SEPUTARGK.ID – Janggrung adalah seni pertunjukan rakyat. Ada dusun/desa yang masih memegang keyakinan, Janggrung hanya boleh dipentaskan pada saat tertentu seperti pada ritual bersih kali/sendang di bawah resan yang melindungi aliran sungai dan sumber air. Karena itu Janggrung bernilai sakral bagi para pelaku dan masyarakat pendukungnya.
Bentuk kesenian Janggrung memiliki kemiripan dengan Tayub atau Ledhek. Janggrung tidak setenar Tayub atau Ledhek. Barangkali karena sifat Janggrung yang statis, hanya dipentaskan untuk acara-acara ritual dusun/desa. Sementara, seni Tayub lebih fleksibel di berbagai event, bahkan dapat digelar saat ada anggota masyarakat yang menanggapnya.
Bu Rubiyem (70), perempuan dari Dusun Nitikan Barat Semanu Gunungkidul ini telah melakoni hidup sebagai penari Janggrung sejak usia 29 tahun. Di Semanu – Wonosari – Tepus dan sekitarnya, nama Rubiyem sudah dikenal sebagai penari Janggrung legendaris. Ia setia membaktikan diri menjadi penari Janggrung pada saat acara ritual yang diadakan dusun/desa.
Kecintaan Rubiyem pada seni tradisional tumbuh sejak kecil. Perempuan lulusan SR ini mengaku belum pernah mengikuti kursus pesinden secara formal, karena kondisi ekonomi keluarga yang tak memungkinkan. Ia mengatasi kendala tersebut dengan cara rajin mengikuti latihan karawitan secara gratis. Ya, ikut latihan kelompok seni dari satu dusun ke dusun lainnya. Pada usia 14 tahun, Rubiyem telah berani ikut pentas kelompok-kelompok karawitan sebagai pesinden. Tumbuhlah Rubiyem menjadi pesinden handal di desanya.
Rubiyem bercerita, keterpanggilan dirinya menjadi pelaku seni Janggrung dimulai sejak tahun 1980. Awalnya dia ragu menjadi pesinden dan penari Janggrung, karena menurutnya seni pertunjukan ini sakral. Pada suatu saat, para sesepuh desa mengatakan pada Rubiyem, bahwa dirinya direstui oleh para leluhur desa. Itulah yang membuat Rubiyem mantap menekuni laku seni sekaligus laku hidupnya.
Menjadi pelaku seni Jranggung, menurut Rubiyem tidak mudah. Karena menurut keyakinannya, dirinya dipakai para leluhur desa menjadi perantara komunikasi pada saat ritual digelar. Saat pertunjukan Janggrung digelar, tak jarang ada warga yang mendatangi Rubiyem, dan berujar nadzarnya diijabahi para leluhur. Tak jarang dijumpai ibu-ibu mendatangi dan meminta sang penari ini mengelap anak yang digendongnya dengan selendang tarinya, dan ibu tersebut meyakini sebagai usaha “penolak sawan”.
Rubiyem dalam keseharian menjadi petani dengan penuh syukur. Ia tak pernah berhitung mengenai penghasilannya sebagai pelaku seni Janggrung dan kadang kala menerima panggilan sebagai pesinden pada pertunjukkan karawitan. Hal penting yang menjadi keyakinannya, menjadi penari Janggrung adalah mengemban amanat dari para leluhur dusun untuk senantiasa menjaga harmoni hidup.
Rubiyem merasakan dirinya saat ini memang sudah semakin tua. Ditanya tentang regenerasi pesinden dan penari Janggrung, Rubiyem bercerita pernah mengajak anak-anak muda untuk berlatih menjadi pesinden dan penari Janggrung. Namun ternyata tidak banyak yang berminat. Tantangan regenerasi yang diungkapkan Rubiyem ternyata juga tidak mudah, karena ada yang menganggap menjadi penari Janggrung berarti dirinya bersekutu dan dipakai oleh roh jahat.
Tidak mudah untuk melakukan regenerasi penari Janggrung. Rubiyem pun menyatakan diri ingin menjalani hidup sebagai pelaku seni Janggrung sampai tutup usia, sembari ada yang menggantikannya menyampaikan pesan-pesan harmoni para leluhur kepada masyarakat desanya.
Simak obrolan lengkap bersama pelaku seni Janggrung di klip berikut. Persembahan program Dipodjok, Special Space of KH Files.