Kepada Dewi Sri: Kegelisahan Seorang Anak Petani

Lukisan "Kepada Dewi Sri" karya Giwang Topo di pameran seni rupa Gunungkidul 2018 lalu. Foto: Tugi.

Suara musik ritmis kothekan dari tumbukan alu dengan lesung berisi padi sekarang sudah semakin jarang atau mungkin sudah punah. Lesung dan alu sudah lebih banyak menganggur tak terpakai lagi. Lesung dan alu kini lebih banyak dimanfaatkan sebagai asesoris hiasan atau “artefak bersejarah” di rumah-rumah orang kaya, di rumah makan, di cafe, dan lain sebagainya. Lesung dan alu nampaknya lebih banyak digunakan sebagai simbol “mencintai dunia tani” dan mungkin juga simbol “pencapaian naik kelas”, dipandang naik kelas dari keluarga petani menjadi keluarga priyayi atau bangsawan.

Jika kini masih ada suara musik kothekan di pedesaan, maka bisa dipastikan ini berasal ibu-ibu dasawisma atau PKK sedang berlatih musik gejog lesung karena mau kerawuhan Pak Camat, Pak Kepala Dinas, Pak  Wakil Bupati, Bu Bupati, atau pejabat lainnya. Kalau pun bukan karena acara rawuhan (peninjauan), gejog lesung di pedesaan bisa jadi karena ada acara rasulan. Mungkin pula persiapan lomba gejog lesung dari Dinas Kebudayaan di kabupaten.

Bacaan Lainnya

Kemungkinan lain bakal ada acara reuni warga desa dari perantauan yang merindukan suasana menumbuk padi di pedesaan jaman dahulu. Para perantau puas dan bakal berjoget senang mendengarkan kembali suara lesung jumlenggung, meskipun suaranya telah ampang (kosong). Karena lesungnya juga sudah kosong, tidak ada gabah yang ditumbuk lagi.

Saat ini, gejog lesung bukan lagi usaha petani berpeluh keringat mengkonversi bulir-bulir padi menjadi beras. Gejog lesung kini hanya suara artifisial untuk memanjakan para pejabat atau para warga di perantauan atau mungkin pula para petani yang rindu situasi dan semangat petani jaman dahulu.

Dalam pameran seni rupa muda Gunungkidul pertengahan 2018 lalu, ada 3 buah lukisan menarik yang berbicara tentang dunia petani dan pertanian. Giwang Topo, sang pelukis memberikan catatan, 3 buah karya yang dijejer ini berbicara tentang kegelisahan petani dan dunia pertanian di Gunungkidul. Menurutnya, lukisan tersebut dapat menjadi serial narasi yang runtut atau dapat berdiri sendiri-sendiri. Itu diserahkan kepada penikmat lukisan, mau dibaca berseri atau dimaknai secara sendiri-sendiri.

Seorang ibu yang mendekap lesung kosong, sementara wajahnya menoleh ke kiri atas. Ini menjadi lukisan pertama. Pelukis memberi penegas bertuliskan huruf Jawa berbunyi “iki lesungku“.  Seorang ibu yang tampak murung. Ia menoleh ke samping, entah ada apa sehingga ia berpaling dari lesung miliknya.

Dalam lukisan kedua, si ibu tadi membungkuk, dan menyeret lesung yang diikatnya dengan tali. Entah mengapa ia menyeret lesung miliknya. Akan dibawa ke mana lesung kepunyaannya itu. Ada tulisan Jawa “mudha ora duwe daya” menegaskan situasi muram, lemah tidak bertenaga, meskipun masih muda.

Lukisan ketiga sangat mengagetkan. Si ibu tadi tiba-tiba memiliki energi luar biasa. Ia full power, bisa mengangkat lesung. Energi mestakung seperti merasuki si ibu yang berteriak kencang lewat tulisan Jawa “apa kudu bali marang Dewi Sri?” Ini nampaknya menjadi puncak kegelisahan. Puncak mengeluarkan uneg-uneg. Puncak mengeluarkan energi penghabisan dipenuhi keraguan dan tanda tanya.

Tangan menjulur di lukisan ketiga, apakah tangan pertolongan Dewi Sri yang mau mengambil beban berat si ibu petani? Apakah sang Dewi Sri bakal merengkuh membawa si ibu petani dan lesungnya ke negeri kahyangan? Setiap penikmat lukisan dan pelukisnya sendiri tentu saja memiliki pemaknaan yang bermacam-macam.

Facebook Comments Box

Pos terkait