Pasar: Tempat yang Ragawi dan Kedalaman Batin Bertransaksi

Simbah berusia lanjut setia menjadi "among dagang" puli-tempe di Pasar Pahing Tengeran Karangmojo. Swara/Aw.
Simbah berusia lanjut dalam kesetiaanya menjadi “among dagang” puli-tempe di Pasar Pahing Tengeran Karangmojo. Swara/Aw.

Ya, pasar! Baik segi bentuk-wujud atau jangkauan wilayahnya dan bukan bentuk-wujudnya memang bersifat meriah (ramai, krempyeng).

Pasar yang bersifat ‘krempyeng’ (baca: ramai), pada dasarnya merupakan ruang-waktu perjumpaan mitis orang-orang pasar dengan yang sakral, yang magis, yang maha indah (‘raja-peni’) sekaligus ruang-waktu banal penuh hasrat untuk memiliki dan menikmati (amukti) barang-barang (baca: ‘bandha’, ‘raja-brana’). Menggunakan konstruk ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pirantinya, selanjutnya mewujud dalam transaksi (‘dol-tinuku’).

Bacaan Lainnya

‘Bandha’ adalah kekayaan bendawiah atau ragawi. Benda-benda yang ‘dimiliki’ manusia dalam kehidupan rumah tangga atau dalam hubungannya dengan alam. ‘Bandha’ merupakan ‘pawitan’ (modal) manusia untuk melakukan tindakan ‘transaksi’ (bertambah, bertukar, atau berkurangnya ‘benda’ yang dimiliki). Yang termasuk kategori ‘bandha’ adalah benda mati dan benda hidup seperti tumbuhan dan hewan piaraan.

Tak semua benda pada ruang-waktu tertentu dimiliki, atau sebaliknya, banyak benda terlalu banyak dimiliki. Ada kehendak memiliki nilai (‘aji’) suatu benda, kehendak mengurangi dan menihilkan nilai suatu benda.

Transaksi tampak secara lembut mengajak manusia pasar untuk bergerak menuju ke suatu konsep kesadaran di luar pagar kesadarannya, atau ‘kesadaran-lain’ (‘other-consciousness’). Kesadaran-lain pasar, barangkali bukan wilayah kepemilikan benda dan wilayah kerja harian di aras permukaan, namun suatu wilayah prasadar atau kesadaran-terbawah (puncak kesadaran di piramida kesadaran) tentang motif bertemu dan bertransaksi, yaitu mengomunikasikan kerja dan hasil kerjanya sebagai manusia.

Para ‘among-kisma’, para petani, memindahkan hasil olah-taninya ke rumah, kemudian ke pasar. Atau dari membeli atau menukar benda di pasar kemudian memindahkannya ke rumah (tarub) atau kembali ke tanah/alam. Para ‘among-dagang’ (pedagang) memindahkan benda-benda dagangan dari produsen atau dari ‘among-dagang’ lain ke pasar, ke rumah. Begitu halnya para tukang batu, tukang kayu, dsb.

Ada gerak ‘trance’ (‘owah’; ‘lukar-busana’) dalam traksaksi, seperti halnya laku para ‘among-kisma’ dan para ‘among-dagang’ itu. Yaitu perpindahan benda-benda atau bentuk benda-benda, bisa juga yang dianggap ‘kebendaan’; misal sifat benda yang dibendakan.

‘Kesadaran-lain’ di balik ruang-waktu pasar itu ingin dituju. ‘Kesadaran-lain’ ini sangat mungkin merupakan konstruksi nalar purwa orang-orang tradisional tentang sifat sakral dan magisnya pasar dalam bentuk dan di sebalik-bentuk (metaforma-nya). Sebalik-bentuk yang menjerat siklus hari-harinya, yang diwariskan turun temurun dan ‘dilekatkan’ pada sistem penalarannya (pandangan hidup dunianya, yaitu sistem ilmu pengetahuan, termasuk juga penanggalan).

Sebalik-bentuk itu adalah juga konstruksi nalar orang-orang modern sebagai oposan (atau lebih tepatnya ‘pasangan’) manusia tradisi yang merasa sendiri-sepi (splitting) karena tak/belum terpenuhinya kepemilikan benda-benda, yang barangkali sifat sakral pasar bagi orang modern, selain sifat bawaan tradisional yang lekat dalam diri orang modern (‘innate’). Ini bisa dipahami merupakan hasil konstruksi seseorang atau sekelompok orang yang dipropagandakan lewat iklan atau promosi tentang suatu ‘nilai’ guna (‘aji’) benda-benda di dalamnya, demi suatu transaksi yang menguntungkan (material/nonmaterial).

Transaksi ‘online’ di media maya bermula dari ‘kesadaran-lain’ di luar kesadaran normal seseorang, sehingga suatu benda/barang hendak dimiliki atau dijual atau ditukarkan olehnya. Transaksi online tanpa perlu mengindera secara langsung lebih dulu. Batasan kehadiran-langsung suatu benda dinihilkan. Fotokopi kehadiran benda diyakini mewakili kehadiran langsung. Transaksi lantas terjadi. Transaksi di pasar maya hanya butuh wali presentasi (efek dari kemajuan teknologi informasi yang ‘seakan’ mampu menggantikan suatu kehadiran terasa benar-benar seperti apa adanya).

Sementara itu transaksi di pasar tradisional cenderung sebagai citra akan nilai kebendaan benda-benda keseharian ‘nyata’ yang dijual, dibeli, atau ditukarkan, sejajar dengan nilai guna benda. Contoh riil: dulu, uang berupa keping emas atau logam, bukan kertas: nilainya cenderung nyata.

Seperti halnya transaksi kebendaan yang membutuhkan kapital (modal, ‘bandha’), suasana ‘trance’ pada diri pasar pun membutuhkan modal. Sensor-sensor lembut orang yang berjalan-jalan (‘diving’, ‘driving’, ‘surfing’, ‘browsing’) di ruang-waktu pasar bisa mengindera secara auditori (suara) pasar.

Statistik. Kecenderungan. Suara-pasar adalah modal. Suara pasar ‘gemrenggeng’, ‘mbengengeng’; suara orang-orang bersahutan. Benda-benda bertumbukan. Suara kaotik orang-orang dan benda-benda di ruang-waktu pasar justru melahirkan keteraturan kosmik.

“Iki pira regane?” “Sewu telu sewu telu!” “Tempene nggo saiki pa sesuk, Dhe?” “Aku tak mrana, rep golek janganan sik!” “Srek…srek….srek…”, “Glodhak… gludhug…”. “Harga minyak anjlok”, suara-suara di ruang-waktu pasar tumpang-tindih tumpang-paruk. Begitu terus tiap kali ruang-waktu pasar mengada, memenuhi ruang kosmos.

Orang yang berada di tengah ruang-waktu pasar dapat mengindera pasar secara visual. Menggunakan kapitalnya. Pemanjaan mata oleh citraan-citraan visual pasar mengingatkan kita semua pada puncak kenikmatan (‘jouissance’) ala psikoanalisa yang tak habis-habis dieksplorasi oleh sudut pandang seni. Seni pasar. Seni dagang. Seni mencantolkan nilai pada benda. Seni monopoli. Seni persaingan ‘wutuh’. Seni waktu senggang. Seni berkumpul. Seni ‘nganyang’. Seni ‘wedangan’. Seni benda-benda: arit, tenggok, pikulan, salang, puli, mendhong, dan seterusnya. Seni benda-benda yang memuncak di pasar dan menyebar dari pasar.

Pasar adalah puncak perjumpaan orang-orang dan benda-benda yang tumpah ruah. Pertemuan ‘kama’ yang ramah. Pusat pertemuan benda-benda beraneka (‘mancawarna’). Pusat penggambaran keringat. Pusat harapan-harapan akan lakunya benda-benda, juga benda-benda yang sirkular. Pusat atom-atom berikatan. Pusat ‘rajabrana-rajabrana’ (kekayaan). Pusat pertemuan rumah-tangga, rumah-tangga, dusun-dusun, desa-desa, ras-ras, suku-suku, bangsa-bangsa.

Ada angan-angan purwa atau kesadaran-lain yang amat purwa tentang visualisasi pasar. Yang Anda sendiri yang bisa merasakannya. Fotografi, seni rupa, etnologi, ekonomi, statistik, matematika, sangat asik-masyuk mengeksplorasi ruang-waktu yang disebut pasar. Motif dasar pasar adalah untuk menambahkan, mengurangi, dan mengganti benda-benda arkais atau yang dianggap benda arkais. Atau untuk menghadirkan kembali ‘benda-benda’ yang sebelumnya tak benar-benar pernah dimiliki oleh kulawangsa manusia. Atau untuk ‘menghilangkan’ kebendaan yang tak ingin dimiliki.

Pasar adalah transaksi: benda-benda (‘bandha’, ‘brana’) dan keindahan magi (‘edi’, ‘peni’) yang selalu dirindukan untuk hadir kembali. Kembali kepada suatu ‘ruang’ mistik (kedalaman jiwa, kedalaman batin) pasar, kepada ‘waktu’ mitologis pasar.

[Wage]

Facebook Comments Box

Pos terkait