Warga Tambakromo Gelar Upacara Sedekah Bendungan Secara Climen

Tradisi sedekah bendung Tambakromo, Ponjong. Foto: Edi Padmo.

SEPUTARGK.ID – Warga masyarakat Dusun Tambakromo Ponjong menggelar upacara sedekah sumber air Bendungan Tambakromo secara climen, pada Kamis (3/6/21) kemarin. Digelarnya upacara secara sederhana ini karena situasi pandemi Covid-19. Tradisi sedekah sumber air ini merupakan upacara tradisi yang penting bagi masyarakat Dusun Tambakromo, karena sejarah keberadaan Bendung Tambakromo ini menjadi sumber air andalan masyarakat setempat.

Berdasar cerita tutur yang berkembang di tempat ini, wilayah ini dulunya adalah daerah yang kering, dan namanya juga belum Dusun atau Desa Tambakromo. Kondisi kekurangan air membuat penduduknya kesulitan untuk menggarap ladang pertanian mereka. Padahal pertanian menjadi andalan pokok masyarakat setempat untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bacaan Lainnya

Kondisi kekurangan air di wilayah ini pertama kali diketahui pada masa kepemimpinan Ki Demang Karto Prawiro. Padahal di wilayah ini mengalir sebuah sungai yang cukup besar yang bernama sungai Sor Talang.

Kondisi kekeringan yang menyulitkan kehidupan warga desa ini pada akhirnya terdengar pihak Keraton Yogyakarta. Kemudian pihak Kraton Yogyakarta mengutus seseorang bernama Raden Suryaningrat untuk mengatasi masalah kekurangan air ini.

Raden Suryaningrat dan Ki Demang Karto Prawiro bersama masyarakat di tempat ini akhirnya bahu membahu membuat bangunan untuk membendung sungai Sor Talang. Tujuan dari membendung sungai ini adalah agar airnya bisa untuk mengairi sawah sawah dan ladang penduduk yang letaknya jauh dari sungai.

Masih menurut cerita tutur, pengerjaan bendungan yang digagas oleh Raden Suryaningrat atau yang dikenal dengan panggilan Romo Suryo ini berhasil diselesaikan sekitar tahun 1930. Dengan berhasilnya pembangunan bendungan, masyarakat yang dulunya kesulitan air untuk bertani, maka saat itu bisa mengairi dan menggarap sawah dan ladang mereka dengan air Sungai Sor Talang.

Setelah diselesaikannya pembangunan bendung tersebut, kemudian Ki Demang Karto Prawiro kemudian mengajak seluruh masyarakatnya untuk mengadakan sedekah atau syukuran sebagai wujud ucapan terima kasih atas selesainya pembangunan bendungan, sehingga terwujud daerah yang subur, tidak kekurangan air dan panen bisa melimpah.

Sebagai bentuk penghargaan masyarakat setempat kepada Raden Suryaningrat, maka sejak saat itu wilayah ini dinamakan Tambakromo. “Tambak” bermakna bendungan, sedangkan “Romo” adalah panggilan masyarakat untuk Raden Suryaningrat, yaitu Romo Suryo.

Tokoh masyarakat setempat, Saimin yang saat ini juga menjadi Pejabat Dukuh Tambakromo menyampaikan cerita tutur tentang asal usul nama Tambakromo pada saat berlangsungnya tradisi sedekah bendung Tambakromo. Menurutnya, tradisi ini telah diwariskan masyarakat Tambakromo secara turun-temurun lintas generasi. Sampai saat ini tradisi sedekah bendung juga tetap masih dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Padukuhan Tambakromo, Kalurahan Tambakromo, Kapanewon Ponjong, Gunungkidul.

“Kalau tidak di masa pandemi, Sedekah Bendungan ini sangat ramai. Bisa diadakan sehari semalam, menampilkan banyak kesenian, kirab, dan pagelaran wayang kulit,” kata Saimin.

Sampai hari ini, tradisi Sedekah Bendungan memang merupakan suatu hal yang istimewa bagi masyarakat Tambakromo. Tradisi ini merupakan wujudi rasa syukur mereka atas anugerah Tuhan. Keberhasilan para leluhur desa membangun bendungan telah membuat wilayah mereka menjadi wilayah yang subur, makmur, gemah ripah loh jinawi.

Saimin mengungkapkan, tradisi sedekah bendung tahun ini dilaksanakan secara sederhana. Mereka mengistilahkan dilakukan secara climen karena masa pandemi. Ia juga menerangkan, tradisi upacara ini biasanya dihadiri oleh seluruh masyarakat Tambakromo, bahkan banyak masyarakat dari luar yang ikut hadir.

“Menurut anjuran pemerintah, maka untuk upacara Sedekah Bendungan tahun ini kami laksanakan dengan “climen”, agar tidak terjadi kerumunan,” terang Saimin.

Kendati “climen”, upacara masih berlangsung dengan khidmat. Pada saat upacara berlangsung, sejumlah masyarakat Tambakromo duduk bersila di tepi sungai yang tidak jauh dari Balai Pedukuhan Tambakromo. Masing masing warga tampak membawa tempat yang berisi berbagai jenis makanan.

Setelah semuanya berkumpul, seluruh makanan dibuka dan disajikan di atas daun pisang. Kemudian, sajian ini didoakan oleh sesepuh masyarakat. Jalannya upacara tradisi ini dilaksanakan dengan pengantar Bahasa Jawa.

“Sedekah Bendungan ini tetap kami jaga dan kami “uri uri” menjadi tradisi turun-temurun, sebagai pengingat bagaimana wilayah ini berdiri. Tradisinya dilakukan dengan kenduri bersama, makan bersama, serta membawa sesaji,” jelas Saimin.

Saimin menambahkan, acara yang biasanya sangat meriah dan diikuti oleh seluruh masyarakat, di masa pandemi ini hanya diikuti oleh satu orang dari tiap keluarga.

“Waktu pemyelengaraan acara juga dibatasi, hanya sampai siang, tidak sehari semalam seperti biasanya,” tandas Saimin.

Sementara itu, Lurah Tambakromo, Sudigdo Wiyoko Nugroho mengatakan, bahwa pihaknya memang berupaya sebisa mungkin agar kerumunan massa besar tidak terjadi.

“Bagaimana agar upacara sedekah dapat terlaksana, tapi juga tidak melanggar protokol kesehatan untuk antisipasi penyebaran pandemi,” kata Sudigdo.

“Uupacara kali ini difokuskan pada doa bersama dan memasang sesajen. Untuk proses memasak dan makan bersama yang biasanya dilakukan seusai upacara, saat ini dilakukan di rumah warga masing-masing,” imbuh Sudigdo.

“Walau tidak meriah seperti biasanya, yang penting doa dan harapan baik tetap kami panjatkan. Doa dan harapan agar panen tahun besok lebih melimpah, masyarakat selalu sehat dan dijaga dari segala marabahaya, dan pandemi segera berlalu,” pungkas Sudigdo. (Edi Supadmo).

Facebook Comments Box

Pos terkait