Musim beginian teringat masa kecilku tatkala masih sekolah dasar di sebuah kampung yang belum ada listrik, belum ada TV, belum ada aspal, belum ada android. Jadi belum ada selfie-selfie gaees.
Zamanku masih kecil dulu, musim panen padi seperti saat ini merupakan saat yang menyenangkan bagi saya dan anak sebaya. Sambil terus mengingat tempo dulu, ternyata begitu cepat waktu menggilas peradaban manusia. Sentuhan teknologi terkadang menghilangkan kegotong-royongan petani desa. Istilah sambatan sekarang sudah beralih dengan bekerja dengan imbalan upah yang berupa uang.
Dengan sentuhan teknologi, mampu menggantikan banyak peran manusia dalam proses bertani bahkan dari sisi waktu bisa lebih cepat.
Tulisan ini teruntuk anakku, agar kalian tahu bagaimana masa kecil bapakmu yang lahir dari pasangan petani tulen, agar kamu juga bisa sedikit empati kepada simbahmu atau tetangga yang masih bertani. Untuk mendapatkan nasi yang seperti sekarang sudah tersaji setiap pagi di meja makan, bapakmu dulu harus berjuang lebih dahulu, karena dulu belum ada BPNT dan Kartu Sembako seperti saat ini.
Ayahmu ini lahir dan besar di sini belum punya pengalaman hidup di kota besar. Jadi sejak kecil bergelut dengan para petani, Ketahuilah bahwa enbahmu dulu itu seorang petani jekek (tulen), sehingga kehidupan bapakmu itu sangat akrab dengan segala tetek-bengeknya pertanian begitu familier dalam kehidupanku.
Dulu sehabis sekolah, aku rela tidak bisa mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang diselenggarakan pihak sekolah. Masalahnya aku langsung membantu embahmu ini semata-mata demi bhaktiku pada orang tua. Maka semua pekerjaan petani aku hampir semua bisa melakukannya. Berbagai pekerjaan petani aku ceritakan berikut ini:
1. NYEBAR
Anakku, apa kamu tahu yang namanya nyebar? Pastilah tidak tahu, karena aku sudah tak lagi mengajarkanmu tani saat ini. Tapi ketahuilah, bahwa nyebar adalah kegiatan menaburkan bibit padi (gabah) secara merata dengan jarak yang diperkirakan rata-rata 10 cm pada lahan tegalan sebelum dilakukan proses mluku dan nggaru. Pekerjaan ini biasanya diawali oleh simbah, baru dilanjutkan oleh bapak, karena ada rafal doa atau mantra yang dipanjatkan agar tumbuh subur dan hasilnya melimpah.
2. MLUKU DAN NGGARU
Nah ini kamu juga pasti gak tahu kan karena sekarang dah jarang orang mluku dan nggaru, yang ada adalah nraktor (dari kata traktor) yang sama-sama membajak tanah. Mluku dan nggaru ini dalam bahasa Indonesia terkenal dengan istilah membajak, yaitu suatu pekerjaan yang menggunakan bantuan tenaga sepasang kerbau atau sapi untuk membalik tanah dan meratakan tanah menjelang lahan tegalan akan ditanami. Mluku dan nggaru ini merupakan pekerjaan yang paling aku senangi waktu masih anak-anak. Sewaktu orang tua melaksanakan mluku dan nggaru ini aku sering membonceng garu yang sedang ditarik kerbau atau sapi.
3. MATUN
Matun ini dikenal dengan istilah membuang rumput atau gulma yang tumbuh disekitar padi. Agar padi tumbuh sempurna maka gulma ini harus dibuang, kalau tidak dibuang akan menghabiskan nutrisi tanah yang seharusnya dimakan padi. Matun ini dilakukan dengan tangan dengan alat gathul. Kegiatan ini biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu secara berkelompok.
3. WIWIT
Inilah yang paling aku suka di masa kecilku. Wiwit ini adalah budaya Hindu-Jawa yang diakulturasi dengan budaya Islam (shodaqoh/tasyakuran). Wiwit adalah prosesi awal masa panen padi dengan didahului membawa sesaji ke pojok lahan sawah yang akan di panen keesokan harinya.
Wiwit ini didahului dengan ngawin padi. Dalam ngawin padi ini diambil tiga dapur padi yang kemudian diikat menjadi satu, kemudian di bawahnya ditaruh nasi buceng. Nasi buceng ini dimasak dengan diliwet (ditanak dalam kuali) dengan lauk-pauk sambel gepeng. Sambel gepeng adalah masakan khas untuk wiwit dengan bahan ikan gereh-pethek (ikan kering) yang dibakar dan dikasih sambal terasi serta tumbukan kacang tholo atau kedelai yang disangrai sebelunya. Selain sambal biasanya ditambah dengan sebutir telur ayam Jawa yang direbus.
Dalam wiwit ini juga disertakan kembang bureh dan sepasang sisir dan kaca cermin. Menurut cerita orang tua, dalam mitologi Jawa dikenal Dewi Sri/Dewi Sang Hiyang Asri (dewi kesuburan). Dewi Sri ini adalah dewi yang sangat cantik berambut panjang gemulai yang menguasai dan mengatur bahan pangan, menjaga padi sejak masa tanam sampai masa panen, sehingga setelah panen padi menjadi kekuasaan petani. Dewi Sri ini dimuliakan sejak masa kerajaan kuno ditanah Jawa seperti Pajajaran dan Majapahit.
Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya.
Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan Dewi Sinta dari kisah Ramayana.
Untuk menghormati jasa Dewi Sri, maka pada prosesi wiwit selalu disediakan sisir dan kaca cermin. Dikandung maksud agar Dewi Sri ini bisa istirahat dan bersisiran merapikan rambutnya. Wiwit ini biasanya dilaksanakan setelah matahari tenggelam dan kemudian kesokannya padi baru bisa dipanen dengan terlebih dahulu mencabuti weden. Wiwit ini dahulu sering mengajak anak-anak untuk “gagahi“ nasi buceng. Gagahi mengandung arti menikmati nasi buceng setelah terlebih dahulu dimakan Dewi Sri.
5.PANEN
Panen padi pada waktu dulu tidak seperti panen padi pada saat ini, di mana panen padi saat ini menggunakan teknologi yang lebih modern, lebih cepat dan sedikit melibatkan orang. Dulu simbahmu masih menggunakan peralatan seadanya, melibatkan banyak orang kurang lebih 30-an orang.
Selain itu, varitas padi dulu dengan sekarang berbeda, dulu varitas padi terkenal dengan varitas unggul semisal Rojolele, Mentik, dan Ketan yang berumur lebih lama dibandingkan dengan varitas padi zaman sekarang, dengan bulir dan tangkai yang panjang dan berambut (bersungut). Sedangkan varitas padi zaman sekarang lebih didominasi varitas padi yang berumur pendek semisal IR 46, Pelita, Cisadane, Membramo dll, dengan bulir dan tangkai padi yang pendek tak berambut.
Maka, cara memanen pun berbeda. Panen padi sekarang menggunakan sabit dan dan parang sebagai alat memanen dan langsung dimasukkan alat perontok padi atau treshser.
Sedang zaman kecilku dulu. simbah menggunakan alat panen yang bernama “ani-ani “. Ani-ani ini terbuat dari papan tipis berukuran 12×5 cm yang dipakai untuk menancapkan semacam pisau kecil dan disambung dengan bambu berdiameter 2 cm dengan panjang 12 cm sebagai pegangan pemanen.
Ani-ani ini dulu sangat populer di masa itu. Untuk bisa memanen padi diperlukan keahlian khusus untuk menggunakannya, salah-salah bisa tangan kita yang berdarah-darah.
Setelah bulir-bulir padi selesai dipanen, kemudian dijadikan satu dan diikat. Ikatan padi ini lebih terkenal dengan sebutan “ayaran padi“.
6. NUTU
Kegiatan terakhir adalah nutu, kalau sekarang selepan. Nutu adalah kegiatan menumbuk padi yang masih berbentuk ayaran sampai rontok berupa gabah, gabah terus ditumbuk dalam lesung atau umpak sampai menjadi butiran beras dan bekatul. Proses berikutnya adalah memisahkan antara beras, katul sama merang/sekam padi dengan cara di-interi atau di-keplek-ke. Bahasa Indonesianya apa ya? Hehehe…..
Kalau zaman sekarang, gabah masuk mesin selepan, keluar sudah sendiri-sendiri. Ada beras, ada bekatul dan sekam.
***
Nglebak Katongan, 22-3-2020.