Menelisik Kisah Hutan Jadi di Gunungkidul

Melintas di kawasan hutan jati Banyusoca Playen Gunungkidul. Foto: Tugi.

Sejak kapan jati (tectona grandis) tumbuh atau tertanam di hutan Nusantara khususnya Pulau Jawa dan pulau sekitarnya tidak diketahui dengan pasti. Menurut para ahli, ada 2 pendapat tentang asal-usul tanaman jati. Pertama, tanaman ini merupakan tanaman asli yang telah tumbuh di Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Kedua, jati diyakini berasal dari daratan Asia: India, Myanmar, Laos, dan Kamboja. Jati masuk ke Nusantara dibawa para penyebar agama Hindu yang masuk ke kepulauan Nusantara pada abad ke-2 Masehi. (Smiet AC: Forest Ecology on Java: Conversion and usage in a historical perspective,1990, sebagaimana ditulis ulang oleh Tyas M Palupi & Irfan B Pramono dalam buku Hutan Jati: Tempat Tumbuh, Hasil Air, dan Sedimen, UNS Press, 2017).

Hutan jati di Indonesia, terluas dijumpai di pulau Jawa. Luas areal hutan jati sebanyak 1.000.534 ha atau 67% dari hutan produksi yang ada di Jawa (Perhutani, 2014). Selain di Jawa, hutan jati juga dijumpai di Pulau Muna Sulawesi Tenggara. Saat ini jati juga dikembangkan mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga di Papua.

Bacaan Lainnya

Nah, para pembaca semua pasti sudah paham kabupaten-kabupaten mana saja di Pulau Jawa yang memiliki hutan jati. Kabupaten Gunungkidul dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan hasil hutan berupa tanaman jati tadi.

Sekilas Jejak Sejarah Hutan Jati di Gunungkidul

Wilayah kehutanan Gunungkidul pada jaman pemerintahan Hindia Belanda disebut sebagai Afdeling Gunungkidul yang masuk di bawah Residen Yogyakarta. Karena wilayah Gunungkidul semenjak Perjanjian Giyanti (1755) merupakan wilayah Kasultanan Yogyakarta, maka kehutanan wilayah Gunungkidul juga dikelola secara swapraja oleh Kasultanan. (Ignasia P Septariska & Rini AA Ekaputri: Pengelolaan Hutan Jati di Afdeling Gunungkidul 1834-1933, Jurnal Lembaran Sejarah, 2001).

Hutan jati di Gunungkidul telah ada sejak lama dan tidak diketahui asal-usulnya. Menurut cerita rakyat, Gunungkidul pada jaman Hindu masih tertutup hutan yang lebat dan menjadi tempat pertapaan atau perguruan yang salah salah satunya menjadi tempat perguruan bela diri dan persembunyian para pemberontak. Pada masa Mataram Islam, wilayah hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para pemberontak dan orang-orang yang enggan mengikuti aturan raja. (periksa: Sudibyo ZH: Babad Tanah Jawa, Depdikbud, 1980, dan Lasman Marduwi dkk: Babad Penambangan, Depdikbud, 1981).

Pada jaman perang Diponegoro (1825-1830), kondisi hutan jati Gunungkidul masih tampak luas, kecuali bagian timur zone Ledok Wonosari yang telah banyak beralih fungsi menjadi kawasan permukiman penduduk. Menurut laporan perjalanan FW Junghuhn, seorang ahli ilmu bumi dan ilmu tumbuhan, pada sekitar tahun 1836, pohon-pohon jati yang tumbuh di batuan kapur banyak tumbuh di pegunungan Batur Agung bagian utara, selatan Kebo Kuning sampai dengan Awu-awu. Junghuhn menyebutkan pula, bahwa hutan di sekitar desa telah berkurang dan di sekitar permukiman hanya ditumbuhi alang-alang saja. Kondisi ini disebabkan oleh kebiasaan penduduk membakar alang-alang untuk membuka lahan dan mengusir binatang buas. Oya, Junghuhn ini jaman dulu sudah blusukan sampai wilayah Gunungkidul lho, bahkan sampe ujung tenggara di Girisubo sana. Nanti lain ada kawan yang bakal menulis napak tilas jejak eksplorasi geografis dan botanikal Junghuhn di Gunungkidul.

Tahun 1840-an, menurut Cordes (Inspektur Jawatan Kehutanan) Gunungkidul masih ditumbuhi hutan jati yang bagus dan luas. Tetapi, empat puluh tahun kemudian atau sekitar tahun 1881 hanya tinggal sisa-sisa. Kerusakan hutan jati ini disebabkan pemenuhan kebutuhan kayu dari pihak keraton Kasultanan Yogyakarta. Kebutuhan kayu ini dibebankan pada rakyat dalam bentuk pundhutan nagari yang merupakan salah satu bentuk pajak. Berdasarkan laporan Danureja IV, pajak dalam bentuk ini ternyata sangat memberatkan bagi rakyat terutama rakyat kecil.

Kerusakan areal hutan jati di Gunungkidul diakibatkan pula oleh masalah beban kerja wajib dan pajak. Kedua masalah ini menyebabkan terjadinya migrasi penduduk dari daerah subur ke daerah kering di Gunungkidul dengan perhitungan bahwa jika hidup di daerah kurang subur atau tidak subur maka kewajiban membayar pajak dan kerja wajib akan berkurang dengan sendirinya.

Tahun 1845, penduduk Gunungkidul diperkirakan sebesar 16.000 jiwa dan tahun 1867 mencapai 28.000 jiwa. Kenaikan ini disebabkan adanya migrasi dari dataran rendah utara Gunungkidul, dan dari daerah Jawa Tengah lainnya.

Penurunan jumlah penduduk secara drastis pada tahun 1845-1867 di daerah pusat penanaman nila di Sleman dan Kalasan merupakan akibat penghindaran pajak dan kerja wajib. demikian pula migrasi penduduk Rembang ke daerah Vorstenlanden pada tahun-tahun setelah Tanam Paksa juga sebagai salah satu cara yang dilakukan penduduk untuk menghindari tekanan kerja wajib dan krisis pangan.

Perpindahan penduduk ini menimbulkan pembukaan pemukiman baru dan lahan pertanian baru di Gunungkidul. Di daerah Pegunungan Sewu, menurut laporan Veth pada tahun 1890, hutan jati telah menyusut, sebagian telah hilang berganti menjadi lahan ilalang dan rumput. Selain itu pegunungan Sewu juga mengalami pertumbuhan penduduk.

Demikian pula daerah Ledok Wonosari, menurut laporan Danes pada tahun 1909 telah menjadi desa yang padat penduduknya. Jika semula hanya daerah datar yang digunakan sebagai lahan pertanian, tetapi ketika lahan ini makin sempit maka lereng-lereng juga mulai ditanami sebagai lahan tegalan. Lahan pertanian tegalan ini kemudian digunakan secara terus menerus tanpa diistirahatkan dalam waktu lama sehingga lahan-lahan curam yang mudah mengalami erosi ini lama kelamaan mulai tidak produktif dan menjadi gundul.

Gundulnya hutan-hutan tersebut kemudian mempengaruhi pula keseimbangan hidrologis lahan sekitarnya. salah satu akibatnya adalah berkurangnya luas sawah. Sawah-sawah yang dulunya masih diairi kemudian berubah menjadi lahan tegalan.

Pengelolaan Hutan di Gunungkidul dari jaman Hindia Belanda sampai Republik Indonesia

Gunungkidul pada saat ini sudah dikenal sebagai wilayah yang kembali hijau. Benar memang pada saat musim kemarau ada wilayah-wilayah yang terlihat “kering’ dan “tandus” karena banyak pepohonan yang meranggas. Tetapi bukankah hal itu lumrah terjadi saat musim kemarau pada daerah yang dominan bertanah batuan kapur?

Gunungkidul pada era sebelum 1990-an masih dikenal sebagai daerah “kering tandus” dahulu merupakan lahan hutan jati yang penting, setidaknya bagi Kasultanan Yogyakarta. Sejak 1812 sampai menjelang akhir abad XIX, pengelolaan dan eksploitasi hutan jati di Gunungkidul menjadi tanggungjawab Kasultanan Yogyakarta, sedangkan pihak pemerintah Hindia Belanda hanya memiliki hak menggunakan kayu-kayu jati dari daerah tersebut dan mengusulkan berbagai teknik pengelolaan kepada keraton. Pada masa itu orang-orang yang bekerja di bawah kuasa Sultan banyak melakukan penyelewengan yang tak dapat ditanggulangi oleh pihak Kesultanan. Di samping itu mereka juga belum memiliki pengetahuan pengelolaan dan pengolahan hutan jati yang baik.

Dalam masa pengelolaan di bawah Sultan ini kondisi hutan jati Gunungkidul mulai memburuk yang disebabkan adanya penebangan pohon-pohon jati secara liar untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar bagi pabrik gula dan arak yang didorong oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian, pemukiman penduduk mulai berkembang di daerah Gunungkidul, termasuk di wilayah tumbuhnya pohon-pohon jati, mulai dari lahan-lahan subur hingga lahan-lahan kering. Masuknya penduduk sampai ke lahan-lahan kering ini adalah sebagai salah satu akibat beratnya beban pajak dan kerja wajib yang ditanggung penduduk di daerah asalnya. Selain itu, pihak Keraton sendiri ternyata punya andil terhadap rusaknya hutan jati ini karena pemakaian pohon-pohon jati secara besar-besaran untuk pembangunan “Keraton” Ambarukmo. Kerusakan hutan ini mengakibatkan gundulnya hutan, menyempitnya areal sawah dan sawah-sawah berubah menjadi tegalan. Akhir abad XIX lahan hutan jati Gunungkidul semakin mengkhawatirkan. karena itu pengawasan pengelolaan segera diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Pada awal abad XX. seluruh hutan di Gunung Kidul dikelola sepenuhnya oleh Dinas Kehutanan Hindia Belanda. Di bawah pengelolaan dan pengawasan Dinas Kehutanan Hindia Belanda dimulailah beberapa teknik pengelolaan yang lebih baik dan modem yang kemudian melahirkan pula Rancangan Perusahaan untuk hutan jati Gunungkidul.

Dari segi ekonomis beralihnya pengelolaan hutan ke tangan pemerintah Hindia Belanda membuat pemasukan keraton dari bidang kehutanan menjadi berkurang, akan tetapi jika dihitung secara jangka panjang Sultan diuntungkan karena lahan hutan jati terhindar dari kemusnahannya. Pengelolaan hutan jati secara ilmiah yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Hindia Belanda dapat menyelamatkan keberadaan dan kelestarian hutan jati Gunungkidul. Bagi penduduk, eksploitasi yang teratur memberikan pula pekerjaan bagi mereka di lahan hutan dengan upah dan memberikan keuntungan sendiri dengan diberikannya hak menanam palawija dengan sistem kontrak di lahan hutan jati tersebut.

Apakah Tanaman Jati Telah Memiskinkan Rakyat dan Menjadi Sumber Penyebab Kekeringan?

Dari catatan di atas, diketahui bahwa sejarah tanaman jati di Gunungkidul ternyata sudah ada sejak dulu kala. Kapan pastinya belum diperoleh catatan sejarah yang pasti. Namun demikian, keberadaan tanaman jati di wilayah ini dipastikan justru lebih tua dari usia resmi berdirinya pemerintahan kabupaten sejak 1831. Wilayah Gunungkidul awalnya adalah sebuah hutan yang dominan diselimuti tanaman jati. Dominan artinya tidak meniadakan adanya jenis-jenis tanaman lain yang juga tumbuh di kawasan hutan ini.

Lantas, apakah tanaman jati yang menjadi “biang kerok” kemiskinan yang mendera rakyat dan penyebab kekeringan? Jawab singkat: perkara ini tidak bisa digebyah uyah demikian. Apalagi menyederhanakan permasalahan dengan menyebutkan tanaman jati sebagai sumber malapetaka kekeringan dan kemiskinan.

Justru penyelamatan atau konservasi lahan kritis yaitu rusaknya lahan di wilayah Gunungkidul akibat warisan kerusakan hutan di Gunungkidul diinisiasi pertama kali dengan “gerakan reboisasi“. Hutan negara dan lahan rakyat di Gunungkidul pada era 1960/70-an ditanami kembali jenis-jenis tanaman hutan seperti jati, mahoni, akasia, dan lain sebagainya. Bukankah menanami kembali lahan juga perlu mempelajari kecocokan dengan jenis tanahnya, kontur lahannya, dan juga iklim wilayah. Mungkin rekan-rekan masih ada yang ingat, era kepemimpinan Bupati Darmakum Darmakusuma pada 1974-1984 sangat dikenang rakyat dengan gerakan reboisasinya.

Bahwa menanam tanaman hutan adalah tahap awal mengatasi problema kerusakan lahan atau kerusakan tanah berupa hilangnya lapis tanah subur karena erosi saat hujan deras. Itulah pilihan pertama yang dilakukan, dan dikembangkan pada tahap selanjutnya. LSM Arupa (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) banyak memberikan catatan tentang program konservasi lahan kritis di Gunungkidul yang dilakukan pemerintah dan swadaya masyarakat.

Tahukah bahwa sebelumnya, tanaman jati hanya boleh ditanam di hutan negara? Artinya, dahulu tanaman jati adalah tanaman milik negara. Baru mulai 1963 rakyat diijinkan menanam jati di lahan milik rakyat yang kemudian disebut sebagai hutan rakyat. Bibit tanaman jati ini diperoleh masyarakat dari bibit yang tumbuh alamiah di lahan hutan negara. Jejak awal gerakan hutan rakyat tersebut dapat ditelisik dari gerakan hutan rakyat mandiri di Mendak, Girisekar, Panggang. Rekan-rekan yang tertarik mendalamisilakan periksa catatan Alur Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat di Gunungkidul di tautan berikut: https://arupa.or.id/alur-sejarah-2/.

Ayo Piknik ke Desa

Lhah mengapa yang ditanam jati, bukan nangka, bukan mangga, bukan kelapa? Jawabnya, apa iya semua lahan pertanian milik rakyat Gunungkidul (bukan hutan negara) sama sekali tidak ada yang ditanami tanaman buah seperti nangka, mangga, kelapa, kluwih, sukun, petai, kedondong, jambu air, dan sebagainya?

Sesekali yuk kita jalan-jalan muteri perdesaan Gunungkidul. Oh ternyata masih ada banyak tanaman kelapa, nangka, mangga, jambu air, dan lain-lainnya di pekarangan penduduk. Oh iya-ya, bahkan dulu bukankah Wonosari ibukota Kabupaten awalnya disebut sebagai “Wana Asri”, hutan yang asli dengan keanekaragaman tanam-tumbuhnya? Bahkan ada yang menyebut sebagai “Hutan Nangka Dhoyong” karena ada kisah pohon nangka, di mana Ki Demang Wanapawira melakukan babat alas membuka permukiman.

Oya, bukankah ada banyak variasi nama desa yang mengambil nama dari nama tumbuhan yang menjadi ciri khas desa itu? Ada Karangmojo, Jatiayu, Kelor, Krambil Sawit, Krambilduwur, Tepus, Tanjungsari, Karangasem, Duwet, Karangduwet, Jeruksari, Kepek, Jerukwudel, Ringinsari, Bulu, dan sebagainya? Suerr deh…., nama-nama desa bukan sekadar gugon-tuhon, tapi nama itu merujuk pada nama-nama jenis pepohonan yang benar-benar ada dan tumbuh di tempat tersebut.

***

Referensi: Ignasia P Septariska & Rini AA Ekaputri: Pengelolaan Hutan Jati di Afdeling Gunungkidul 1834-1933, Jurnal Lembaran Sejarah, 2001.

Facebook Comments Box

Pos terkait