Marengan

Marengan, musim tanam kedua di wilayah selatan Gunungkidul. Foto: Woro.

Petani tradisional di Gunungkidul memakai istilah merengan untuk menyebut musim paska panen pertama dalam pola pertanian tadah hujan. Makna lain yang nyaris sama adalah musim tanam kedua. Dalam kalender matahari, musim marengan dimulai akhir Februari atau awal Maret dan berakhir pada pertengahan Mei.

Namun kaidah ini tak mutlak. Pada tahun ini misalnya, marengan terjadi pada akhir Maret bahkan awal April. Situasi ini terjadi akibat mundurnya awal musim hujan tahun lalu. Di musim marengan, pohon-pohon masih hijau, belum banyak bunga-bunga dan buah-buahan yang ada secara alamiah belum manis, masih hambar.

Bacaan Lainnya

Musim marengan adalah masa-masa yang amat sibuk bagi petani. Setidaknya among tani akan dihadapkan pada kesibukan memanen, membersihkan lahan dan menanam benih. Kerepotan akan lebih bila petani menanam padi. Prosesnya lama, ribet dan tak bisa ditunda. Bila terlambat memanen akan berisiko rontoknya gabah di ladang.

Musim marengan ditandai munculnya suara-suara garengpung dari dahan-dahan pohon yang tinggi, lepas pagi menjelang siang. Hewan lain yang menandai marengan adalah sudah berubahnya belalang dari ‘dogolan’ (belalang muda yang masih empuk dan belum bisa terbang) menjadi belalang yang sudah dewasa (berbulu terbang dan tubuh keras) atau bahkan sudah ‘gancetan’, sudah kawin.

Namun tanda terkuat ‘mongso’ marengan adalah berkurangnya curah dan frekuensi hujan. Hujan mulai jarang turun, sekalinya turun hanya sebentar dan curah hujan tak banyak. Maka saat marengan amat jarang dijumpai luapan air atau banjir besar. Guntur juga mulai terdengar menyertai turunnya hujan. Sering terjadi, guntur lebih dahsyat dibanding hujannya.

Karena sedikitnya air hujan yang turun, maka para among tani akan menanam tanaman yang tak terlalu butuh air dan durasi panen lebih pendek semacam kacang-kacangan atau kedelai. Menanam padi jelas bukan pilihan bijak dan amat riskan gagal panen.

Beberapa petani yang tak mau ‘berjudi’ dengan alam memilih menanam kolonjono sebagai persediaan pakan ternak mereka.

Lokasi: Ketonggo, Hargosari, Tanjungsari

 

Facebook Comments Box

Pos terkait