
Jangka Jayabayan atau Ranggawarsitan yang bersuara “pasar ilang kumandhange”, sebuah ‘paralambang’ yang banyak diinterpretasikan: kondisi Jawa yang mulai tak membahagiakan dan memakmurkan barangkali rasanya sudah sampai di wilayah Gunungkidul. Lagi-lagi ini adalah sebuah paradoks, sesuatu yang ‘tinengeran’ sebagai ‘pasar’ semakin menghilang suksmanya. Ada beberapa pasar yang secara lahir mati suaranya, semakin menyepi, menepi, dan kosok-bali-nya ada ‘pasar’ yang semakin ‘ngrembaka’, semakin melebar, semakin ‘ngrempyeng’ (meramai).
Pasar, dari sudut pandang ruang dan waktu, adalah kecil sekaligus besar. Tepi sekaligus pusat. Sepi sekaligus ramai, juga menyusut sekaligus mengembang. Dulu pasar sepi, kemudian ramai. Lantas sekarang kembali sepi. Pasar Wage adalah tepi sebuah kecamatan, namun pusat perjumpaan orang-orang desa. Begitu terus saling mensubstitusikan dalam gerak abadi. Saling ‘sulih’ mengganti.
Makna pasar, interpretasi atas ‘jangka’ yang berbentuk ‘paralambang’ itu, dalam balutan kontekstualisasi jaman ini, berada pada ruang-waktu paradoks di atas: antara pasar sebagai ruang perjumpaan orang-orang dari kalangan produksi yang bertransaksi secara ‘sadar’ berpasangan kalangan lain dengan pasar sebagai wujud kekuasaan ‘lelembut’ (tak terlihat) tertentu dari kalangan non produksi yang secara tak-sadar justru ingin dijumpai perjumpaan transaksifnya oleh orang-orang pada suatu ruang-waktu mitis tertentu yang disepakati sebagai ‘pasar’.
Atau antara pasar sebagai ‘pancer’ (pusat) pertemuan orang-orang beraneka-rupa (‘mancawarna’) bersama dengan wilayah teritorialnya dalam lingkup yang lebih kecil dengan pasar sebagai ‘pancer’ (pusat) pertemuan orang-orang beraneka-rupa (‘mancawarna’) bersama dengan wilayah teritorialnya dalam lingkup yang lebih besar lagi.
Atau antara pasar sebagai ruang perjumpaan spiritual dengan suatu bentuk ‘nilai ketuhanan’ yang dirindukan, seperti halnya ketika ada seseorang yang amat bahagia sekedar jalan-jalan dengan tanpa membeli barang di pasar tradisional/modern di titik pusat atau titik puncak keramaian dengan pasar sebagai ruang perjumpaan sekular-konsumtif dengan suatu bentuk ‘komoditas’ yang menjerat orang-orang di banyak titik.
Pasar semakin ‘krempyeng’, para penguasa pasar demikian pula halnya. Harga barang-barang yang meninggi semakin berkumandang. Lebih lagi, mendekati waktu-waktu ketika ruang-waktu sakral manusia (‘Ari Adi’) tiba, pasar dan orang-orang tambah ‘krempyeng’ mengeluh.
Modernisme secara lembut (mitis) mengabarkan tambah ‘krempyeng’-nya para penguasa di rantai distribusi barang. Pasar adalah penguasaan rantai distribusi barang oleh segelintir pemodal, pedagang, lebih-lebih ‘kartel’, hingga harga barang-barang terasa tak bisa diatur oleh orang-orang kalangan produksi, konsumsi, alih-alih oleh pemerintah.
Di lingkup negara yang bukan kabupaten atau kecamatan atau bahkan desa, pasar dikuasai oleh ‘kartel-kartel’ lintas negara. ‘Kartel-kartel’ melakukan gerak memusat, meramai, dan melambat di suatu ruang, di mana dan waktu ketika produksi barang-barang dan rantai distribusi barang-barang memungkinkan ‘bisa’ diunggah ke permukaan dan dikuasai.
Tradisionalisme, meskipun dalam bentuk yang seakan berbeda, sebenarnya juga mengabarkan tentang tambah ‘krempyeng’-nya para ‘pedagang besar’ di beberapa pasar tradisional dan tempat serta waktu strategis tertentu yang disepakati sebagai tempat serta waktu ‘hari’ pasaran. Tambah kokohnya para ‘kartel tradisional’ sehubungan dengan suatu item barang dagangan seperti makanan, alat pertanian, barang kerajinan, dsb. mewarnai keramaian pasar tradisional. Bukankah pasar tradisional dan pasar modern saling turun-menurunkan diri?
Yang modern dan yang tradisional, yang memroduksi dan yang hendak mengonsumsi, yang menjual dan yang membeli, yang berkuasa atas rantai distribusi barang dan yang tidak punya kuasa, yang menempatkan pasar sebagai ruang-waktu spiritual dan pasar sebagai melulu kedok komoditi konsumerisme, keduanya melakukan perjumpaan nyata atau maya di sebuah ruang-waktu nyata atau maya pula yang disebut pasar.
Perjumpaan melahirkan unsur aneka warna. Memunculkan komunitas yang stereo dalam hal selera, hetero dalam hal suguhan serta pilihan. Juga pem-‘brand-image’-an tradisional. Pasar Wonontoro yang tape; Pasar Munggi yang sapi; Pasar Tengeran yang puli; dsb.
Perjumpaan-perjumpaan di pasar mengawinkan berbagai asal-wilayah, rumah, rumah-tangga, dusun, desa, kecamatan, negara, barang, dan jasa, mengumpul menjadi satu. Memusat. Meramai. Juga melambat.
Pada waktu mitis ‘krempyeng’ tertentu yang disebut hari pasaran.
(Wage)