Kepada Dewi Sri: Kegelisahan Seorang Anak Petani

Lukisan "Kepada Dewi Sri" karya Giwang Topo di pameran seni rupa Gunungkidul 2018 lalu. Foto: Tugi.

Giwang Topo, pemilik nama lengkap Heribertus Dian Hartopo ini memiliki talenta seni yang lengkap. Selain hobi melukis dan bermain musik, ia juga produktif berkarya membuat animasi digital dan ilustrasi musik untuk film. Ia pernah berseloroh, memilih musik ilustrasi sebagai bidang yang ditekuni, namun dirinya juga tetap menggarap permintaan ilustrasi gambar dan animasi 2D untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Mencermati secara serius, pelukis nampak memiliki keterikatan dan kedalaman rasa untuk karyanya ini. Sebagai orang yang lahir di Gunungkidul, tautan nafas hidup petani dan pertanian sangat terlihat di lukisan ini. Kegelisahan petani Gunungkidul direkam dengan baik melalui potret seorang ibu yang murung, meratapi lesung miliknya yang sudah lama tak digunakan lagi, dan bermaksud menyerahkan lesung kepada Dewi Sri.

Bacaan Lainnya

Puncak kegelisahan si ibu petani menyiratkan sikap yang ambigu. Apakah lesungnya biar saja hilang moksa bersama Dewi Sri? Ataukah bersama diri sang ibu yang juga hilang moksa bersama Dewi Sri? Apakah “apa kudu bali marang Dewi Sri” itu kegelisahan dan keprihatinan pelukis terhadap fenomena bunuh diri yang masih sering menimpa warga Gunungkidul? Lha… Apa kaitan petani, lesung, dan Dewi Sri dengan kejadian bunuh diri?

Puspita Kusuma, salah satu peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada tahun 2014 pernah meriset, bahwa pelaku bunuh diri di Gunungkidul mayoritas bekerja sebagai petani. Ia menandaskan, petani Gunungkidul semakin tak berdaya karena semakin terbatas sumber dayanya, dan tak boleh dilupakan apa yang dilakukan secara struktural terkadang justru semakin meminggirkan para petani.

Membaca kegelisahan si ibu petani dalam lukisan ini rupanya bukan karena terdesak kemestian jaman di mana lesung tergantikan mesin penggiling padi. Tetapi kegelisahan karena aneka perkara yang menyelimuti petani dan dunia pertanian. Nyata terjadi bahwa volume produksi dan produktivitas pertanian padi di Gunungkidul semakin berkurang. Ladang pertanian yang semakin menyusut karena tanah telah diiris dan diwariskan kepada anak-anaknya untuk rumah untuk usaha dan lain sebagainya. Para petani tinggal generasi tua merasa makin berkurang produktivitasnya, sementara anak-anaknya semakin ogah bertani. Apalagi anak muda jaman sekarang semakin terbuai iming-iming bakal lebih cepat kaya karena industri pariwisata.

Kegelisahan karena biaya produksi yang semakin tidak imbang dengan hasil produksi. Kegelisahan karena permainan tengkulak yang seenaknya sendiri memainkan harga. Kegelisahan kesulitan membeli pupuk, kegelisahan karena masih ada yang mempermaikan harga saprodi dan juga mempermainkan jatah subsidi dari pemerintah. Kegelisahan karena jerat utang bank plecit, dan aneka kegelisahan lainnya yang terkadang membuat petani serasa putus ada.

Belum lagi kegembiraan semu petani melalui pentas gejog lesung karena kerawuhan pejabat, lomba desa, lomba gejog lesung komoditas seni budaya tingkat kabupaten, gejog lesung ketika menyambut saudara yang pulang kampung. Kegembiraan semu ini adalah kegelisahan yang tidak bisa dipandang remeh, karena cara pandang para pejabat, pedagang, pengusaha, termasuk anak dan sanak saudara yang sudah tidak menjadi petani jelas berbeda dengan cara pandang para petani.

Gunungkidul barangkali menjadi tempat persebaran terakhir dari keberadaan lesung dibanding daerah lainnya seperti: Bantul, Sleman, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, dan lainnya. Fenomena terakhir yang terjadi, para pemburu barang antik memanfaatkan situasi dan kondisi dengan cepat. Beli murah dari petani yang kepepet butuh, kemudian dijual mahal kepada para kolektor barang antik.

Dapat disaksikan secara kasat mata, pada beberapa rumah orang-orang kaya di Gunungkidul, lesung terkadang dipergunakan sebagai material pembentuk ornamen artistik. Ada lesung dipotong, digergaji, dipergunakan sebagai hiasan dinding rumah, berfungsi menjadi pagar rumah, hiasan gerbang rumah, dan lainnya yang dipandang nyentrik dan eksentrik. Apa yang terjadi ini menunjukkan, bahwa semakin banyak orang yang justru menggorok, meminggirkan, dan membunuh harga diri petani. Petani dan pertanian dianggap hanya warga rendahan pemberi nikmat bagi orang lain. Itu terbukti dengan menurunkan derajat lesung bukan sebagai pusaka para petani, tetapi sekadar benda pemanis pagar, dinding, atau telinga musik artifisial gejog lesung.

Lantas, apakah kegelisahan dan situasi yang kurang berpihak bagi kaum petani Gunungkidul bakal membuat mereka mupus dan nglampus driya? Mulih marang Dewi Sri sebagai pembenar yang sah untuk bunuh diri? Oh, tidak. Karena itu penting untuk menjaga hati, tidak melukai hati, tidak mematikan harga diri petani, karena harga diri itulah kekayaan yang paling berharga di antara aneka kekayaan yang dimiliki.

Daya juang petani itu pada dasarnya tidak baen-baen. Ibarat pasukan tempur, mereka itu sejatinya para-komando atau raiders. Dalam keterbatasan lahan kering dan terkadang karang gluthikan (lebih dominan berisi kerikil batuan kapur daripada tanah subur), mereka masih bisa mengusahakan olah pertanian. Sulit pakan ternak, ya tetap beternak, karena ternak adalah tabungan buat kehidupan.

Seorang petani sejati tak akan ragu atau mengeluh menjual hasil panenan, menjual ternaknya, bahkan mengiris ladangnya sewaktu anak-anak mereka butuh biaya untuk sekolah atau kuliah. Mbok Sathis, seorang janda petani perempuan di Botodayaan Rongkop rela menjual ternak dan sebagian lahan pekarangannya demi berjuang mengobati keponakannya yang mengalami derita sakit kronis selama 12 tahun. Ini bukti, daya juang petani itu sungguh nyata.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait