Gunungkidul Masihkah Daerah Tertinggal?

Jalan-jalan mulus antar kecamatan di wilayah Gunungkidul. Foto: Tugi.

Siapa bilang Gunungkidul itu masih ndeso banget, larang banyu, daerah miskin dan tertinggal? Boleh dikatakan, saat ini akan sulit mencari celah atau alasan agar wilayah Gunungkidul itu dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Ada beberapa wilayah langganan kekeringan saat kemarau, tapi bukan berarti tidak ada solusi sama sekali.

Diakui atau tidak, dari batas wilayah timur laut sampai batas barat daya Gunungkidul sudah dapat ditempuh dengan motor atau mobil dalam waktu kurang dari setengah hari. Demikian pula dari perbatasan Patuk-Piyungan sampai batas Rongkop-Praci bisa ditempuh dengan kendaraan kurang dari setengah hari. Sudah ada bis umum yang liwat saben hari pula. Hayooo… alasan apa lagi yang bisa dipertahankan untuk mempermalukan Gunungkidul sebagai wilayah tertinggal atau terisolir?

Bacaan Lainnya

Ini sangat kontras dengan wilayah pedalaman di Pegunungan Papua. Daerah di mana dari 2000-2005 saya sering mendapat tugas blusukan ke pedalaman propinsi ini. Saya melihat langsung, paham benar, bagaimana sulitnya mobilitas antar kampung atau desa meski itu dalam satu wilayah distrik atau kecamatan. Karena itu menjadi mimpi besar terbangunnya jalan antar kabupaten di propinsi tersebut. Di pedalaman sana, bila pengen berhubungan ya kudu berjalan kaki menyusuri jalan perintis atau jalan setapak di antara rerimbunan pepohonan area hutan.

Jangankan membayangkan begitu asyiknya nitih bis Djangkar Bumi, Asri, Birowo, atau Rawit Mulyo yang meliuk-liuk naik bukit melintas tikungan Patuk. Di sana kalau mau bepergian antar desa atau kecamatan tanpa mau jalan kaki ya kudu naik mobil double cabin atau naik pesawat udara kecil-kecil itu, seperti Cessna Porter Pilatus, Grand Caravan, dan jenis-jenis lainnya. Kalau beruntung ya bisa numpang helikopter yang kadang-kadang terbang ngedrop penumpang atau barang.

Karena itulah, kalau bepergian ke sana pasti didapati anak-anak kecil dan orang tua yang berkerumun dan mengelilingi orang yang baru datang. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari melihat anak-anak kecil yang jarang mandi, kadang masuk sekolah kadang bebas bermain ke mana sana. Masih ada banyak anak-anak dan orang-orang tua yang berlalu-lalang pake baju itu-itu saja, atau bahkan hanya berkoteka saja. Tidak atau jarang mandi menjadi kebiasaan sehari-hari, hidung meler menjadi hiasan sehari-hari. Itulah gambaran riil sebuah bagian wilayah negeri kita dan juga sedulur-sedulur kita yang memang masih terisolir, tertinggal, dan masih terus berproses dan berjuang keras mengupayakan kesejahteraannya.

Kembali ke Gunungkidul. Secara fisik sudah jelas bukan sebagai daerah tertinggal. Dalam sehari-hari, sudah tidak ada lagi anak-anak kecil yang dibiarkan saja umbelen apalagi kopoken, sebagaimana masih banyak saya jumpai pada jaman sekolah SD tahun 70-an.

Jaman kini, semua anak-anak muda di pelosok Gunungkidul sudah bisa bersekolah dengan baik. Ke sekolah sudah memakai baju seragam yang rapih, tidak ada yang nyeker, ke sekolah diantar naik motor atau mobil para orang tuanya. Sekolah dasar sudah ada di tiap desa, bahkan ada banyak sekolah yang ditutup atau digabung sekolah terdekat karena kekurangan murid.

Kualitas sarana dan prasarana pendidikan pun sudah sangat-sangat bagus sekali. Gurunya juga lebih berkualitas, karena diisi para sarjana dan lebih banyak magister bahkan ada yang bergelar doktor. Untuk ujian nasional pun sudah nggak jamannya pakai kertas, anak-anak sudah biasa ikut UNBK meski berasal dari puncak dan lembah perbukitan Gunungkidul.

Anak muda Gunungkidul saat ini pasti beda dengan anak muda Gunungkidul jaman dulu. Target kuliah anak-anak muda jelas nggak hanya diploma atau sarjana muda seperti generasi jaman 70-80an. Karena itu tidak menjadi asing anak muda Gunungkidul saat ini memiliki gelar sarjana, master, dan doktor. Pokoknya dah ngetoplah. Semakin sulit mencari alasan untuk mengkategorikan Gunungkidul itu menjadi daerah tertinggal.

Rasa-rasanya sudah gak ada yang perlu dikritisi lagi tentang ketertinggalan wilayah dan keterisolasian warga Gunungkidul terhadap dunia luar itu. Kemajuan wilayah Gunungkidul rasa-rasanya sudah masuk dalam kategori rata-rata nasional. Bahkan mungkin di atas rata-rata.

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul juga menjadikan kepariwisataan sebagai sektor unggulan. Pemkab meyakini, kemajuan sektor pariwisatalah yang akan membuat masyarakat Gunungkidul menggapai kondisi ideal adil makmur sejahtera tata tentrem kerta raharja. Tahun 2017 lalu telah dicanangkan “Gunungkidul Unggul, Kita Bangun Potensi Pariwisata Yang Berbudaya Menuju Masyarakat Yang Maju dan Sejahtera”. Kemudian 2018 bertekad benar-benar sengguh tan mingkuh, dan disusul dengan Tumangkar: Sempulur, Ngrembaka, Lestari.

Namun, perenungan nakal yang perlu digelar-digulung adalah, apakah capaian kemajuan kualitas fisik dan mental masyarakat Gunungkidul sudah seperti yang di-idam-idam-kan? Jawabnya tentu ada pada kita masing-masing. Sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang berkualitas?

Mochtar Lubis pernah membuat tulisan kontroversial terkait kualitas fisik dan mental manusia Indonesia. Dalam tulisannya “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab” (1977), ia menyoroti sifat-sifat manusia Indonesia, baik yang negatif maupun positifnya.

Ia menengarai, ada 6 sifat-sifat negatif manusia Indonesia, yaitu: 1) Munafik atau hipokrit, 2) Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, 3) Bersikap dan berperilaku feodal, 4) Percaya tahyul, 5) Artistik dan berbakat seni, dan 6) Lemah watak dan karakternya.

Namun demikian, ia juga mencatat sifat-sifat positif manusia Indonesia, yaitu: masih kuatnya ikatan saling tolong, pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih ketrampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.

Stereotip negatif yang dilempar Mochtar Lubis itu jelas-jelas mengundang pedebatan hebat. Ada banyak tokoh besar yang marah, memprotes, dan juga larut dalam silang pendapat.

Bagaimanapun, penilaian atau catatan negatif atau positif tersebut sesungguhnya dapat menjadi batu loncatan buat kita menjawab pertanyaan mendasar di atas tadi.

Sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang tidak tertinggal? Sudahkah kita menjadi manusia yang tidak munafik? Sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang unggul baik di kampung halaman maupun di tempat lain di mana kita berada?

****

Facebook Comments Box

Pos terkait