang ia harus tombok  dulu. Intinya: hadirnya “Bali neng Gunungkidul” ia pasrahkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, buka angkringan ya buka saja.

Akan disebut bali ataupun Bali, toh pada hakekatnya Gunungkidul merupakan tempat rantau sekaligus tempat pulang bagi istri Kang Jantra, yang setelah menikah ia diajak ‘kembali’ olehnya ke Gunungkidul. Atau, setelah Kang Jantra merantau ke Tangerang untuk beberapa tahun kemudian ia memutuskan ‘pulang ke Gunungkidul’ dengan membuka angkringan lagi.

Hal itu tak membuatnya resah. Justru ada hal yang membingungkannya, ungkap Kang Jantra: mengapa ia tahu-tahu sampai di tempat ‘ini’ kemudian membuka angkringan. Bisa dikatakan ia hanya modal nekat. Siapa tahu angkringannya dapat jeneng kemudian jenang. Ia membuka angkringan baru sebulan. Mungkin keadaannya yang seperti itu mendorong munculnya sebutan jantra yang ia lekatkan pada dirinya. Jantra, menurutnya, bermakna: “keadaan saya seperti ini”, laku jantraning ngauripku sing kaya ngene iki. Harapannya ke depan, ia memeroleh kelancaran dalam hal apapun: apa sing kegayuh isa kasembadan kanggo nguripi keluwarga. Meskipun ia tak tahu ke depannya akan seperti apa. Ia selalu mencoba untuk sabar dan narima pemberian Tuhan. Pengalaman hidupnya memberikan keyakinan penuh bahwa ada jalan kehidupan.

Hal lain yang meresahkannya adalah kehidupan keragaman di sekitarnya. Meskipun ia hanya orang dusun dan tak mengenyam pendidikan-tinggi, namun ia merasa mewarisi ilmu-pengetahuan leluhurnya. Ia ingin mengabarkan khasanah-ilmu yang telah hidup di lingkungannya, di Petir sana. Ia berkisah: tahun lalu ia ikut berpartisipasi dalam Pameran Seni Gunungkidulan bertajuk “Portal”. Ia membuat instalasi “Dhongklak Kayu Jati”, ia kombinasikan dengan godhong-godhong dan woh-wohan. Instalasi ini ia maksudkan sebagai “buah pekerti”, buah perbuatan kehidupan. Ia merangkai resan cikal-bakal desa. Ia resah karena banyak orang sekarang tidak menghormati adanya resan lagi, sementara resan adalah cikal-bakal sing ngreksa dhusun/desa (kata {resan} merupakan dialek-harian yang berarti ‘penjaga’; kata-jadian dari {wreksa} yang berarti ‘pohon besar’ atau {reksa} yang berarti ‘jaga’). Semangat kembali menghormati resan (penjaga) di dusun atau desa ia semukan lewat karya instalasi, selaras dengan semangat seni-instalasi itu sendiri.

Facebook Comments Box

Pos terkait