Guru, Kesejahteraan, dan Kita

Pulang sekolah berjalan kaki melewati ladang gersang di Desa Eilode Kabupaten Sabu-Raijua NTT. | JJw.
Pulang sekolah berjalan kaki melewati ladang gersang di Desa Eilode Kabupaten Sabu-Raijua NTT. | Tugi.

Ada catatan menarik dari Mas Minto, seorang wirausaha muda Gunungkidul yang saya kenal karena sama-sama hobi menekuni fotografi. Pada hari peringatan guru (PGRI) tahun 2015 lalu, ia menuliskan pengamatannya dalam jejaring facebook begini: Setiap upacara hari PGRI, jalan sekitar Alun-alun Wonosari dipenuhi/parkir mobil-mobil yang rata-rata keluaran terbaru, dan masih ada yg mengatakan kesejahteraan guru masih kurang. Lantas apa yang menjadi ukuran kesejahteraan? Selamat hari guru, juga beliau bapakku almahum yg juga seorang guru.

Ya, kata-kata menarik dalam catatan kawan tersebut adalah: upacara hari PGRI, mobil keluaran terbaru, kesejahteraan, dan guru. Amatan kawan ini terhadap upacara Hari Guru di Alun-Alun Wonosari tersebut (tahun 2015) nampaknya sangat berlawanan dengan amatan Bung Iwan Fals beberapa tahun silam (era 80-an) yang terekam dalam lagu berjudul “Umar Bakri”. Sosok guru dalam amatan dua orang dalam ruang dan waktu yang berbeda ini tampaknya telah mengalami metamorfosis yang luar biasa dahsyat.

Bacaan Lainnya

Sang Guru dalam amatan Iwan Fals adalah sosok yang hidupnya nampak terseok-seok. Terus terangnya mungkin miskin secara fisik. Setidaknya teramati dalam lirik “Laju sepeda kumbang di jalan berlubang, selalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang, Umar Bakri 40 tahun mengabdi jadi guru jujur memang makan hati”. Bagian akhir lagu itu pun seakan menegaskan bahwa jadi guru memang sengsara. Itu dalam lirik penutup, “Bakri, Bakri, kasihan loe jadi orang”.

Lha, guru model “Umar Bakri” dalam amatan kawan di Alun-alun Wonosari tadi nampaknya sulit ditemui. Karena yang ada saat ini ketika para guru berupacara, lapangan tersebut dipenuhi mobil-mobil yang rata-rata keluaran baru. Jadi ada benarnya kawan tadi bila mempertanyakan di mana atau bagian mana saat ada yang mengataan kesejahteraan guru masih kurang.

Membicaraan kesejahteraan guru memang bisa menjadi bahan perdebatan panjang. Bergantung dari alat ukur apa untuk menentukan itu sudah sejahtera atau belum sejahtera, dan mungkin pula bergantung siapa yang akan mengatakan apa karena ada kepentingannya masing-masing. Wis pokoknya saya tidak mau memperdebatkan hal tersebut, karena saya secara formal juga tidak berprofesi sebagai guru, sehingga tidak bisa secara langsung menyelami sakjane guru sekarang ini sudah sejahtera atau masih belum sejahtera.

Yang saya tahu dan telah saya alami, menjadi keluarga guru (karena dahulu bapak dan simbok saya berkarya sebagai guru PNS) itu hidupnya nyenengke meskipun secara ekonomi kudu prihatin. Mengapa nyenengke? Karena bapak dan ibu itu meskipun ngrekasa uripe memberikan perhatian full kepada anak-anaknya untuk bisa menikmati pendidikan secara tuntas.

Mengajar ke sekolah dari desa ke sekolahnya di SMEP Negeri Wonosari dengan sepeda kumbang itu biasa sehari-hari dilakoni. Naik montor itu seingat saya baru mulai tahun 81/82-an dan seterusnya. Itu pun beli montor bekas Suzuki GT100 dari tetangga yang ganti motor baru. Selanjutnya, dimulai era beli motor dengan cara menyicil melalui potong gaji yang dikenal dengan KPG (kredit profesi guru). Waktu itu bapak saya sempat nganyarke Suzuki GT tersebut dengan Vespa P150.

Jaman dulu, ada kredit montor bagi guru itu sangat memudahkan. Meskipun kalo dihitung-hitung gaji bulanannya tinggal tidak seberapa karena potongan kredit dan potongan lain-lainnya. Begitu pulang dari mengajar, bapak dan simbok juga sengkut gawe ke kebun dan ladang. Wayahnya musim mluku ya mluku, ngrabok ya ngrabok, musim tandur ya nandur.

Pokoknya sehabis pulang dari sekolah ya langsung bertani, golek pakan buat wedhus dan sapinya. Saya gak begitu memperhatikan, apakah masih ada anak-anak muda usia sekolah saat ini yang sempat bantu-bantu kerjaan bertani orang tuanya. Saya dan adik saya pernah merasakan kenangan indah mengikuti bapak simbok saya bertani  di kebun atau nggolek-ke pakan sapi atau wedhus itu.

Itu semua saya lihat adalah dalam rangka menegakkan hidup, menegakkan profesinya sebagai guru, menegakkan rumah tangga, dan mengupayakan wragat kepiye carane agar anak-anaknya bisa tuntas-tas bersekolah di jenjang yang layak. Nyangoni anak dengan selesai sekolah itu paripurna, karena setelahnya anak pasti bisa ceker-ceker golek urip dewe.

Apakah guru yang nyambi pekerjaan lain itu tidak mengurangi profesionalisme? Bisa iya bisa enggak. Yang saya mengerti dan saya rasakan waktu dulu, meskipun ada banyak guru yang nyambi jadi petani, nyambi menjadi tukang kayu atau tukang batu, nyambi jadi seniman, dan lain-lainnya, mereka kok tetap mengutamakan tugas pokoknya sebagai guru. Ada kesetiaan, ada komitmen bahwa menjadi guru itu merupakan panggilan hidup untuk mendidik anggota masyarakat. Jadi, memang jauh dari pemikiran bahwa menjadi guru itu karena memburu akan mendapatkan gaji berikut tunjangan profesinya yang berjuta-juta itu.

Di situlah saya menjadi mengerti, para guru jaman dahulu itu hebat, meski jenjang pendidikannya tidak canggih seperti saat ini yang rata-rata bergelar master atau doktor. Guru jaman dulu itu rata-rata ya lulusan SPG, SGA, SGO, PGSLP, D1-D3, bergelar BA dan paling pol Drs atau Dra. Ijinkan saya menyebut 2 nama guru dan kepala sekolah yang yang sangat saya kagumi dan pesan-pesan agar menjadi anak yang sembada itu remesep ning ati, yaitu Ibu Toelik Ruwiyah BA dan Pak Ignatius Suyono BA. Meski pendidikan nggak muluk-muluk sampe jenjang master atau doktor, saya mengalami dan merasakan apa yang mereka lakukan itu penuh dengan sentuhan jiwa, menguasai ngelmu mengajar untuk membuat anak didiknya menjadi mengerti nilai-nilai kehidupan, dan mampu mengasah kecerdasannya menjadi mletik.

Ada seorang kawan perantau berasal Gunungkidul yang pernah mengatakan kurang lebih begini, “Dulu itu sangat sedikit orang tua yang mengarahkan anaknya untuk menjadi guru. Nggak usah jadi guru, lebih baik menjadi polisi, tentara, pegawai bank, pegawai pemda, atau lainnya. Lha sekarang, begitu tunjangan guru sangat-sangat baik, maka orang berbondong-bondong mengarahkan anaknya untuk menjadi guru”. Benar juga ya, menjadi guru memang bisa menjadi jalan pintas mengejar gaji dan tunjangannya berjuta-juta itu. Tapi, apa iya mesti begitu?

Seketika itu saya jadi ingat pesan bapak simbok sewaktu mau mengambil jurusan sekolah jenjang akhir. Mereka menyerahkan secara penuh kepada anak-anaknya secara merdeka mau mengambil jurusan apa dan berkarya di bidang apa atau akan menjadi apa. Pesan yang saya ingat adalah, menekuni pekerjaan atau berkarya di bidang apapun dengan sepenuh hati pasti berbuah dalam kecukupan rejeki.

Di sinilah saya akhirnya menemukan esensi, bahwa menjadi apapun pekerjaan kita atau berkarya di bidang apapun pada hakikatnya kita ini juga menjadi guru. Menjadi guru untuk anak/istri/suami kita, menjadi guru untuk teman kita, dan menjadi guru untuk siapapun yang kita temuai. Guru yang tidak pernah mempermasalahkan tunjangan profesi.

Barangkali godaan untuk menilai sesuatu berdasarkan pencapaian material yang mampu dipunyai, yang paling kentara itu motor, mobil, rumah gedhong magrong-magrong lah yang telah menelikung kesadaran kita semua. Bahwa pencapaian yang sesungguhnya adalah bagaimana kita mampu membuahkan karya dengan sepenuh hati dalam bidang kita masing-masing. Berkarya apapun secara profesional, rejeki pasti mengikuti.

Facebook Comments Box

Pos terkait