“Bali neng Gunungkidul”

Angkringan "Bali neng Gunungkidul"

Keresahannya tentang sikap orang-orang sekarang terhadap lingkungan alamnya itu barangkali berhubungan erat dengan prinsip-hidup Kang Jantra. Dengan tutur kata lirih dan untaian kata sederhana namun penuh kekuatan, ia mengutarakan bahwa prinsip-hidupnya adalah tat twam asi. Ya benar, tat twam asi. Konsep ‘batin’ dan ‘ketuhanan’ sebagai landasan laku-hidup yang sering bermetamorfosa menjadi ‘etika-kemanusiaan’ atau ‘etika-alam’ itu oleh Kang Jantra dimaknakan sebagai: “aku adalah kamu, kamu adalah dia, dia adalah kita”. Aku, kamu, dan dia adalah sama: kita. Bukan kami, bukan mereka. Dalam hidup ini yang kita cari adalah saudara, bukan melulu materi. Oleh karena itu, siapa pun yang hadi di angkringan ini biar lah nyawiji, ajur-ajer, dan saling tepa-sarira. Angkringan adalah tempat lintas budaya, keragaman budaya, begitu sejarahnya dulu.

Jika menengok kembali sejarahnya waktu-dulu: Kang Jantra adalah diri-Gunungkidul yang ada di Bali. Sekarang: ia, ‘yang telah menjadi Bali’, yang telah bali (pulang), ada di Gunungkidul.

Bacaan Lainnya

Seakan-akan Kang Jantra mengingatkan saya bahwa angkringannya (sebagai sulih dirinya dan istrinya yang Bali), adalah sama dengan saya dan teman saya (pembeli nasi-kucing). Sementara saya dan teman saya (yang Jawa-Gunungkidul) adalah  segolongan-segolongan sega yang dipenaki menjadi kumpulan nasi yang tersebut sega-jingga (nasi Bali). Dan tempelangan atau penakan sega-jingga (nasi-Bali) berbungkus ron-gedhang itu, pada akhirnya, tak lain tak bukan, adalah kedirian sega-kucing dalam wadah besar yang disebut angkringan atau  Hidangan Istimewa Kampung (HIK). Yang-Bali dan Yang-Jawa-Gunungkidul melakukan reuni: bali ke persatuan-agung, di suatu ruang-waktu yang disebut ‘angkringan’.

Kita ibarat keluarga besar manusia berupa golongan-golongan sega, yang dipenakditempelang dengan bungkus ron-gedhang, yang memiliki khasanah-ilmu berupa tempelangan-sega sepaket dengan: sambel, srundeng, serta suwiran iwak/lawuh di dalamnya. Ia, saya, atau Sampeyan, atau kita, lewat presentasi sega-jingga atau sega-kucing di sebuah angkringan itu, saling merasa sebagai gambaran masing-masing pribadi, dan yang ada hanya saling nepakake sarira.

Kemudian di waktu tertentu ia, saya, atau Sampeyan, atau kita, amat rindu dan bangga kepadanya. Kita (ia) menggantungkan hidup padanya.

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait