Paradoks Ngendhat Talimurda: Kita Justru Lebih Sibuk Mencari Gelu

Jagung-jagung ‘dipulungi’, ditali, nantinya digantung di dalam rumah. Swara/WG

“Manusia menemukan dirinya telah terlempar atau tercetak di dalam suatu posisi dalam rentang sejarah yang bukan hasil karyanya sendiri—di suatu tempat dan waktu tertentu.”
[Heidegger]

Seorang warga Desa Siraman bernama Mujiyah, 80 tahun, melakukan ‘ngendhat tali murda‘ di sebuah pohon nangka pada awal Februari 2017 lalu. Kekecewaan dan keterpisahan dengan kehidupan sosialnya ditafsirkan oleh mayoritas masyarakat sebagai motif-dasar tindakannya. Bukan sebaliknya: lingkungan sosialnya (termasuk keluarga intinya) yang bermasalah, namun tak-sadar bahwa bermasalah sehingga mengakibatkan wanita sepuh itu memilih laku akhir hidupnya.

Bacaan Lainnya

Muncul simbol ‘gelu‘, bulatan tanah lambang kekecewaan (‘gela‘) dalam kasak-kusuk para pelayat. ‘Gelu‘ secara fisik tak ditemukan. Setelah cangkulan menembus tanah puluhan sentimeter, tidak juga ditemukan ‘gelu’. Warga lantas menyerukan agar dibuatkan saja ‘replika’nya dari tanah yang berada di bawah lokasi gantung diri si simbok. ‘Gelu’ akan digunakan sebagai ganjal jasad jenazah di dasar liang kubur.

Mujiyah, ‘wreksa-nangka‘, dan ‘gelu‘ adalah tanda, ‘na‘ (demikianlah), ‘ngka‘ (di sana), di dalam penanda ‘wreksa‘ ‘nangka‘, nalar orang Gunungkidul yang ‘kecewa’ pernah menjadi. Seperti halnya mitologi pohon ‘kalpa’ (kelapa, buah kehidupan) yang menandakan persatuan antara ‘warih‘, air-suci kehidupan sekaligus ‘pulung‘ dengan Si Kula (Pamanahan dan Giring), dibumbui kekecewaan Giring, Mujiyah memutuskan memilih bersatu dengan ‘wreksa-nangka’.

Wreksa nangka‘ tak lain proto-tipe manusia, yaitu replika atau fotokopian Si Mujiyah sendiri (sejajar dengan replika ‘gelu‘ yang dihadirkan), lebih khusus lagi berhubungan dengan cerita kemenjadian Wanasari di wilayah Siraman (wilayah Mujiyah tinggal) di mana terdapat mitologi tentang seorang simbok penjaga bernama Gadhung Mlathi yang memilih tinggal di sebuah pohon ‘nangka‘ yang ‘dhoyong‘, harus kecewa. Kekecewaan pada kulawangsanya, kepada kulawangsa manusia.

Nangka‘, dalam mitologi (nalar) tradisional, adalah pohon ‘pala-gumantung‘ (disebut ‘pala-kirna‘; kirna: jutaan) yang hidupnya bisa mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Pohon nangka adalah pohon-buah yang ‘abadi’. Pelaku yang ‘ngendhat tali murda’ di pohon ‘nangka’, interpretasinya adalah menginginkan buah kehidupannya abadi: ‘pala-kirna’.

Yang abadi, dengan nalar kemanusiaannya yang serba terbatas, dengan bahasanya sendiri sebagai seorang manusia (simbok), berada dalam ‘gendhongan’ ‘Yang-Suci’. L(R)embayung dengan Umbaran; persatuan dengan ‘kayu-purwasari’; tragedi dengan ‘wadah’nya sendiri; ibu yang menggendong anaknya dalam aras kosok-bali. Kematian yang tragis, maka dari itu, merupakan motif-purwa persatuan.

Kematian menyimpan rahasia Langit, yaitu sebuah ‘gradasi’ cahaya putih yang terpendar menjadi kuning, merah, hijau, biru, dan seterusnya; warna putih yang terpendar menjadi ‘pulung’, ‘kaluwung’, dan sebagainya. Fenomena cahaya tak membutuhkan etika. Etika hanya dan hanya jika manusia hendak menciptakan (untuk tak mengatakan: menguasai) tata aturan di antara anggota kulawangsanya dan antara manusia dengan alam.

Namun yang jelas, manusia selalu membincang dan merayakannya: kemirisan tragedi Mujiyah dan saudara-saudaranya. Di pohon nangka. Di pohon pisang. Di pohon jambu.

Kita, manusia sekitarnya sampai saat ini memang lebih sibuk mencari wujud fisik “gelu“, gumpalan tanah yang harus dicari sebagai tanda kematian karena gantung diri. Namun, sadar atau di bawah kesadaran, kita terkadang sedemikian egois, menjadi tiada peduli, tersandung bahwa sikap, kata-kata, dan perbuatan kita bisa membuat “gela” (kecewa) saudara kita, anak-anak kita, orang tua kita, dan sesama kita.

[Wage]

Facebook Comments Box

Pos terkait