Mudik Itu Mulih

Pemudik melintas jalan raya Patuk – Wonosari. Swara/Wage.

“Sirna sampun tanpa rasa pangrasa wus, mulih mulanira, duk sira durung dumadi, bali neng ning nora muni nora muna.”
[Pocung, Asmaralaya]

“There’s a long line of cars and they’re trying to get through”: begini saya memetik penggalan lirik lagunya The Cakes di album “Comfort Eagle”, yang para pemainnya tampak “nggak nggenah” seperti saya. Ini untuk menggambarkan kendaraan para perantau yang ‘gilir-kacang’ merangkak menaiki Bukit Bintang di Pathuk. Mereka hendak ‘mulih’ ke Gunungkidul. Mengapa mereka (kendaraan para perantau) itu memudik, ‘mulih’? “Kebo mulih ing kandhange”, ahlul waris pulang ke tanah warisannya? Mengapa ada yang membawa bawaan banyak, mengapa ada yang ‘nglenthung’? Tak ada eksplanasi dan tujuan tunggal, katanya; kata The Cakes berikutnya.

Bacaan Lainnya

Sebab, mungkin ada bermacam-macam penjelasan dan tujuan mengapa mereka ‘mulih’.

Selama aksi ‘mulih’ di Gunungkidul para perantau (kalau saya ini kategori apa nggak jelas: perantau bukan, bukan-perantau ya bukan) mencoba memenuhi ‘hasrat’ mereka terhadap ikatan-ikatan kuno yang telah membelenggu erat dirinya: tubuh, pikiran, dan jiwanya. Ikatan dengan apem. Dhawet. Walang. Nyekar. Puli. Sungkem. Mulyakke wong tuwa. Nyenyuwun diapura. Teman handai taulan. Mbangun desa. Saudara (satu-rahim ibu). Nyeker di tegalan. Mandi jebar-jebur di kali, atau di tuk, atau di sumber. Golek iwak. Mantai. Ngguwa. Nggathul dan macul. Mbenthung tela. Mbakar jagung. Ulur kacang. Njangan lombok. Sambel wijen. Jangan blekothok. Tawu. Atau reuni(on). Serta bermacam-macam penjelasan serta tujuan lainnya.

Barangkali motif-umum mulih/mudik ke tempat asal seperti mulih ke Bumi Gunungkidul ini adalah unifikasi. Penyatuan, atau reunifikasi, penyatuan kembali, seseorang yang melakukan mulih dengan hal-hal lampau, dengan masa yang lebih awal, yang lebih purwa, dengan bibit-kawit mula-buka, dengan (para)sejarah, dengan rahim yang pernah melahirkannya.

Dengan Ibu/Simbok.Dilengkapi Bapa(k). Dengan Bumi yang menumbuhkan. Dengan Langit yang menghujani.

Namun unifikasi dan reunifikasi pun tak bisa lepas dari simboknya makna dan polisemi. Keambiguitasannya: penyeragaman terhadap keberagaman. Ketika mulih kemudian melakukan reuni kulawarga (trah), reuni mitra TK, teman SD, kanca SMP, SMA, kuliah, kanca gulang-gulung dulu waktu ngarit dan angon wedhus, banyak yang membuat kostum seragam (komodifikasi). Identitas-busana reuni saat mulih itu satu sisi digunakan sebagai alat pemecah dengan liyan yang dianggap bukan anggota komune reuni; sebagai piranti romantik menghadirkan masa lalu, satu sisi menggambarkan keberagaman masing-masing komune. Penyeragaman juga bisa berupa hal-hal atau benda-benda (totem) yang dimiliki dan dibagi di dalam masing-masing kulawarga/komune. Busana-seragam, juga benda-benda lain (totem), mengikat erat para anggota komune, di dalamnya tersimpan ‘ethos’ dan ‘ethic’. Ikatan-ikatan lembut yang mempersatukan mereka dan bagaimana seharusnya mereka bertindak. Meskipun, bisa jadi, ikatan dalam balutan seragam dan ritual reunian bersifat maya. Komunitas reuni kala mulih itu pun maya. Sebuah reuni yang terpaksa.

Namun, paling tidak, aksi reunifikasi dengan simbok, dengan buminya simbok, dengan bapa(k), dengan komunitas lampau atau dengan benda-benda totemik purwa di desa, menggambarkan adanya ikatan yang kuat antara pihak-pihak atau unsur-unsur dalam reuni. Yang telah terjadi dan berlangsung lama. Ikatan itu seperti ikatan dalam ‘pulay’ (baca: puli), puli-beras (baca: puli) dan puli-beras-pulut (baca: jadah).

Puli adalah para beras yang berikatan kuat. Ikatan kuat para beras dalam puli menyimbolkan ikatan kuat para anak dengan Simboknya. Ikatan kuat para perantau dengan makanan agraris: beras, ketela, kacang, kedelai, dan dengan cerita-cerita lalu, dengan kawan lama, mantan pacar, dan tempat-tempat sakral tertentu masa lalu (dan masih hidup hingga kini).

Ikatan-ikatan lama (purwa) bagi kulawangsa desa di desa adalah mitologi, yang sebenarnya bagi para perantau ikatan ini telah dipergantikan dengan mitos baru di tempat mereka yang baru: makanan baru, kawan baru, ‘saudara’ baru, tempat-sakral baru. Ikatan-ikatan, atau saya katakan lilitan-lilitan atau laso-laso atau dhadhung-dhadhung baru, di realitas permukaan telah menggantikan yang lama (purwa). Akan tetapi, tampaknya, ikatan-ikatan yang lama “tidak” akan mati (perrenial), mereka akan selalu hidup kembali (mileniarial).

Tentu, hal-hal material-totemik yang di dalamnya berisi hal-hal batiniah-sakral (seperti ritual mulih) yang mengikat-erat kulawangsa manusia dengan segala ihwal ‘mula-mulanira’ (asal-muasalnya) adalah religi. Aksi mulih ke jantungnya simbok atau jantung alam, dari sudut pandang agama, justru bukan kondisi “losing my religion” (lagunya R.E.M). Bukan, tapi penegasan tentang gerak penyatuan kembali kepada suatu ikatan awali. Ikatan desawiah. Ikatan Simbokiah. Ikatan alamiah. Religi mulih, dengan itu, adalah akar agama (baca: gerak meninggi terus-menerus). Religi mulih dilakukan dengan mengikatkan raga dan batinnya kepada kondisi awal; mulih mulanya.

Seorang mufasir mengatakan bahwa Idul Fitri bisa bermakna kembali ke asal. Kembali ke mula, ke titik awal: pulang. Setelah para perantau pergi, mengembara, berkelana, bermigrasi, berhijrah, mereka akhirnya mulih. Mulih berarti kembali ke kondisi awal penciptaan: ‘nihilo tempore’, waktu kekosongan.

Di awal waktu kekosongan yang ada hanya ‘dihin’; ketiadaan. Di dalam ketiadaan itulah Tuhan bersemayam. Kondisi ketiadaan bagi orang-orang desa di awal waktu ingin digapai: damai, rukun, penuh kejujuran, saling menghormati, gotong-royong, dsb. Kembali ke awal waktu kosong tak lain tak bukan ya kembali kepada yang ditempeli nilai ketuhanan.

Dulu, sebelum merantau, di rumahnya seorang perantau tiada memiliki lauk-pauk yang cukup. Tempe satu dibagi berempat. Tak ada sepeda ‘onthel’, apalagi kendaraan bermotor. Tak ada pakaian yang pantas. Tak ada swalayan. Tak ada kemampuan untuk memenuhi “kebutuhan-semu” a la kapitalisme dan konsumerisme jaman “hipermodern” kini. Tak cukup kecanggihan dan intelektualitas serta pengalaman.

Namun ketiadaan unsur-unsur material di tubuh kulawangsa desa di awal waktu bukan berarti tubuhnya miskin unsur-unsur kebatinan. Nggladhi tubuh dan pikiran adalah pekerjaan orang-orang desa sehari-hari. Ada etos (baca: spirit) kejujuran. Gotong-royong, kejujuran, tepa-salira, keuletan dan kegigihan sebagai kapitalnya untuk mengembara.

Mbendhuyut, mudik dengan penuh membawa barang bawaan. Swara/Wage.

Para kulawangsa mengembara. Golek upa-boga. Mencari sandhang pangan papan ilmu pengalaman di tempat-tempat baru, meninggalkan tempat lama (awal). Bangsa Eropa ke Bumi Timur. Tiongkok ke Bumi Selatan. Sunda ke segala penjuru. Ada yang secara material telah mengalami hijrah, ada yang secara intelektual bergerak ‘maju’, ada yang secara spiritual mampu menjelajah ruang multi dimensi.

Sementara ketika para perantau mulih di masa kini, kejujuran bahkan etos kerja terkadang hanya mitos saja, karena ‘terkafiri’ (baca: tertutupi) citra-citra material yang ‘digawe-gawe’. Ada yang mulih dengan ‘nglenthung’ kosong blong tak membawa apa-apa, ada yang bawaannya ‘mbreyot’ namun kosong; nyatanya mlompong.

Keduanya sama-sama berada pada kondisi kekosongan.

Di saat berjumpa dengan anggota komunitas (setelah tiba Ariyadi) lantas saling berucap, “kosong-kosong ya!”, “padha-padha ya!”, begini bunyinya. Kosong maksudnya ya murni, ya suci. Tanpa beban, tanpa syarat, tanpa permintaan. Tanpa tuduhan. Tanpa ketidakmenerimaan apa pun. Usaha keraya-raya untuk mulih ke asal pun menjadi ringan.

Mulih mengisyaratkan adanya ‘kelahiran kembali’ di waktu mitis yang murni, yang suci. Seorang anak telah menjadi bapak. Jika ada pertanyaan: mengapa orang-orang Jawa mengimani tradisi mulih atau mudik kala Ariyadi (baca: Hari yang Sakral)? Mungkin jawabannya: secara sadar atau bawah-sadar (atau parasadar: sadar-awal) tempat mulih merupakan asal dan tujuan gerak kehidupan. Karena sehabis mulih, “you don’t wonder where we going or remember where we’ve been”, sentil The Cakes, Anda dan saya menjadi lupa gerak kita telah sampai dimana, kita terpecah menjadi siapa saja.

Sementara itu, ikatan-ikatan awal di desa menamakan diri kita sebagai bagian sebuah komunitas dengan metafor “balung-asu”; saudara atau satu udara. Terkadang, kemudian, mulih diberi judul: “nglumpukake balung pisah”. Nglumpukke glepung yang butir-butir kecil; menyatukannya menjadi apem atau roti.

Cakes (roti) mengingatkan saya pada glepung semesta, tepung atau debu semesta (tepung beras), yang prosesnya harus diaduk bersama dengan tigan atau endhog. Tipologi awal penciptaan kosmos Jawa. Cakes harus melewati fase jladren atau jaladri (samudera) dulu: keluasan air tak bertepi yang dimiliki oleh seorang ibu. Seorang simbok. Yang membuat jladren pun Si Simbok. Para kulawangsa rindu apemnya simbok. Para kulawangsa rindu pada Simbok. Pada tanah yang menumpahkan darahnya pada waktu berbentuk tigan (endhog/telur).

Dan cakes pramodern yang hadir kala Ariyadi: apem.

Selamat, mulih! Selamat reuni dengan apem! Sembari Anda nyangking ulih-ulih hasil pengembaraan material, intelektual, atau spiritual Anda, Anda bisa mengarahkan kendaraan Anda mulih ke apem. Oh, mohon jaga-jaga ya, jikalau kendaraan Anda kaboten saat jalan menanjak nanti, pindah gigi kecil sedari awal, jauh sebelum tanjakan semakin mendekati, dan tak perlu dhisik-dhisikan sesama kendaraan perantauan yang sama-sama sedang mulih, ntar mandhak tak kuat kendaraan Anda di tanjakan, ditambah lagi tanjakan Pathuk yang pengkolan!

Bahaya, mesinnya bisa mati!

Eh, tapi, mulih hakekatnya memang mematikan, memang menghentikan, menihilkan keakuan, meluruhkan pencitraan. Mulih (kembalinya ciptaan kepada Sang Pencipta) bukan dilakukan oleh manusia dalam kondisi anggung gumrunggung, yang memenuhi dirinya dengan kesombongan. Akan tetapi, Sang Ciptaan yang mulih membawa serta diri yang seperti apa adanya. Membawa keserbaterbatasan, bukan keserbaberlebihan. Apalagi kondisi lebih yang hanya dilebih-lebihkan. Kondisi semu yang dinyata-nyatakan. Bukankah bertapa dan berpuasa yang dilakukan sebelum Ariyadi memang bertujuan untuk meper hasrat yang lebay? Agar nyata dan seperti apa adanya?

Mulih membawa ulih-ulih untuk Simbok: uang untuk dandan omah, beserta kebutuhan-kebutuhan penghuni rumah akan makanan, pakaian baru, juga alat elektronik baru. Omah merupakan simbol korelasi antara manusia dengan Tuhan. Ulih-ulih pengembaraan digunakan untuk mbangun omahnya bermakna membangun dirinya (palemahan sebagai dasar, badan sebagai tubuh, empyak-wuwungan sebagai mustaka), untuk mbangun-kayangan (unsur kelangitan) a la Semar. Jika Si Simbok adalah Bumi Gunungkidul, maka ulih-ulih hasil pengembaraan para anak DIGUNAKAN untuk membangun Bumi Gunungkidul, kakinya, badannya, kepalanya, jiwa dan raganya, yaitu bumi (prototip Simbok) yang di awal waktu pernah handayani (menguatkan, mengukuhkan), hingga sekarang ini bisa dikatakan Bumi Gunungkidul tampak hijau, indah (sari), dan bernilai tambah.

Semoga ulihan ke Simbok Gunungkidul kali ini tak benar-benar “nglenthung” (tak membawa serta apa-apa), tetapi menyimpan-serta kelanjutan ulihan berikutnya, serta benar-benar berupa pulay (puli: ikatan-ikatan kuat) di kala selanjutnya, sebagai sebuah ikatan kulawarga dan kulawangsa, atau trah (ikatan darah), berputar menerus seperti ungel gamelan.

“So this long line of cars will never have an end”, ulihan-ulihan kendaraan dan pengembaraan tak pernah berakhir: lanjut The Cakes, “So this long line of cars is trying to break free”, ingin meraih kelepasan. Seperti religi yang tak henti mengulurkan ikatan-ikatan pada kulawangsa manusia. Seperti cakes, cookies, serta bread, yang kesemuanya adalah kulawangsa roti. Seperti gethuk, gathot, serta krecek, yang mereka itu simboknya ya tela kaspa. Seperti agama-agama yang menyodorkan jalan kepulangan: ke kemurnian.

Seperti Para Roti di lemah rantau yang merindukan mulih ke suasana ‘glepung’ dan rumagi, yang telah menyebabkan mereka menjadi. Seperti saat mulih kali ini.

(Wage).

Facebook Comments Box

Pos terkait