“Ana kayu apurwa sawiji, wit buwana epang keblat papat, agodhong mega rumembe, apradapa kekuwung, kembang lintang salaga langit, semi andaru kilat, woh surya lan tengsu, asirat bun lawan udan, apepucak akasa bungkah pratiwi, oyode bayu braja.”
[Dhandhanggula, Kidungan, Ranggasutrasna]
Wangsa Jawa disebut Wwang Jawa atau Wong Jawa. Wong Jawa memiliki filsafat ilmu pengetahuan yang diingat-rekat dengan seni “edi-peni” lan “adi-luhung” Wwayang Jawa. Wwang Jawa atau Wong Jawa ada di Siti Jawa sejak masa purwa (Kala Purwa). Wwayang Jawa, oleh karena itu, dinamai Wwayang Purwa. Wwayang Purwa adalah wayangnya Wangsa Purwa, yaitu Kulawangsa Jawa Purwa atau Wwang Jawa Purwa.
Wwayang merupakan turunan atau tiruan bentuk-bentuk, sifat-sifat, dan bahasa-bahasa manusia, alam, serta ‘ketuhanan’ Jawa. Wwayang Purwa ada dan hadir bersamaan dengan Kala Purwa. Kala Purwa merupakan waktu mitis purwa (waktu-kosong). Kala Purwa adalah penghitungan waktu purwa. Penokohan-penokohan dalam mitologi Wwayang Purwa sejak Kala Purwa diceritakan ‘tumimbal-lahir’, ‘reborn’, re-inkarnasi, mengalami kelahiran-kembali kelahiran-kembali. Surya, Wisnu, Watugunung, Rama, Widowati, Sinta, Landep. Juga Durga dan Kala.
Kala Purwa manitis, melahir-kembali, pada Kala Madya, kemudian pada diri Kala Wasana. Kala Purwa mengalami perulangan abadi. Kala Purwa, di kala sekarang ini, menjelma ‘saptawara’ (siklus hari tujuh) dan ‘pancawara’ (siklus hari lima).
‘Saptawara’ adalah siklus hari Jawa yang tujuh bilangannya: ke-1 Dite, ke-2 Soma, ke-3 Anggara, ke-4 Buddha, ke-5 Respati, ke-6 Sukra, ke-7 Saniskara, atau siklus hari Arab yang: 1) Ahad, 2) Senen, 3) Selasa, 4) Rebo, 5) Kemis, 6) Jum’at, dan 7) Sabtu. ‘Pancawara’ adalah siklus hari Jawa yang lima bilangannya, yaitu: ke-1 Legi (‘Pethakan’), ke-2 Paing (‘Abritan’), ke-3 Pon (‘Jenean’), ke-4 Wage (‘Cemengan’), dan ke-5 Kliwon (‘Mancawarna’).
Anak-anak di desa sering bermain peran (role-play) pasaran, bermain drama, di awal kala atau waktu ‘saptawara’; di waktu ‘pancawara’ tertentu. Bisa legi, paing, pon, wage, atau kliwon. Ada yang berperan menjadi ‘among-dagang’ (penjual barang). Ada yang menjadi pembeli. Ada yang sebagai petani sedang memanen tanamannya selanjutnya menjualnya ke pedagang. Benda-benda yang diperjualbelikan di permainan ‘pasaran’ adalah hasil olahan ‘dhong jati’, ‘mbang sepatu’, ‘dhong tela’, ‘lemah’ (tanah), dll. Ada yang diperas untuk memunculkan beraneka warna alamiahnya, ada yang dipotong-potong, diremas-remas, kemudian dicampur dengan air dan ublakan lemah menjadi aneka minuman yang dianggap dhawet, es degan, jenang, atau dikepal-kepal menjadi olahan makanan sejenis ‘brangkal’ dan sebagainya. Hasil panenan dan hasil olahan dijual kepada pembeli. Anak-anak desa memerankan pasaran pada ‘waktu-pasar’: waktu mereka berkumpul di salah satu rumah temannya. Para orang tua memahami laku mereka, tak mencibirnya, karena dulu, sebelum mereka, para orang tua demikian pula permainannya. Anak-anak memasuki suatu dimensi kompleks, dimensi terbayang, yang dibalut waktu-pasar profan-sakral.
Waktu pasar (kala) adalah waktu celoteh serta gembira-ria anak-anak yang bermain. Waktu riuh yang senggang. Waktu ketika mereka dengan khusyuk menikmati waktu ‘manjing ajur ajer’ dengan roh pasar. Dengan roh alam. Waktu pasar disebut ‘pasaran’, seperti kala anak-anak melakukan permainan pasaran. Seperti ketika para kulawarga melakukan gerak harian. Karena waktu pasar adalah waktu sehari-hari, siklus hari legi-kliwon yang dirayakan dan diriuhkan.
Waktu pasar, secara paradoks, merupakan permainan kosok-bali ‘waktu-sepi’ kala ‘pasar berkumandang’. Semiotika secara umum mengajarkan tentang bagaimana memaknai kode-kode atau tanda-tanda, namun tak memonopoli makna-makna. Termasuk juga tindak-tanduk semiotika terhadap tanda-tanda ‘permainan’ dan ‘waktu-pasar’.