Bokong Sambernyawa

Watukong di Gunung Gambar Ngawen, diyakini sebagai tempat bertapanya RM Said. Foto: WG/Swara.

Selain panjang-pendek tubuh, ‘bokong’ juga digunakan untuk mengukur panjang-pendek umur (hidup). ‘Bokong’ disuntik dengan alat tertentu. Yang disuntikkan di ‘bokong’ tak lain usada-modern: obat. Obat disuntikkan di pusat daging, bukan di tulang. Bokong, tak lain tak bukan adalah daging. Bokong lah pensuplai daging jika ada bagian tubuh yang lain yang kehilangan. Tumpukan daging di bokong merupakan cadangan makanan dan sumber energi. Jaringan di bokong mempermudah terjadinya regenerasi jika dipindahkan. Di puncak bokong terdapat cluwokan, yaitu lesung yang diturunkan turun-temurun, yang mewariskan kode-genetika bahwa manusia mampu menemukan dirinya sendiri (tubuh dan pikirannya) jika manusia memahami bahwa bokong lah ruang dan waktu dimana keluarga manusia dapat mengembara dengan nalarnya, sekaligus mandheg karenanya.

Bokong Sambernyawa

Bacaan Lainnya

Syahdan, seorang anak raja memahami sumber energi dan kode-genetik dalam bokongnya (baca: dirinya). Anak raja itu kemudian secara sungguh-sungguh membuat ‘bokongan galengan’ di wilayah Mataram menggunakan ‘bokong’nya (baca: kedudukannya). Ia mencoba ‘mbokongi’ (memperkuat kedudukan) wilayahnya sendiri: tujuannya agar wilayah-kerajaannya (yang telah ‘dibokongi’ sekelilingnya) dapat didakukan. Sementara ‘bokongan’ yang dibuat itu pada akhirnya nanti, lewat ‘phala’ (buah-perjuangan), dapat ‘mbokongi’ (menyangga) kehidupan rakyatnya. Namun, pada suatu waktu, orang yang pernah ‘dibokongi’ (disangga kedudukannya), setelah perang usai, justru (berniat) merubuhkannya, menumpasnya. Orang (yang pernah ‘dibokongi’) terang-terangan menyerang dari arah ‘praenan’ (muka).

Maka, di kemudian, berawal dari ‘papan-palungguhan bokong’nya, ia menggugat: ia ‘mirong kampuh jingga’ (melawan).

Mas Said namanya. Ia mendudukkan ‘bokong’nya di ketinggian bukit (bertapa). Di Ngawen. Tepat di sisi selatan Sang Gadhingmas moksa. Sang Raden Mas bertirakat menghadap matahari; sementara Sang Bokong membelakangi bagaspati. Untuk beberapa waktu ‘sang bokong’ menjadi ‘pancer’ (pusat) pengembaraan spiritualnya. Ia hendak ‘mbokongi’ beteng rakyat-pribumi dari cengkeraman pengkoloni. Ia, rasa-rasanya, mencoba ‘mbenakke palungguhan’nya di kraton, atau ‘nggoleki palungguhan sejati’. Ia mencoba menata ‘papan-lungguh’. ‘Papan-lungguh’ adalah ‘papan-mungguh’; tempat-berada tempat-mengada. Selaras dengan nama mudanya, ia memilih ‘papan-lungguh’ dan ‘papan-mungguh’ sebagai “suryakusuma”: bunga-matahari.

Kini, bebatuan kapur tempat sang Suryakusuma ‘lungguh-mungguh’ menjelma ‘cluwokan’ berbentuk ‘bokong’ (mal-bokong): Watu Kong. Gambaran tentang ‘mirong’, tentang ‘mbokong’, atau tentang ‘mledhingi’ pemerintah Kolonial tak selang beberapa lama ia peroleh, ia gambarkan di bongkahan batu. Gambaran tentang sebuah strategi tempur (gerilya) demi meraih ” tijitibeh”: ‘mukti siji mukti kabeh’! Menuntut kematian sang ayah dengan bayaran nyawa!

Ia, yang di kemudian terkenal dengan Sambernyawa, ‘mungguhake bokong’ sebagai ‘sangga-buwana’ (dasaran ilmu memangku-bumi menyangga-negeri) bagi anak-cucu, berawal dari ‘nyedhitake’ sebuah bukit/gunung (sangga-langit): Gunung Gambar (Gempol). Ia, kemudian, turun gunung. Ia dengan ‘laku-lelembut’ mengumpulkan ‘bokong-bokong’ (prajurit-prajurit) di sekitar Klaten, Wanagiri, Semin, Ngawen, Karangmaja, Rongkop, Nglipar, untuk diajak berperang-gerilya dengan cara ‘mbokongi’. Untuk merebut ‘bokong’ (kedudukan) di jantung-negeri yang seharusnya adalah miliknya.

Yaitu ‘bokong’ leluhurnya.

Ia, yang awalnya sosok indah bagi Kolonial, telah ‘ngandelake bokong’, lantas berganti ‘mbokongi’ musuh-musuhnya. Ia berhasil ‘mledhingi’ lawan-lawannya.

***

(WG)

Facebook Comments Box

Pos terkait