“Mbak, kalau belum dapat ikan belum pulang ya!”
Agak siang itu, saya menantangnya. Matanya menerawang, ia tampak grogi. Maklum, baru sekali ini ia memegang pancing beneran. Dulu, ia beberapa kali mancing ikan-ikanan magnet pada permainan kolam karpet di pasar malam atau acara Agustusan di depan kecamatan. Kali ini, kami mancing di sungai Oya. Tentu saja, sungainya beneran, sungai besar alias kali bukan pula kalen.
“Waa, bisa sampai besok dong, Pak?!”
“Iya, ndak apa-apa!”
Saat musim kemarau, sungai itu berair jernih. Ada deretan batu putih bersih di tepinya. Rombongan ikan wader tampak bermain riang di pinggirnya, anakku girang bukan kepalang.
Kupasangkan umpan uler balap dan berharap ikan wader, bader, atau tawes bisa terangkat. Pancing seharga 7 ribu itu dipegangnya dan lemparannya bak pemancing jawara, “Mancing maniaaaa, mantaaapp!!”
Tak soal harga pancingnya. Tak soal ikan yg didapatkan. Ini taktik merebut perhatiannya. Kontestasi dengan teknologi komunikasi kuhadapi dengan memperbanyak rekreasi.
Sebagai bapak, kujalani ikhtiar ini dan berharap semakin rekat tenunan afeksi.
Kontestasi bahagia itu bisa, itu.