
Wong-wongan sawah sawangane ngreridhu, badane den ewa, dening manuk lan sawerni, wernaning wong lwir wewangunan sujanma. [Sekar Pocung]
Segala sesuatu bisa dikategorikan memedi jika disajikan wacana: segala sesuatu itu menakutkan. Akan menggoyang. Merongrong. Mengalahkan dan meniadakan liyan. Memedi Jim Iblis/Setan Dhanyang Perayangan bagi Manusia. Manuk bagi among-tani. Pramodernisme bagi modernisme. Mitos bagi empirisme. Abangan/Irengan bagi Putihan. Bukan anak-sekolahan bagi anak-sekolahan. Pribumi bagi Pengkoloni. Tanah warga lokal bagi pengembang ‘jasa’ wisata. Atau sebaliknya.
Di balik ketakutan si subjek terhadap rongrongan dan goyangan si liyan tersimpan ketakberdayaan subjek bahwa suatu saat ketika dirinya merasa telah mampu mengalahkan liyan itu, ia, tampaknya, benar-benar tak mampu mengalahkan dan meniadakan liyan. Justru ia tak bisa menghindar: ia selalu merindukan kehadirannya: memedi-memedi yang selalu menakutkan, yang merongrong, yang menggoyang eksistensinya itu. Mengapa?
Si Subjek pada kondisi kegentingan tertentu menciptakan tiruan-tiruan turunan-turunan fotokopian-fotokopian formula-formula kemasan-kemasan oposan-oposan untuk memperkokoh pertahanan dirinya terhadap rongrongan liyan yang memedi itu. Ia menciptakan ‘memedi’ untuk menghadapi yang ia golongkan memedi. Berulang-ulang sepanjang waktu. Terlebih sekarang ini, yang mungkin awal musim penghujan, ‘memedi-memedi’ sedang hujan. ‘Memedi’ lawas yang tidak medeni dibangkitkan. Dengan sangat-sangat sadar dijual habis-habisan.
Biar tak ‘lungset ing sampiran’: mungkin. Mosok, memedi kok nggak menakutkan, nggak bisa dikalahkan? Mosok, kita, para among tani, nggak takut sama para manuk yang kata simbah-simbah adalah pasangan abadi (kembaran) tetanah?
Ah. Kalau begitu, ayo ramai-ramai ‘dolanan memedi-memedinan wae’. Di tegalan yang hujan.
(Wage)