Si Kliwon

Obrolan para kasepuhan di sebuah pelayatan. Foto: Toro.

“Ora usah kolah ora usah koleh, anggere kacul kadang!” Kata-kata aneh ini terdengar jelas di telingaku. Seumur-umur baru kali ini kudengar.

Ini terjadi saat pelayatan atau takziah di suatu dusun di Negeri Kahyangan Gunungkidul. Dua orang laki-laki tua sedang berbincang di sebelahku. Seorang berambut putih duduk kursi hijau di kananku dan bapak berpeci hitam yang mengucapkan semacam mantra itu ada di baris depannya.

Bacaan Lainnya

Kucoba ikut masuk perbincangan. Kuucapkan ulang kalimat itu dan menanyakan artinya. Baru kumengerti, bahwa kalimat aneh itu berarti “tidak perlu sekolah, asalkan mencangkul ladang pasti bisa makan”. Rupanya tema perbincangan mereka tentang sekolah dan petani.

“Niku ngendikane simbah-simbah rumiyin.”

Pria berpeci mencoba mengingat puluhan tahun lalu. Para leluhurnya, dulu, memandang belajar formal di sekolah bukanlah hal yang penting dibanding mengayunkan alat pertanian di ladang. Mereka memandang, mengolah tanah menjadi jaminan hidup. Pria berpeci itu mengalami pesan yang sama dari orangtuanya, Simboknya melarangnya meneruskan sekolah formal yang lebih tinggi.

“Kula boten neruske, dadi sakniki tani.”

Ia memandang ke langit. Awan gelap di atas rumah duka siang itu justru menandakan kecerahan para petani, termasuk dirinya.

Ia menceritakan tentang kebutuhan air untuk kesegaran tanamannya yang sudah mulai merunduk layu. Sudah 10 hari langit tidak menurunkan air hujan. Nampak guratan di mukanya, seakan ia mau menangis namun tertahan oleh ketegarannya.

“Kula niku murid njenengan, kula Si Kliwon Pak Tugiyo, Alhamdulilah njenengan taksih sehat!”

Sepasang mata bapak yang ber-KTP sepantaran 85 tahun itu tampak berbinar. Mantan kepala SD ini menaikkan kaca mata, tampak berusaha keras untuk mengingat muridnya ini.

“… mangke wonten rejeki saking margi sanes, ijole rekasane…”

***

Semanu, 26 Januari 2020

Facebook Comments Box

Pos terkait