Kebo Kanigara

Penari Reyog Mudha Manunggal, Dusun Kaligayam Rejosari, Semin Gunungkidul. Swara/Kl
Penari Reyog Mudha Manunggal, Dusun Kaligayam Rejosari, Semin Gunungkidul. Swara/Kl

Keeropaan, keindiaan, keamerikaan, keafrikaan, kemongolan, kekoreaan, kejepangan, kehawaian, keastecan, kesundaan, kebalian (kebalen), merupakan beberapa pararelisme yang bisa digunakan untuk mendekati apa itu kejawaan atau kejawian atau kejawen. Jika Eropa didefinisikan sebagai semesta budaya kulawangsa Eropa (wanita cantik, universal) yang ‘mengembara’ hingga benua Amerika dan Australia, maka keeropaan meliputi cakupan pengembaraan definisi ini. Jika India diterjemahkan meliputi bangsa-bangsa di India, di Nusantara, bahkan bangsa Indian di Amerika, maka keindiaan di dalamnya tersimpan khasanah budaya ketiganya. Nama-diri dan ciri-ciri spesifik suatu wangsa, yang rekat dengan ikatan kewilayahannya, yang lekat dengan semesta jati dirinya, menjadi melebar, atau menciut; menjadi kabur.

Bergantung sudut memandang anggota kulawangsanya sendiri (yang lahir dan diturunkan oleh genetika wangsanya) terlebih sudut pandang wangsa lain (liyan).

Bacaan Lainnya

Perang (budaya, teknologi, pasar, ide, dll) antar wangsa (bangsa), antar ‘agama’, antar ideologi, mungkin bermotif ide chauvinis-etnosentris (barangkali secara lembut seperti pemikiran saya lewat status ini, namun saya tak bermaksud agar pemikiran saya mengungguli punya Anda karena sering sekali saya salah, alih-alih agar Anda setuju dengan saya: usah lah setuju!) bahwa para anggota kulawangsanya merasa lebih besar dari pada bangsa lain, lebih tinggi derajadnya, lebih awal lahirnya, bahwa ideologinya lebih benar dan lebih bisa diterima oleh kulawangsa-kulawangsa dan lebih bisa digunakan untuk membaca alam semesta, bahwa agamanya yang paling sempurna di antara yang lain, lalu menekan, berusaha mengonversi, menihilkan, dan mengalahkan yang lain.

Jawa, atau Jawi, sebagai wali kulawangsa manusia, bahasa, dan wilayahnya, serta ide-ide dan unsur-unsur budaya yang bergelantungan di sekitarnya, tentu sangat kabur batasnya: bisa sangat lebar, atau sangat ciut (seciut-selebar siapa yang membatasinya). Siapa yang Jawa itu? Yang tinggal di wilayah mana? Yang berpakaian a la apa? Bahasanya yang mana? Wilayahnya sampai mana? Ipteknya yang seperti apa? Apakah Jawa yang sangat India sekaligus sangat Arab, sangat Yunani, sangat Inca sangat Mesopotamia, dan sangat Cina? Yang berkebatinan seperti apa: Hindu, Buda, Budha, Islam, Pagan, Agnostik, Kristen, Katholik? Yang berkeyakinan pada Tuhan? Pada Allah? Pada Hantu? Pada sains? Pada Pohon Kehidupan (Kekayon)?

Saya menggambarkan Jawa (Nusantara) itu seperti siti, Siti Jawa, atau tanah, tanah-suci (‘pure-land’): yang banyak wangsa berpijak di atasnya. Yang memakai pakaian beraneka rupa. Yang tumbuh pala gantung, palawija, palapendhem dari rahimnya. Di permukaan kulitnya. Yang banyak tokoh suci tapa-brata ingin selalu asyik-masyuk mengembara di gunung, lembah, dan lautnya. Para tokoh yang berlaku suci. Yang banyak korporasi ‘krasan’ menimba keberdayaan alam di puting-puting susunya.

Jawa tumpang tindih dengan Sunda, dengan Bali, Arab, Yunani, dll. (keetnisan, kebudayaan) dan dengan Hindu, Islam, Budha, dll. (keagamaan, spirit).

Penggambaran tentang, atau keyakinan tentang kejawaan/kejawen pun bisa melebar atau menciut, bergantung peperangan akal dan batin personalnya (anggota kulawangsa Jawa atau non Jawa). Bagi yang menempatkan kejawaan itu ordinat dibanding yang lain, maka kejawaan/kejawen akan dilabeli pakaian ‘positif’ (darma). Sebaliknya, bagi yang menempatkan kejawaan itu sub ordinat, bahkan subsubsubordinat dibanding ide/batin yang lain, atau bahkan ‘musuh’ (adarma; yang harus dikalahkan, ditumpas, dinihilkan), pelabelan pada perihal kejawaan/kejawen bisa sangat negatif.

Para wangsa di Siti Jawa berperang mencari jati-diri (dalam balutan drama kejawaan). Sementara diri sejati tertutupi ‘klambi-klambi’/’ageman’. Para wangsa berdarma selaras perannya; menggunakan ‘ageman’ dirinya.

Klambi/ageman/pakaian kejawaan atau kejawian atau kejawen, dengan itu, melekat kuat pada tubuh wangsa Jawa, seperti konstruksi klambi/ageman yang ada dalam penalarannya, yang diyakini kebenarannya dan diterapkan di kehidupannya. Ageman lahiriyahnya bisa berupa udheng, sorjan, atau jarik/sinjang. Sementara ageman batiniyahnya bisa berupa tindak tapa brata teki-teki, seperti yang dilakukan oleh para nabi dan tokoh suci.

Para tokoh suci di suatu tempat yang dianggap suci melakukan puja semadi, bertarak-brata, ‘mesu’ diri pribadi. Telah lazim dipahami bahwa di dalam ideologi serta pergulatan batin kejawaan (yang spiritnya berbanding lurus dengan semangat agama-agama), perang yang amat purwa adalah perang dengan ‘diri’ sendiri. Nafsu adalah pakaian ruhaniah yang perlu diangon, didomestifikasi.

Ki Ageng Kebo Kanigara diyakini oleh kulawangsanya sebagai tokoh suci kejawaan yang berpuja-samadi di wilayah Kaligayam Semin. Ia bertapa brata teki-teki, ‘menyingkir’ dari keratuan Majalengka. Ia memerangi dirinya sendiri. Ia mengingatkan para kulawangsa Jawa bahwa kehidupan adalah dialog intensif antara darma dan adarma. Agar tak menjelma adarma, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya. Menjadi sebuah pantangan bagi para anggota kulawangsa melakukan peperangan sebelum mengalahkan keakuannya sendiri.

Kejawaan atau kejawian, tanpa menihilkan peran ageman-ageman, dan saya anggap sebagai sebuah ageman, belajar dari laku Ki Ageng Kebo Kanigara di narasi reyog Gunungkidulan kali ini, adalah laku terus menerus untuk selalu memerangi keterpecahan diri yang buruk. Tokoh yang mencoba memusat. Menghening. Di teleng diri. Kejawaan mengingatkan para putra kulawangsa untuk dapat mengendalikannya, keterpecahan/peperangan itu, menyatukannya kembali menjadi konstruksi diri sejati. Diri yang welas-asih kepada yang dikategorikan ‘mungsuh’, mencintai siapa pun dan apa pun, yang momot dan yang momor kulawangsa dan wangsa-wangsa, budaya-budaya, agama-agama, di dalamnya. Kejawaan mencoba menelurkan konstruksi diri yang ‘Jawa’. Yang meskipun, bagi sudut pandang kebanyakan orang, terlebih yang mengkategorikan dirinya non Jawa, temaram bentuknya seperti apa.

“Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti”, begini piwelingnya. Piweling tokoh Jawa: Ki Ageng Kebo Kanigara.

(Kl).

Facebook Comments Box

Pos terkait