Tradisi Bersih Kali Masihkah Menjadi Ritual Membersihkan Diri?

Tradisi bersih kali di Sendang Beji Dusun Kulwo Desa Bejiharjo. Swara/Tugi.
Masyarakat menggelar ritual bersih kali di Sendang Beji Dusun Kulwo Desa Bejiharjo. Swara/Tugi.

Tradisi bersih kali masih terjaga dengan baik di berbagai padusunan atau desa di Gunungkidul. Masyarakat perdesaan masih setia nguri-uri ritual pen-suci-an sumber air komunal atau sumber air milik bersama di wilayahnya.

Tradisi bersih kali dijalani dengan acara pokok berupa pertemuan komunal diisi dengan kenduri dengan sajian nasi gurih dan ingkung ayam kampung. Pertemuan itu bertempat di sumber air milik bersama, entah berupa sungai dengan tuk (sumber air) besar maupun kecil, belik, sumur bersama, atau tampungan air alami berupa telaga. Tradisi bersih kali biasa diselenggarakan ketika memasuki Sasi Rejeb atau Ruwah, sebelum memasuki Sasi Pasa. Pada waktu itu, masyarakat umumnya telah menyelesaikan panenan musim tanam kedua untuk pertanian lahan kering atau tadah hujan.

Bacaan Lainnya

Entah karena gebyar sektor kepariwisataan yang saat  ini sangat diidolakan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, tampaknya greget masyarakat untuk membuat gayeng-regeng acara bersih kali juga semakin meningkat. Setidaknya hal ini bisa diamati pada saat penyelenggaraan tradisi bersih kali di Sendang Kyai Sejati di Dusun Gunungbang (di sebelah timur lokasi wisata Goa Pindul Bejiharjo), bersih kali di Sendang Beji di bagian selatan Desa Bejiharjo, ritual Nyadran di Gunung Gentong Ngalang, dan bersih kali di tempat lainnya. Di lapangan juga tampak para Pendamping Desa Budaya dari Dinas Kebudayaan Pemda DIY, semoga hasil observasi mereka dapat menjadi laporan bermanfaat bagi pemerintah dan terlebih mampu memberikan dampingan yang mencerahkan dan nyata bagi masyarakat.

Bersih Kali di Gunungbang memang memiliki daya tarik tersendiri, karena di tempat tersebut juga masih diselenggarakan pergelaran ngibing atau tayuban yang menarik minat penonton. Tradisi serupa dengan nama berbeda yaitu ritual Nyadran di Gunung Gentong Desa Ngalang Gedangsari juga dilaporkan terselenggara sangat meriah, bahkan mampu menjadi daya tarik wisata. Acara tahunan pelaksanaan tradisi di bersih kali di Gunungbang Bejiharjo maupun Nyadran di Gunung Gentong Ngalang hampir selalu dihadiri oleh para pejabat di lingkup kantor kecamatan maupun para pejabat dinas teknis kabupaten terkait kepariwisataan dan kebudayaan.

Simak: Nyadran Desa Ngalang, Wisata Budaya Magnet bagi Wisatawan,

dan Warga Gunungbang Laksanakan Tradisi Bersih Sumber Kyai Sejati,

juga Warga Kulwo dan Gunungsari Rayakan Bersih Sedang Beji.

Kehadiran para pejabat kecamatan dan dinas-dinas teknis barangkali karena ketugasannya dalam membina wilayah dan sektor yang diampunya. Menyimak komentar dan pandangan para pejabat, mulai dari Dukuh, Kepala Desa, Camat, maupun pejabat dinas teknis, semuanya memiliki 4 pokok pandangan yang serupa. Pertama, acara ritual terselenggara semakin meriah dari tahun lalu. Kedua, berharap mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi warga dusun. Ketiga, berharap acara yang telah terselenggara turun-temurun itu dapat terus berlangsung dan dilestarikan anak muda. Keempat, berharap menjadi daya tarik wisata budaya yang mampu mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara.

Berharap ritual bersih kali pada berbagai tempat di Gunungkidul mampu menjadi daya tarik wisata budaya bagi wisatawan lokal dan mancanegara itu sah-sah saja. Ini sama sebagaimana Pemkab Gunungkidul berharap, bahwa sektor kepariwisataan mampu menjadi jalan hadirnya kesejahteraan lahir dan batin masyarakat Gunungkidul. Termasuk berharap kepariwisataan mampu mengurangi angka kemiskinan, yang menurut data statistik masih memiliki rekor tertinggi di antara 5 kabupaten/kota di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal pokok yang kemudian menjadi pertanyaan dan perenungan bersama, apakah tradisi tahunan bersih kali yang kemudian umumnya dilanjutkan dalam ritual bersih dusun atau bersih desa mampu menghadirkan kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat perdesaan? Jawab pertanyaan dan perenungan ini ada dalam hati dan krenteg masyarakat itu sendiri dan para pejabat pengampu kebijakan publik di wilayah kabupaten ini.

Patut dicatat, masyarakat selalu menyelenggarakan ritual bersih kali dan kemudian bersih dusun setiap tahun. Sudah menjadi acara rutin, mentradisi turun-temurun. Gebyar acara bersih kali dan bersih dusun terselenggara semakin meriah. Semakin ada banyak warga masyarakat yang terlibat. Wargasebelumnya tak mau terlibat atau ogah-ogahan terlibat karena dianggap tradisi ndeso atau karena dianggap tak sejalan dengan dogma agama modern yang dianutnya. Semakin tahun jumlah hidangan sega gurih dan ingkung yang dibawa ke acara kenduri juga semakin banyak.

Indikator-indikator yang kasat mata tersebut juga selalu dirindukan warga untuk dapat berlangsung di tahun berikutnya. Semoga ini menjadi bukti, masih ada greget atau semangat masyarakat perdesaan untuk ber-revolusi ataupun ber-evolusi dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.

Dalam catatan historiografi, tradisi bersih kali atau bersih dusun sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang. Tradisi bersih kali ditemui pada jaman klasik peradaban Hindu-Budha di Jawa, dan bahkan bertautan dengan tradisi yang oleh agama-agama baru dikenal sebagai tradisi kuno animisme dan dinamisme. Tradisi bersih kali pada jaman klasik memberikan pelajaran, bahwa kehidupan masyarakat perdesaan agraris senantiasa memuliakan 5 unsur pokok alam yang dikenal sebagai pancabhuta, yaitu: lemah (tanah/bumi), banyu (air, tirtha), bayu (angin), agni (api), dan akasa (ether, gas ruang angkasa). Manusia tidak dapat hidup apabila tidak ditopang kelima unsur dasar tersebut. Dua unsur pokok, yaitu tanah dan air selanjutnya kita kupas di bawah ini.

Tanah atau bumi yang mampu menerima apapun, meluruhkan apapun, dan mampu menumbuhkan tanaman apapun. Dari yang ditumbuhkan bumi manusia mendapatkan sumber pangan utama. Sumber pangan utama masyarakat Jawa (Nusantara dan bahkan Asia) adalah dalam bentuk padi, yang kemudian bertransformasi menjadi beras dan nasi. Nasi atau sega gurih dalam kenduri bersih kali adalah penopang utama kehidupan ragawi, tentunya yang menyehatkan pula jiwanya, serta kehidupan rohaniahnya. Bicara tentang nasi, beras, dan padi dalam tradisi simbolis Jawa merujuk kepada Sang Dewi Sri. Dewi dari kahyangan yang menjaga kesuburan bumi, mewujud dalam bulir-bulir padi. Masyarakat Jawa menyebut bumi sebagai ibunya, sebagai ibu pertiwi, tempat di mana manusia lahir dan badaniahnya akan bersatu melebur dengan ibu pertiwi setelah mati, dan rohnya kembali mengangkasa ke Gusti Kang Murbeng Jagad. Tanah tak dapat dilepaskan dari pijakan hidup manusia.

Air sesungguhnya zat yang tak terpisahkan dari bumi. Tak dapat dibayangkan keberlangsungan makhluk hidup tanpa adanya air. Oleh karena itu, air menjadi zat yang paling utama dalam kehidupan. Tradisi bersih kali sesungguhnya juga menjadi pengingat terus-menerus bagi warga perdesaan, bahwa hidup dan kehidupannya tak dapat terlepas dari air yang membasahi bumi. Air yang melegakan tenggorokan manusia saat kehausan, sehingga hidup manusia dapat berpikir dengan waras, berlaku selaras-serasi dengan sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Bukan hidup yang brangasan seolah tak mengenal naluri kemanusiaan.

Hal yang menarik dalam prosesi bersih kali situs-situs patirthan peninggalan tradisi klasik Hindu-Budha adalah adanya keyakinan bahwa tradisi bersih kali sesungguhnya juga menjadi ritual pembersihan diri. Ketika masyarakat beramai-ramai membersihkan sumber air termasuk kolam situs percandiannya, kemudian diakhiri dengan bersama-sama membersihkan diri, membasuh diri dengan sumber air yang telah dibersihkan kolamnya dan alur alirannya itu. Di beberapa candi patirthan di Jawa Timur, tradisi membersihkan diri dapat dilakukan dengan merebahkan diri ke kolam, atau membersihkan diri dengan berjongkok, menunduk atau berdiri menerima kucuran air dari saluran air (jaladwara) yang airnya memancur melalui pancuran berbentuk makara atau padma. Tradisi bersih kali ala Majapahitan ini sampai kini masih dapat ditelisik di situs patirthan candi-candi peninggalan Majapahit di belahan Jawa sisi timur, mulai dari percandian di Lereng Lawu ke arah timur sampai Malang dan sekitarnya.

Membasuh diri dalam tradisi klasik menjadi simbol pembersihan diri dari dosa, pikiran dan perbuatan jahat, untuk kemudian masyarakat perdesaan memulai dengan melakoni kehidupan baru mencapai kesempurnaan.  Di beberapa situs patirthan, air yang memancur menjadi simbol air susu ibu yang suci. Air susu yang mampu meluruhkan racun yang mengotori tubuh, agar kehidupan selanjutnya menjadi suci, bersih kembali dari noda dan dosa, mampu mencapai kesempurnaan moksa kembali ke swargaloka.

Ritual bersih kali secara ekologis menyiratkan pesan kuna, bahwa masyarakat sesungguhnya sudah memiliki kesadaran dan keswadayaan sejak awal mula kemunculan satuan masyarakat dalam perdusunan atau perdesaan. Bahwa mereka harus menjadi tameng pertahanan keberlangsungan sumber daya air yang menjadi sumber kehidupan pertaniannya. Sumber-sumber air permukaan tanah yang umumnya terletak di elevasi terbawah dari area perbukitan di kanan kirinya harus dikeramatkan. Dikeramatkan adalah kata lain dari di-sengker-ke atau sinengker, dianggap sebagai tempat khusus, tidak boleh diperlakukan secara sembarangan. Pohon dan segala macam yang ada di kanan kirinya tidak boleh sembarangan diambil, ditebang atau dibabat habis. Segala yang keramat baik bukit kapur maupun pepohonan itu terbukti mampu menyimpan tandon air, sebagai penyokong hidup masyarakat yang mendiami lingkungan sekitarnya.

Pesan ekologis kuna ini sesungguhnya seiring-sejalan dengan nalar ilmu modern, bagaimana mengusahakan ekonomi produksi sekaligus menjaga konservasi alam. Mengusahakan sumber daya alam dengan segala daya dan upaya tak kenal lelah untuk keberkahan hidup itu sebuah kemestian. Tetapi membabat vegetasi tanpa aturan, membongkar gunung tanpa aturan akan berefek jangka panjangnya matinya sumber daya air, dan pada akhirnya mematikan kehidupan manusia itu sendiri. Ini juga menyiratkan pesan, bahwa sektor kepariwisataan itu oke-oke saja dan baik-baik saja. Tetapi masyarakat agraris yang bertumpu pada sektor pertanian itu tidak boleh ditinggalkan begitu saja apalagi diabaikan, tanah pertanian dan pekarangan menjadi bero semua. Akan menjadi kisah pilu manakala kita menjamu tamu para wisatawan, namun ternyata kita defisit atau kehabisan produksi beras, jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, dan uba-rampe-nya.

Ikrar dan doa dalam kenduri bersih kali atau bersih dusun di Gunungkidul, dengan balutan bahasa doa transedental Pak Kamituwa atau Pak Modin yang runtut dan indah diselingi doa berbahasa Arab sesungguhnya menjadi permohonan belas kasih kepada Sang Pengada Kehidupan atas kesalahan, dosa, pikiran dan perbuatan jahat masyarakat, sekaligus sebagai ikrar yang memantik nyala api perubahan diri. Pembersihan diri dari dosa, pikiran dan perbuatan jahat yang telah dilakukan, untuk kemudian kesanggupan untuk melakoni kehidupan yang baru. Kesanggupan yang disertai pengharapan hadirnya kesejahteraan lahir dan batin dalam masyarakat.

Menilik akar sejarah tradisi bersih kali di Gunungkidul yang memiliki tautan erat dengan tradisi turun-temurun setidaknya sejak jaman klasik tersebut, maka ada satu pertanyaan yang timbul sekaligus menjadi perenungan bersama. Sudahkah tradisi bersih kali di Gunungkidul itu sekaligus menjadi ritual membersihkan diri kita semua selaku subjek dalam kehidupan masyarakat? Baik sebagai masyarakat yang hidup dan berjuang di wewengkon Pareden Kidul wetan Lepen Opak (tanah pegunungan kapur di belahan sisi timur Sungai Opak) maupun masyarakat Gunungkidul yang hidup dan berjuang di tanah perantauan.

Atau sebaliknya, akankah tradisi bersih kali atau bersih desa sekadar akan kita reduksi sebagai komoditas atau daya tarik wisata budaya untuk menggelembungkan PAD kita atau dompet pribadi kita atas nama ekonomi kepariwisataan? Jawabnya ada dalam diri kita masing-masing.

Facebook Comments Box

Pos terkait